Surabaya (prapanca.id) – Dalam sebuah kesempatan, almarhum Peter A. Rohi bercerita banyak tentang Stikosa AWS, kampus tempat ia mengenyam pendidikan kewartawanan di Surabaya.
“Waktu itu masih Akademi Wartawan Surabaya, AWS,” kenangnya. Di masa itu, kata Peter, ia berkenalan dengan banyak teman yang seiring waktu menjadi tokoh pers yang diakui keberadaannya. Seperti Amak Syarifuddin, Didit Hape, dan masih banyak lagi.
Di kalangan lebih muda, ia juga mengenal Tjuk Suwarsono dan Zainal Arifin Emka yang kelak tercatat sebagai wartawan berpengaruh di Harian Sore Surabaya Post. Di luar nama-nama yang ia sebut, ada beberapa nama lain yang berpengaruh di bidangnya.
“Sehari-hari kami lebih banyak berdiskusi, bersaing sehat di bidang peliputan. Jarang masuk ruang kuliah,” ujarnya sambil tertawa.
Ya, gambaran ini melekat erat di cerita Peter, jurnalis senior yang semasa hidup mencipta banyak karya legendaris ini. Dan apa yang ia alami, beberapa kali juga dirasakan jurnalis dan praktisi komunikasi senior AWS, bahkan saat sudah berganti nama menjadi Stikosa AWS.
Stikosa AWS atau Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya, berdiri pada 11 November 1964. Saat itu, Stikosa AWS berdiri dengan identitas Akademi Wartawan Surabaya dan fokus pada pendidikan jurnalistik.
Sejarah Stikosa AWS
Zainal Arifin Emka, mantan Ketua Stikosa AWS, pernah bercerita bahwa kelahiran Stikosa AWS bermula dari keprihatinan mantan Menteri Luar Negeri, Roeslan Abdulgani, saat berkunjung ke Surabaya.
Di sela kunjungan, ada beberapa wartawan Surabaya mendekat dan melakukan wawancara. Roeslan, lanjut dia, tiba-tiba melontarkan pernyataaan tentang kualitas wartawan yang melakukan wawancara.
Keprihatinan Roeslan itulah yang mendorong A. Azis, pendiri Surabaya Post, bersama sejumlah wartawan senior waktu itu akhirnya mendirikan sekolah khusus untuk wartawan. Sekolah itulah bernama Akademi Wartawan Surabaya (AWS), dengan jenjang diploma.
Mengutip laman Stikosa-AWS.ac.id, Stikosa AWS terbentuk dari ide Pemimpin Redaksi Harian Surabaya Pos, A Aziz, dan Kepala Jawatan Penerangan (Japen) Jawa Timur, R Moeljadi Notowardojo, pada kuartal akhir 1963. Keduanya memiliki kepedulian terhadap kehidupan pers dan pekerja pers di Jawa Timur, terutama dalam konteks era Orde Lama.
Pada 9 Februari 1964, A Azis menyampaikan keinginan pembentukan lembaga pendidikan wartawan di hadapan tamu undangan di Balai Wartawan Surabaya, bertepatan dengan ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Baik A. Aziz maupun Moeljadi Notowardojo sepakat bahwa Surabaya butuh lembaga yang kredibel untuk mendukung keberlangsungan wartawan di Jawa Timur.
Hasil pertemuan pada 18 Maret 1964 menghasilkan terbentuknya Yayasan Pendidikan Wartawan Surabaya (YPWS) dengan Mayor Sukarsono sebagai ketua dan Singging sebagai sekretaris yayasan. R Moeljadi Notowardojo diangkat sebagai Direktur Akademi Wartawan Surabaya (AWS) yang pertama.
Di tengah perjalanan yang penuh perjuangan, Akademi Wartawan Surabaya (AWS) berhasil berdiri di tengah dinamika perpolitikan Indonesia pada saat itu.
Pada tahun 1984, AWS meningkatkan statusnya menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa (Stikosa). Meski demikian, sebutan AWS masih melekat meski kepanjangannya telah berubah menjadi Almamater Wartawan Surabaya.
Hingga kini, Stikosa AWS menggunakan logo yang dibuat oleh Soewoko BA. Logo ini memiliki bentuk dasar segilima. Filosofi logo ini dipilih karena mencerminkan Dasar Negara Indonesia, Pancasila. Pada setiap sudut segilima, terdapat lingkaran kecil yang menggambarkan lima saluran atau media dalam kegiatan publisitias.
“Stikosa AWS berdiri sebagai jawaban atas banyak pertanyaan. Bahwa profesi jurnalis, public relations, broadcaster, dan lain-lain, harusnya memiliki dasar keilmuan kuat. Tentang komunikasi, tentang pemahaman terhadap audience, tentang kekuatan pesan, bahkan tentang impact,” jelas Syaifudin Alamsyah, Wakil Ketua Yayasan Pendidikan Wartawan Jawa Timur (YPWJT).
Jawaban yang disiapkan Stikosa AWS, kata Sefdin, panggilan akrabnya, terbukti relevan hingga kini. Dan kenyataan ini diakui oleh banyak lembaga komunikasi massa, seperti perusahaan media, public relations consultant, dan masih banyak lagi.
“Stikosa AWS adalah kampus komunikasi tertua di Indonesia Timur. Usia yang dilewati membuat kampus ini bukan menjadi tertatih, tapi makin kuat, bijak, dan cerdas dalam menjawab persoalan dan tantangan zaman,” tegasnya.
Melengkap pernyataan ini, M. Zurqoni, Ketua Ikatan Alumni Stikosa AWS mengatakan, Stikosa AWS adalah kampus yang tumbuh dengan cara yang unik.
“Stikosa AWS tentu tidak bisa disamakan dengan kampus komunikasi kebanyakan. Ini kampus yang tumbuh dengan caranya. Bahwa dalam sebuah perjalanan, kampus yang mewadahi pimpinan, karyawan, dosen, mahasiswa, dan alumni, mampu tumbuh bersama dan saling menguatkan,” jelasnya.
Sejak dulu, lanjut Zurqoni, kampus membuka ruang kolaborasi dan dialektika antar elemen. “Karena bagaimanapun, alumni adalah pihak yang lebih dahulu mengenal tantangan di lapangan. Dan dengan suka rela, mereka mau berbagi referensi, wawasan, bahkan membukakan pintu,” tegasnya.
Oleh karena itu, Zurqoni berharap bahwa ke depan, setiap elemen di kampus ini bisa terus bersinergi secara terbuka. “Karena kuncinya di situ, jalan bareng dan saling menguatkan,” tutupnya.
Selaras dengan rentetan sejarah yang ada, Stikosa AWS terus berkembang sebagai lembaga pendidikan tinggi yang berkomitmen pada peningkatan kualitas dan peran praktisi komunikasi massa di Jawa Timur. (sas)