Surabaya (prapanca.id) – Salah satu andalan destinasi wisata religi di Surabaya adalah kawasan Ampel, dengan poros utama Masjid Ampel. Masjid tertua di Jawa ini dibangun pada abad ke-14 oleh Sunan Ampel. Jumlah kunjungan wisata ke kawasan Ampel tiap tahun terus meningkat. Menurut data Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (DKKORP) Surabaya, jumlah kunjungan wisata ke kawasan Ampel pada tahun 2022 mencapai 13 juta orang lebih.
Pemerintah Kota Surabaya terus melakukan langkah pembenahan untuk mewujudkan kawasan wisata Ampel sebagai kawasan wisata terpadu dan makin banyak dikunjungi wisatawan. Antara lain dengan melakukan penertiban dan relokasi pedagang yang sudah dilakukan sejak Februari lalu (prapanca.id 4 Maret 2024).
Namun sekali-sekali cobalah untuk datang ke kawasan Ampel tidak sekadar sebagai wisatawan. Bermalam, sekalian itikaf. Apalagi di bulan Ramadhan ini, yang dianjurkan untuk memperbanyak itikaf di masjid, terutama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Menikmati suasana syahdu di tengah ribuan jamaah yang melantun dzikir di dalam masjid maupun di komplek makam Sunan Ampel. Malam di bulan Ramadhan, masjid Ampel selalu dipadati para jamaah. Tidak hanya dari Surabaya namun juga rombongan dari luar kota. Dan jumlah jamaah bisa dua atau tiga kali lipatnya saat malam Lailatul Qadar, yang dimulai pada malam ke 21 bulan Ramadhan. Memasuki gang menuju ke masjid, sudah penuh sesak dengan para jamaah.
Sebagai salah satu Wali Songo, posisi Sunan Ampel memang sangat disegani. Beliau adalah tetua para Wali Songo. Tiga putra beliau dan lima menantunya juga para Waliullah, yakni Sunan Bonang, Sunan Drajat dan Sunan Lamongan. Sedangkan para menantunya adalah : Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus dan Raden Patah (Raja Demak).
Bernama asli Ali Rahmatullah, beliau dilahirkan pada tahun 1401 di Champa, yang kini masuk wilayah Vietnam, dan wafat tahun 1481. Ayahanda beliau juga seorang Wali kelahiran Samarkand (wilayah Rusia Selatan), bernama Ibrahim Al-Ghazi atau banyak yang menyebut Syech Ibrahim Asmoroqondi. Makam ayahanda Sunan Ampel ini berada di Tuban.
Sunan Ampel terkenal dengan ajaran Mo-Limo, yang intinya jangan melakukan lima perkara yang dilarang. Yakni, Main (judi), Minum (minuman keras), Maling (mencuri, korupsi dan sejenisnya), Madat (candu, ganja dan sejenisnya) serta Madon (main perempuan yang bukan istrinya/berzina). Ajaran inilah yang beliau ajarkan kepada para pembesar dan punggawa Majapahit saat diundang khusus oleh Raja Majapahit, Prabu Kertabumi atau Brawijaya.
Walaupun tidak bersedia masuk Islam, namun Raja sangat terkesan dengan budi pekerti Raden Rahmat serta ajaran yang disampaikan. Bahkan beliau dinikahkan dengan putrinya, Dewi Candrawati, yang kelak melahirkan Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Sebagai menantu Raja Majapahit, beliau diberi hadiah sebidang tanah di Ampel Denta seluas 12 Ha, dan diberi kebebasan mengembangkan agama Islam. Raja juga mengirim 100 orang punggawanya untuk menjadi santrinya. Dari Ampel Denta itulah, Sunan Ampel mendirikan mushola kecil dan pesantren pada tahun 1421, dibantu dua orang sahabat dan para santrinya. Mushola itu di kelak kemudian berkembang menjadi Masjid Ampel yang dikunjungi oleh jutaan orang per tahun.
Komplek makam Sunan Ampel berada persis di belakang masjid. Selain Sunan Ampel dan istrinya, Dewi Candrawati, juga makam keluarga dan para santrinya. Selain berdoa di makam Sunan Ampel, biasanya para peziarah juga berdoa di makam dua sahabat beliau, yakni Mbah Sonhaji atau lebih dikenal sebagai Mbah Bolong dan Mbah Soleh. Kedua sahabat dan murid setia Sunan Ampel ini mempunyai kisah karomah tersendiri.
Pada saat penentuan kiblat masjid, waktu itu belum dikenal alat penunjuk arah Kiblat, Mbah Sonhaji melobangi dinding masjid. Seketika semua orang bisa melihat Kiblat dengan mata telanjang. Sedangkan Mbah Soleh dikisahkan meninggal dunia sampai 9 kali. Mbah Soleh adalah “marbot” masjid yang sangat rajin. Setelah Mbah Soleh meninggal dunia, kondisi masjid tidak serapi dan sebersih dulu.
Sunan Ampel yang sangat mengasihi sahabatnya itu membayangkan, andai Mbah Soleh masih hidup tentu kondisi masjid selalu rapi dan bersih. Tanpa diduga, muncul seseorang yang sama persis dengan sosok almarhum Mbah Soleh. Langsung membersihkan masjid dan melakukan kegiatan seperti yang dilakukan Mbah Soleh sehari-hari. Namun beberapa minggu kemudian “kembaran” Mbah Soleh itu meninggal dunia dan dikuburkan. Setiap kali Sunan Ampel merasa kangen dengan murid dan sahabatnya itu, tiba-tiba muncul Mbah Soleh. Dan kejadiannya berulang sampai 8 kali. Oleh karena itu makam Mbah Soleh, yang terletak di komplek makam Sunan Ampel, terdapat 9 pusara.
Menikmati malam di komplek Masjid Ampel ada sensasi kenikmatan tersendiri, berupa rasa tentram dan damai di hati. Hal ini dinyatakan oleh Samsul Hadi, jamaah dari Waru Sidoarjo. Ia mengaku setiap ada masalah atau merasa gundah, ia selalu ke Masjid Ampel.
Walaupun hanya duduk berdiam diri dan dzikir, karena ia kurang lancar membaca Al Qur’an, Samsul mengaku pikirannya sangat tenang dan mendapat jalan keluar dari masalah yang dihadapinya. “Berada di dalam komplek Masjid Ampel adalah wisata hati yang sesungguhnya” ujar Samsul. (sas)