Surabaya (prapanca.id) – Teknologi dunia digital berkembang pesat. Semua orang kini dapat dengan mudah mengakses seluruh informasi hanya melalui satu genggaman tangan saja. Di era teknologi society 5.0 semua individu kini dapat dengan mudah mengakses berbagai informasi dan menyebarluaskanya dalam hitungan detik saja melalui smartphone yang mereka punya.
Selain itu kini masyarakat dapat dengan mudah memperoleh informasi atau berita dalam portal-portal berita media online yang tersebar luas baik di platform internet maupun media sosial. Oleh adanya perkembangan teknologi tersebut perlahan kini media cetak mulai ditinggalkan pembacanya.
Berbagai alasan muncul seperti tidak praktis, efisien serta lambatnya perolehan informasi berita kepada publik, sebab seperti yang kita ketahui bersama media cetak selalu terbit sehari setelah peristiwa tersebut terjadi sedangan kini dengan kemajuan teknologi orang-orang bisa memperoleh informasi lebih dulu atau cepat ketimbang media cetak.
Salah satu media cetak yang banyak dijumpai masyarakat di zaman dulu ialah koran seperti yang diketahui bersama koran di zaman dulu merupakan platform media informasi satu-satunya yang banyak dijumpai oleh masyarakat. Lantas bagaimana nasib koran saat ini?
Lain dulu lain sekarang, kalimat tersebut rasanya tepat untuk menggambarkan media cetak di era saat ini. Koran atau media cetak saat ini sudah dapat diatakan kalah dengan portal-portal berita online dimana masyarakat dapat mengakses secara cepat dan mendapatkan informasi cepat melalui platform internet tersebut.
Koran saat ini seakan-akan sudah terlupakan pembacanya, bagaimana tidak, salah satu tempat agen distributor terbesar di Kota Surabaya yang berlokasi di Jalan Pahlawan, Surabaya depan gedung Bank Sentral Indonesia. Agen-agen distributor media cetak tersebut dulunya berkumpul menjadi satu berjualan di daerah tersebut, tempat tersebut dulunya bernama Persatuan Surat Kabar dan Majalah atau biasa dikenal dengan (PTSM).
Dulunya disana ramai dengan agen distributor media cetak, namun kini riwayatnya sudah tak ada lagi hanya menyisakan dua distributor yang sampai saat ini masih berjualan disana. Banyak distributor media cetak yang telah gulung tikar dikarenakan sepinya peminat masyarakat terhadap media cetak terutama pada koran.
Koran merupakan salah satu dampak nyata bagaimana teknologi dan platform media digital bergerak secara cepat. Salah satu media cetak khususnya koran ternama di Jawa Timur yang hingga saat ini masih bertahan ialah Jawa Pos, koran yang masih memilih bertahan di gempuran era digital ini ternyata juga terdampak sangat besar dalam penjualan koran.
Menurut agen distributor media cetak, dulunya koran Jawa Pos dapat mencetak dan membawa koran dari pabrik percetakan sebanyak 5000 eksemplar dikala itu hanya untuk satu agen saja, sedangkan saat ini Jawa Pos mengalami penurunan secara drastis yaitu hanya 300 eksemplar per distributor.
“Iya mas, kalau penurunan percetakan itu pasti karena kita saat ini udah zamanya pakai hp semua, kalau dulu koran Jawa Pos itu paling banyak 5000 eksemplar dan itu juga selalu habis mas karena banyak yang beli, kalau sekarang cuma 300 eksemplar saja mas itu juga lakunya gampang-gampang susah,” ujar Muhhamad Khotim (59) salah satu agen distributor media cetak yang masih bertahan hingga saat ini.
Hal tersebut menjadi bukti nyata bahwa koran saat ini tak lagi dilirik oleh karena adanya platform yang digital yang lebih canggih. Lebih lanjut Khotim juga menuturkan koran dan majalah yang sudah mengalami gulung tikar atau bangkrut dikarenakan sudah menurunya daya beli pembaca koran tersebut dan adanya persaingan antar media baik media cetak maupun media digital koran-koran tersebut diantaranya Republika, Sindo, serta koran terbitan Jakarta lainnya. Sedangkan majalah yang mengalami gulung tikar seperti majalah Liberty, Mode, serta Aneka.
“Kalau koran yang tutup banyak mas, kayak Republika, Sindo, sama koran Jakarta koran-koran di Jakarta itu juga banyak yang gulung tikar. Majalah sendiri liberty, Mode sama Aneka itu yang udah tutup,” ungkapnya.
Sudah dari 5 tahun yang lalu tepatnya sebelum pandemi Covid-19 daya beli masyarakat terhadap majalah dan koran sudah menurun, ditambah lagi saat Covid-19 hingga saat ini daya beli masyarakat terhadap koran dan majalah kian menurun.
“Sudah lama dari tahun 2018 sebelum pandemi tu udah mulai kerasa turun banget yang beli, apalagi pas pandemi ditambah sekarang semakin sepi yang mau beli media cetak, koran, majalah apa aja sama sedikit peminatnya,” ujar dia.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa segmentasi pasar koran pun perlahan turut berubah, dulu semua umur, kalangan bisa dipastikan gemar membaca koran. Namun saat ini oleh karena adanya teknologi yang canggih, pembaca koran hanya pada kalangan tertentu saja yaitu pada kalangan orang yang sudah berumur atau orang tua.
Kebanyakan dari mereka yang masih menikmati koran bisa dikatakan sangat ketinggalan zaman untuk mempelajari era digital atau smartphone, mereka lebih memilih hal yang saat kecil sudah mereka lakukan yaitu dengan membaca koran yang mungkin menurut mereka itu hal yang praktis.
“Kalau sekarang yang beli koran ya yang utama sudah jarang, apalagi anak-anak muda malah gak pernah keliatan beli. Kalau yang biasa beli dari kalangan umur yang sudah tua kayak kakek-kakek gitu biasanya yang gak main handphone,” ujarnya sambil melayani pembeli.
Tren koran di zaman dulu dan di zaman sekarang juga beda salah satunya saat adanya berita trending seperti halnya piala dunia, perang teluk dan berita lainya yang menggemparkan.
Koran yang baik ia jualkan atau ia dapatkan dari pabrik bisa meningkat secara drastis berbanding terbalik di era saat ini mau apapun berita nya yang membeli koran hanya sedikit jarang adanya terjadi peningkatan diakrenakan sudah lebih dulu informasi tersebut di dapat melalui portal berita online.
“Kalau zaman dulu kayak berita piala dunia, perang teluk itu dulu yang paling ramai banyak yang kesini beli koran. Penjualan saya meningkat drastis apalagi kalau dari distributornya ngirim banyak saya juga banyak untungnya. Tapi kalau sekarang sama aja mas, mau berita apa aja udah kalah cepet duluan sama media-media online,” kenangnya.
Media Cetak tetap Dibutuhkan
Menanggapi fenomena ini, Hendro D. Laksono, dosen Stikosa AWS mengatakan, koran sebenarnya masih bisa saja dibutuhkan dengan segala ke relevansinya. Namun dengan sedikit perubahan seperti ukuran, jumlah halaman, dan isi kontennya dengan menekankan unsur visual menjadi daya tariknya.
“Saya tidak percaya yang modern pasti bagus, tapi saya percaya bahwa segala sesuatu yang relevan jadi hal yang sangat penting. Di kelompok informasi desa, tabloid masih jadi prioritas. Di stasiun kereta api orang butuh koran. Mungkin perlu dikasi terkait ukuran, jumlah halaman, dan konten. Media cetak dan online sama-sama belajar. Bahwa unsur visual jadi kekuatan. Mungkin pembicaraan terkait modernisasi bisa dimulai dari situ,” tutur alumni Stikosa AWS ini.
Ia kemudian menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan pembaca media cetak menurun. Seperti menurunnya kualitas budaya baca, adanya kebutuhan akan berita serta adanya dominasi sosial media yang digadang-gadang sebagai faktor media cetak hampir punah.
“Menurunya industri media cetak sebatas kuantitas bukan kualitas, menurun bahkan matinya media cetak bukan karena pembaca media cetak (berbayar) lari ke portal berita (gratisan) melainkan ada banyak variabel seperti kualitas budaya baca, kebutuhan akan berita hingga dominasi media sosial,” ujarnya.
Media cetak, kata Hendro, juga diperngaruhi ketersediaan kertas. “Media cetak bisa saja mati di masa yang akan datang. Namun butuh proses panjang. Ingat. Sejumlah orang memerlukan informasi yang kuat dan lengkap, bukan yang terburu-buru. Media cetak memiliki kelebihan ini. Mereka lebih berhati-hati, lebih disiplin dalam verifikasi dan check dan recheck.
“Pak Peter Arohi, almarhum, jurnalis senior, pernah mengingatkan bahwa koran butuh kertas, dan kertas butuh pohon bahkan hutan. Kesadaran akan lingkungan ini terus menguat. Apalagi saat orang berkenalan dengan perubahan iklim, cuaca ekstrem, panas global. Pada saat bersamaan, orang juga butuh informasi seketika di genggaman. Media cetak akan mati? Bisa saja. Tapi proses itu masih panjang. Sejumlah orang masih butuh informasi yang kuat, lengkap,” tutupnya.
Tim Produksi – Galih Adi Prasaja, Moch Irfan, Noufal Rangga, Subastian Salim