Solo (prapanca.id) – Tepat 169 tahun wafatnya Pahlawan Nasional, Pangeran Diponegoro, diperingati dengan pementasan “Wasiat Diponegoro” di Masdon Art Center, Jl. Empu Gandring No.40, Kemlayan, Kec. Serengan, Kota Surakarta, 6-8/1/2024 lalu.
Pementasan ini sungguh istimewa. Didukung oleh nama-nama besar seniman Indonesia. Antara lain Eko Supriyanto, seorang penari dan koreografer yang juga pernah menjadi penari Madonna dan Sardono W. Kusumo, Rachman Sabur, Hanindawan dan Peni Candrarini dengan iringan musik Otto Sidharta. Sedangkan repertoar naskah berdasakan buku “Biografi Pangeran Diponegoro”, yang ditulis oleh Peter Carey berdasarkan tulisan Pangeran Diponegoro sendiri, pada masa pengasingannya. Tata panggung juga sangat artistik, dengan latar belakang reproduksi lukisan karya Raden Saleh, sang legenda seni rupa modern Indonesia.
Pertunjukan diawali dengan kemunculan Sardono, menceritakan latar belakang bagaimana pertunjukan “Wasiat Diponegoro” dibuat. Kemudian Eko S. yang didapuk sebagai pemeran Diponegoro muda muncul, menari, memvisualkan Pupuh Dandanggula yang disuarakan oleh Peni C. Hingga kemudian dua legenda teater, Rachman Sabur dan Hanindawan, melanjutkan pembacaan buku seperti layaknya Dramatic Reading. Sardono juga berperan sebagai Diponegoro di masa tua.
Pangeran Diponegoro yang diberi nama kanak-kanak Bendoro Raden Mas Mustahar, lahir pada 11 November 1785 di Keraton Yogyakarta. Ayahanda Pangeran Diponegoro adalah putera sulung Sultan Hamengkubuwono II. Sejak kecil Pangeran Diponegoro diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng atau sering disebut Ratu Ageng Tegalrejo, permaisuri Hamengkubuwono I, pendiri kerajaan Yogyakarta yang menetap di Tegalrejo. Berkat perempuan bijaksana tersebut, Pangeran Diponegoro tumbuh menjadi orang alim, sederhana, dan dekat dengan rakyat.
Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda dipicu dengan perampasan lahan Pangeran Diponegoro di Tegalrejo sehingga menimbulkan situasi panas dan melibatkan penduduk setempat serta para petani penggarap. Konflik terbuka menimbulkan pertempuran sengit sehingga kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo dibakar oleh Belanda.
Pangeran Diponegoro bersama-sama dengan sebagian besar pengikutnya menyingkir ke Selarong. Di dekat gua tempat Pangeran Diponegoro sering bersemedi, mereka menancapkan panji-panji pemberontakan. Genderang Perang Jawa pun dimulai. Sejak itu Belanda terus memburu Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya selama hampir lima tahun. Tercatat dalam sejarah, Perang Jawa merupakan peristiwa pemberontakan terbesar masyarakat Jawa terhadap penguasa kolonial.
Perjuangannya melawan Belanda harus berakhir, setelah beliau ditangkap dan diasingkan ke Makassar, setelah memimpin Perang Jawa selama periode tahun 1825 hingga 1830 dan membuat pihak Belanda kocar-kacir, kehilangan ribuan pasukan dan menyedot biaya sampai 25 juta gulden. Beliau wafat di dalam tembok benteng Speelman, Fort Rotterdam, Makassar pada tanggal 8 Januari 1855 pagi hari setelah matahari terbit dan dimakamkan di pemakaman umum Kampung Melayu, Makasar.
Menikmati seluruh sajian repertoar pementasan ini, imaji penonton seolah dibawa ke masa lalu saat penangkapan Pangeran Diponegoro. Apalagi Rachman Sabur dan Hanindawan yang membaca narasi dengan artikulasi dan penghayatan yang prima. Puncak dari pementasan ini adalah pembacaan narasi yang bersumber dari catatan Pangeran Diponegoro ketika dalam pengasingan,
“Jika aku mati, kuburkan jasadku di Makassar, di samping makam anakku, R.M. Sarkuma. Sertakan juga pusaka ku, Kris Bondoyudo, hasil peleburan tiga pusaka sebagai tanda kepercayaan memimpin Jawa. Meski keturunanku berjumlah 18, mereka harus memahami bahwa mewarisi pusaka ini sebagai simbol penguasa tanah Jawa tidaklah mudah. Tak seorang pun dari mereka boleh merasa bahwa dengan sendirinya ia mampu mengemban tugas seberat bapaknya.” (sas)