Surabaya (prapanca.id) – Beberapa orang dengan seragam biru dan oranye-nya terlihat terduduk di area drop off Stasiun Pasar Turi yang panas ini.
Melihat para penumpang mulai berdatangan, mereka secara kommenyambut dan mencari penumpang yang sekiranya membutuhkan jasa mereka.
Ada beberapa yang akhirnya mengerahkan tenaganya untuk bekerja, ada pula yang kembali ke tempat semula tanpa membawa apa-apa.
Seragam biru dan oranye yang bertuliskan Pramu Antar itu juga terlihat di beberapa sudut Stasiun Pasar Turi, menanti penumpang datang dan akhirnya menggunakan jasa mereka.
Mereka lah yang sering kita sebut dengan sebutan porter stasiun. Mereka yang membantu para penumpang stasiun membawa barang-barangnya.
Meskipun bekerja di stasiun, para porter ini tidak berada dalam naungan PT KAI. Keberadaan mereka tidak direkrut dan tidak digaji, sehingga para porter ini mengais rupiah dengan mengandalkan upah dari penumpang yang menggunakan jasa mereka.
Hal ini pun diakui oleh Budi (53) dan Muslim (51), 2 dari 129 porter yang bekerja di Stasiun Pasar Turi. Mereka telah bekerja di Stasiun Pasar Turi sejak tahun 2007 dan 2010. Usia mereka tak lagi muda, namun semangatnya masih luar biasa dalam bekerja.
Sebelumnya, Budi dan Muslim pun menyatakan, rata-rata porter yang bekerja bukan merupakan warga asli Surabaya. Namun juga datang dari daerah lain, yang kemudian tinggal di mess yang disediakan oleh PT KAI atau menyewa kos sendiri. Mereka adalah para pejuang rupiah bagi keluarga mereka di rumah.
“Jauh-jauh, mbak. Dari Jombang, Lamongan, Sidoarjo, Gresik, Krian. Banyak, lah. Luar Kota Madiun ada, Bojonegoro ada, dari Surabaya juga ada,” ujar Budi yang mengaku berasal dari Lamongan.
Dalam sehari-harinya, para porter ini melakukan pelayanan dengan membantu para penumpang yang membutuhkan tenaga untuk memasukkan barang mereka ke dalam kereta. Status porter stasiun yang menjadi pekerja lepas di PT KAI pun membuat mereka tidak memiliki upah tetap dan jam kerja yang ditetapkan.
“Jam kerja ini bebas, sekuat tenaga. Mulai habis subuh sampai setengah 11 malam (atau) sampai jam kereta habis” ungkap mereka.
Bahkan mereka tidak memiliki batasan usia dalam bekerja. Para porter secara bebas bekerja tanpa ada batasan usia, selagi mereka masih bisa melakukan pekerjaan tersebut. Tak heran pula, banyak porter dengan usia lanjut seperti Budi dan Muslim yang masih bekerja di sini.
“Porter ngga ada (pensiun), kalau sudah ngga bisa angkat, ya berhenti. Kira-kira sekitar 60 atau 70-an baru berhenti dan diganti. Sampai jalannya gini,” ujar kedua porter tersebut sambil memperagakannya.
Dengan status itu, mereka pun harus bekerja lebih keras untuk mencari penumpang sendiri jika ingin membawa uang untuk keluarga di rumah, namun tetap tidak memaksa dan tidak mematok harga tarif minimum.
Jumlah penumpang yang menggunakan jasa porter pun tidak dapat dipastikan. Dalam beberapa waktu mereka mendapat uang yang cukup untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing, ada pula waktu di mana penghasilan mereka hanya cukup untuk membeli makan saja, bahkan ada satu waktu di mana mereka tidak mendapat upah sepeserpun.
Disebutkan pula, ada beberapa penumpang yang tidak memberi upah setelah menggunakan jasa porter. Namun itu hal yang jarang terjadi dan cukup menjadi cerita saja bagi Budi, Muslim, dan para porter lainnya.
Tantangan paling besar yang pernah dilalui adalah masa pandemi lalu. Budi menyebutkan para porter kesulitan mencari upah yang cukup. Pemberlakuan PSBB menyebabkan jumlah penumpang stasiun menurun drastis. Maka dari itu, banyak porter mencari pekerjaan sampingan di tempat tinggal asal mereka.
“Kasihan itu anak-anak (para porter). ‘Kan rata-rata kami ini orang susah ya, jadi kadang-kadang di rumah ada yang cocok tanam, buruh tani,” ujar Budi. “Iya, (saat masa pandemi) corona libur kaya gitu,” tambah Muslim dalam menjelaskan situasi pandemi saat itu.
Budi dan Muslim pun menceritakan sedikit kisah hidup mereka. Budi memiliki dua anak yang ia besarkan melalui pekerjaan ini. Bahkan anak pertamanya sudah bekerja sendiri dan membantu biaya hidup keluarga. Namun Budi masih tetap bekerja sembari meneruskan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
Hal yang sama pun disampaikan oleh Muslim. Muslim bahkan telah memiliki seorang cucu, namun ia masih tetap bekerja menjadi porter meskipun dengan penghasilan yang tidak seberapa. Usia yang terlalu tua, juga menjadi alasan kedua porter ini tidak dapat mencari pekerjaan yang lain.
Dengan slogan “Anda adalah prioritas kami” di belakang punggung, para porter di stasiun ini terus semangat bekerja melayani yang terbaik bagi para penumpang. Segala tanggung jawab dari pekerjaan ini, merupakan upaya mereka dalam mengais pundi-pundi rupiah untuk keluarga yang menunggu mereka pulang ke rumah.
“Ya ngga ada yang mau jadi porter sebenarnya mbak, tapi rezekinya sudah jadi porter. Doakan saja rezekinya banyak dan dapat penumpang banyak ya mbak, aamiin,” tutupnya.
Tim Produksi – Paduka Firmansyah, Linda Pratiwi Rahayu, Rizki Aisyatul Aufa, Sabrina Zifa Aulia, Dea Yul M