Surabaya (prapanca.id) – Kota Subabaya menyimpan segudang latar belakang sejarah. Tak hanya terkenal dengan peristiwa heroik 10 November 1945, namun juga kisah tiga kampung populer di lintasan sejarah era Kerajaan Majaphit.
Berdasarkan beberapa bukti sejarah, keberadaan tiga kampung ‘ngetop’ sudah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri pada abad 13. Kampung Pagesangan di wilayah Kecamatan Jambangan, Bungkul di Kecamatan Darmo dan kampung Peneleh di Kecamatan Genteng adalah ‘nama besar’ di antara kampung lain di kota dengan penduduk 2,8 juta jiwa lebih ini.
Salah satu bukti sejarah adalah Prasasti Canggu yang dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara atau yang dikenal dengan nama Hayam Wuruk, Raja Majapahit ke-4, pada tahun Saka 1280. Penanggalan Saka pada prasasti tersebut dikonversikan menjadi tanggal 7 Juli 1358. Prasasti tersebut berbentuk lempengan tembaga berukuran 36,5 cm x 10,5 cm, ditulis dengan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Saat pertama kali ditemukan, terdapat lima lempengan. Namun kini yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta hanya 1 lempengan. Belum diketahui pasti, dimana keberadaan lempengan lainnya.
Canggu adalah nama pelabuhan utama kerajaan Majapahit yang sangat ramai dan terkenal pada masanya. Disamping sebagai jalur perdagangan juga sebagai pelabuhan bea cukai dan pangkalan militer. Walaupun kini pelabuhan itu sudah tidak ada, namun jejaknya berupa nama masih ada, yaitu terletak di desa Canggu Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto.
Prasasti Canggu menyebutkan pemberian anugerah berupa status tanah perdikan kepada “naditira pradeca” yakni desa-desa di sepanjang aliran Sungai Brantas yang mempunyai pelabuhan sungai berupa tambangan penyeberangan. Desa-desa tersebut dianggap berjasa dalam menggerakkan laju perekonomian. Diantara nama desa yang disebut, terdapat tiga nama desa yang saat ini masuk ke dalam wilayah kota Surabaya, yakni desa Gsang, Bukul dan Curabhaya. Berdasarkan toponim (cabang ilmu linguistik yang menyelidiki asal-usul nama orang, nama tempat, bentuk dsb), ketiga nama desa itu merujuk pada kampung Pagesangan (Gsang), Bungkul (Bukul) dan Surabaya (curabhaya).
Di Kelurahan Pagesangan, yang berbatasan dengan wilayah kelurahan Sepanjang Sidoarjo, tambangan penyeberangan sungai dengan memakai rakit yang ditarik tali tambang itu masih ada sampai sekarang dan digunakan sehari-hari oleh penduduk setempat. Sedangkan di wilayah Bungkul, di tahun awal 80-an masih dijumpai jasa penyeberangan tambangan, terletak di Jl. Ngagel yang menghubungkan dengan perkampungan di Jl. Darmo Kali.
Ternyata keberadaan kampung Gsang (Pagesangan) sudah ada sejak abad 8. Nama kampung Gsang ini disebut dalam Prasasti Bungur Lor atau Prasasti Kencana berangka tahun Hindu, 782 Saka, yang jika dikonversi ke tahun masehi menjadi 860 M. Prasasti Kancana dikeluarkan Raja Medang (Mataram Kuno), Rakai Kayuwangi, berupa lempeng tembaga dan kini tersimpan di Rijksmuseum Voor Volkenkunde, Leiden, Belanda.
Prasasti ini berisi tentang penganugerahan tanah perdikan untuk desa Bungur Lor, agar digunakan untuk sebuah bangunan suci bernama Kancana. Dalam proses upacara penganugerahan tanah perdikan tersebut, diundang tokoh-tokoh dari desa-desa sekitar Bungur Lor, yang salah satunya adalah desa Gsang. Disebutkan bahwa tokoh desa yang mewakili desa Gesang bernama Ki Buyut Karwabanu Winekasisegaralam.
“Wilayah Gesang dulu tidak sama dengan sekarang. Gesang dulu wilayahnya luas, sampai ke timur sekitar Menanggal, bisa jadi sampai Bungur (Bungurasih) dan sekitarnya” ujar Tri Priyono Wijoyo, peneliti sejarah klasik dari Komunitas Begandring Soerabaia.
Kini Pagesangan merupakan area perkampungan yang padat penduduk di wilayah Surabaya Selatan. Di Kelurahan Pagesangan inilah lokasi Masjid Agung Al-Akbar Surabaya. Salah satu kegiatan masyarakat yang menonjol adalah kesenian. Di kampung tersebut, berdiri grup ludruk “Warna Budaya Pagesangan” yang seluruh anggotanya adalah warga masyarakat Pagesangan.
Sedangkan Bungkul, identik dengan keberadaan taman wisata kota, yang tiap hari ramai dikunjungi warga kota. Taman kota ini mempunyai fasilitas yang sangat lengkap. Mulai dari wifi sampai arena bermain anak-anak. Pada tahun 2013, Taman Bungkul mendapat penghargaan internasional dari PBB berupa The Asian 2013 Townscape Sector Award. Di areal ini juga terdapat sentra PKL kuliner. Salah satu yang terkenal adalah Rawon Kalkulator yang sudah berdiri sejak 37 tahun lalu dan konon pemiliknya kini sudah menginjak generasi ke-4. Walaupun berupa warung sederhana, namun tiap hari pengunjung warung ini selalu berjubel.
Di belakang taman ini terdapat makam Mbah Bungkul yang selalu ramai dikunjungi peziarah.
Menurut legenda, Mbah Bungkul atau Sunan Bungkul adalah seorang petinggi kerajaan Majapahit di jaman pemerintahan Prabu Brawijaya, Raja Majapahit terakhir. Sunan Bungkul hidup di masa Sunan Ampel, dan merupakan mertua dari Sunan Giri, salah satu ikon Wali Songo. Namun tidak diketahui secara pasti, siapa namanya saat menjadi petinggi kerajaan Majapahit.
Setelah memeluk agama Islam, namanya berubah menjadi Ki Ageng Mahmuddin dan menyebarkan agama Islam di wilayah Surabaya, bergelar Sunan Bungkul. Versi lain menyebut bahwa Sunan Bungkul adalah Empu Supo, seorang ahli pembuat keris yang sangat terkenal di Majapahit. Namun hal ini perlu kajian lebih lanjut sebab jejak sejarah Empu Supo juga ada di kota Tuban dan Bojonegoro.
Sedangkan desa Curabhaya yang disebut dalam Prasasti Canggu tersebut merujuk pada kampung Peneleh. Hal ini berdasarkan bukti sejarah ditemukannya sumur jobong di kampung Pandean 1 Kelurahan Peneleh. Sumur Jobong adalah sumur kuno yang umum digunakan di era Majapahit. Sumur kuno ini banyak ditemukan di bekas ibukota Majapahit, Trowulan, kabupaten Mojokerto.
Bahkan peradaban di kampung Peneleh ini sudah ada sejak era Singasari. Catatan pada buku “Oud Soerabaia” (1931) dan “Erwerd Eenstad Geboren” (1953) karya sejarawan GH Von Faber, yang menggambarkan bahwa di kawasan Delta Peneleh pada tahun 1270 sudah ada permukiman yang disebut Glagah Arum (kemudian menjadi Peneleh), yang merupakan tempat para jawara pada masa Kerajaan Singasari atau Kerajaan Tumapel yang didirikan oleh Ken Arok.(sas)