Anak-anak yang terlahir sebagai generasi digital native terpapar internet sejak dini. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir bahwa mayoritas anak berusia 5 tahun ke atas di Indonesia sudah mengakses internet untuk media sosial. Persentasenya mencapai 88,99%. Selain itu, sebanyak 66,13% anak usia 5 tahun ke atas di Indonesia juga mengakses internet untuk mendapat informasi atau berita. Sementara yang mengakses internet untuk hiburan sebanyak 63,08%. Dari angka-angka tersebut, 98,70% anak mengakses internet menggunakan ponsel pintar.
Tingginya konsumsi internet di kalangan anak-anak patut menjadi perhatian orang tua. Bukan hanya tentang perlunya literasi digital, namun juga perlunya pendampingan dan kontrol orang tua. Banyak orang tua tidak melindungi anak ketika mereka mengakses internet dan membuat anak rentan menjadi korban kejahatan di ruang digital. Perkembangan teknologi internet bukan hanya membawa manfaat namun juga dampak. Akses internet anak-anak yang intens, riskan dari paparan konten-konten ilegal dan berbahaya (malicious content).
Untuk mengetahui apakah orang tua sudah cukup melakukan kontrol dan pendampingan saat anak-anak mengakses internet, kita dapat mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Apakah orang tua memiliki kontrol atas penggunaan internet anak-anak?
- Apakah orang tua selalu tahu apa yang dilakukan anak-anak saat menggunakan internet?
- Apakah ada batasan waktu bagi anak-anak menggunakan internet?
- Apakah orang tua berteman dengan anak-anak di media sosial?
- Apakah orang tua mengenal teman-teman anak-anak di internet dan mengetahui bagaimana mereka saling berinteraksi?
- Apakah orang tua rutin berbincang dengan anak-anak tentang konten-konten di internet yang mereka konsumsi?
- Apakah orang tua mengetahui adanya konten-konten berbahaya di internet seperti: kekerasan dan pornografi yang dapat diakses anak-anak?
Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut didominasi dengan ‘tidak’, maka hal itu menunjukkan bahwa tingkat pendampingan orang tua pada anak saat mengonsumsi internet sangat rendah. Lalu apa efeknya? Kejahatan pornografi yang menyasar anak di bawah umur terus mengalami peningkatan setiap tahun. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), salah satu faktor pemicu tingginya kasus itu adalah mudahnya akses internet dan lemahnya pengawasan orangtua.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, total pengaduan kasus pornografi dan cyber crime atau kejahatan online yang menjerat anak-anak pada 2014 sebanyak 322 kasus, 2015 sekira 463 kasus, 2016 meningkat menjadi 587 kasus, 2017 menjadi 608 kasus dan pada 2018 naik mencapai 679 kasus. Angka ini tentu sudah jauh lebih lagi saat ini.
Beberapa kejahatan digital yang masuk dalam pengaduan KPAI sebagai berikut.
Cyber porn
Cyber porn adalah penyebaran muatan yang mengandung pornografi melalui internet. Kontent pornografi ini dapat menelusup melalui platform apa saja mulai dari percakapan di media sosial, games online, atau video online.
Grooming.
Yakni proses membangun komunikasi dengan seorang anak melalui internet dengan tujuan memikat, memanipulasi, atau menghasut anak tersebut agar terlibat dalam aktivitas seksual.
Sextortion. Yaitu pacaran yang dimediasi oleh internet baik melalui akun percakapan maupun media sosial yang berujung pemerasan.
Cyber bully
Yakni perundungan di media online. Cyber bully memiliki beragam jenis dan model bergantung dari platform yang diakses anak-anak. Cyber bully kerap terjadi di media sosial maupun dari interaksi antarpemain pada games online.
Perjudian online
Anak-anak yang belum memiliki pengetahuan cukup akan mudah tergoda untuk mengklik link-link hypertext yang ternyata membawa mereka ke platform judi online. Iklan judi online seringkali dibuat dengan sangat menarik dan atraktif, bahkan dipromosikan oleh content creator gamer.
Live streaming video
Hal ini bisa berupa video-video porno, terkadang muncul sebagai link text pada video lain yang sedang ditonton anak-anak.
Trafficking serta penipuan online.
Anak-anak dan perempuan seringkali menjadi kelompok yang rentan mengalami trafficking dan penipuan online. Baik dengan mencuri identitasnya dan kemudian menggunakannya untuk tujuan kejahatan atau melakukan transaksi yang dapat mengakibatkan anak-anak menjadi korban perdagangan manusia. Perdagangan anak merupakan perilaku atau percobaan yang melibatkan pembelian, penjualan, pengiriman, dan penerimaan anak di bawah umur (kurang dari usia 18 tahun), baik di dalam negara maupun antar negara dengan menggunakan kekerasan, penipuan, pelibatan hutang. Dengan tujuan pemaksaan pekerjaan domestik, pelayanan seksual, dan perbudakan dengan anak tersebut mendapatkan bayaran ataupun tanpa imbalan (Rusyidi et al., 2017).
Dengan semua risiko yang mungkin dialami anak-anak tidakkah mendampingi dan mengontrol penggunaan internet pada anak menjadi keniscayaan? Lantas apa yang perlu dilakukan orang tua?
Salah satu hal yang darurat dan perlu segera dilakukan adalah literasi digital terhadap anak-anak.Tiga hal yang utama dalam literasi digital meliputi:
Personal Data Security (Keamanan Data Pribadi). Orang tua wajib belajar dan memahami cara melakukan pengamanan terhadap data personal anak-anak di internet. Kemudian membagikan pengetahuan dan mengajarkan keterampilannya kepada anak-anak. Misalnya bahwa data atau identitas pribadi tak boleh dibagikan di media sosial maupun media percakapan. Data pribadi berkaitan dengan nama, alamat, sekolah, dan aktivitas sehari-hari yang menunjukkan identitas terutama ketika akun media sosial bersifat publik. Jika membutuhkan alamat email untuk membuat akun games online, orang tua dapat mengarahkan agar menggunakan akun email orang tua alih-alih membuatkan akun email tersendiri.
Parental Control (Pengawasan Orang Tua). Kontrol orang tua dapat dimaknai sebagai pendampingan dan pengawasan dalam penggunaan internet pada anak-anak. Hal ini dapat dimulai dengan membuat kesepakatan bersama antara orang tua dan anak-anak (dan bukan peraturan sepihak) mengenai waktu dan penggunaan internet. Misalnya menerapkan jam internet. Hal ini penting mengingat hakikat anak-anak semestinya aktif bergerak secara fisik. Juga mempertimbangkan screen time yang ideal bagi anak-anak. Kesepakatan juga perlu membincang konten-konten yang boleh dan berbahaya untuk diakses beserta pengetahuan tentang risiko yang ditimbulkan. Contoh-contoh kasus yang ada dapat didiskusikan bersama anak-anak agar mereka memahami mengapa suatu hal dilarang dan pada akhirnya menaatinya karena kesadaran dan pemahaman akan bahayanya.
Digital Security Education (Pendidikan tentang Keamanan Digital). Dengan berbagai risiko yang dihadapi, anak-anak mesti dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang keamanan digital. Beberapa hal yang umum dapat diajarkan meliputi berikut ini.
Berhati-hati dan selektif dalam berteman di media sosial. Pada praktiknya, anak-anak dapat diajari untuk selektif saat menerima permintaan pertemanan di media sosial terutama dari orang tidak dikenal atau orang dewasa. Ini sebabnya, akan lebih baik jika anak-anak tidak dibuatkan akun media sosial sendiri yang tidak diawasi oleh orang tua.
Tidak membagikan atau menggunggah identitas pribadi atau konten-konten pribadi yang menunjukkan aktivitas riil. Misalnya foto saat berada di rumah atau sekolah yang menunjukkan lokasi rumah/sekolah atau identitas sekolah.
Berhati-hati dan berdiskusi dengan orang tua saat hendak mengklik link-link yang muncul saat berselancar di internet. Jika kondisinya tidak selalu memungkinkan untuk bertanya pada orang tua karena mungkin orang tua bekerja, maka akan lebih baik jika TIDAK mengklik link tersebut. Selalu ada waktu untuk melakukannya nanti, jika memang dirasa perlu.
Keterampilan menghadapi cyberbullying. Saat mengalami bullying, anak-anak diminta untuk selalu melaporkannya pada orang dewasa (kakak/om/tante/dlsb) atau orang tua. Anak-anak juga dapat diajarkan cara mereport atau mengeblock pelaku dan mengambil screenshoot sebagai bukti untuk melakukan report. Karena anak-anak kita mungkin juga menjadi pelaku bullying, maka kita perlu mengajarkan pula etika berinternet, bagaimana aturan-aturan dasar dalam berinteraksi dengan orang lain di dunia maya.
Dampak dan bahaya yang timbul dari game online. Batas waktu bermain game perlu diterapkan sebagai kesepakatan orang tua dan anak termasuk dampak dan bahaya yang mungkin timbul dari interaksi bersama sesama pemain game.
Privasi data lokasi. Anak-anak perlu diajari bahwa informasi tentang data lokasi merupakan informasi yang bersifat privat dan sebaiknya tidak dibagikan. Tidak mengetag lokasi di media sosial, merupakan salah satu upaya keamanan data pribadi. Jika menggunakan gawai pribadi, orang tua dapat mengajari anak-anak tentang cara mematikan fitur lokasi di ponsel.
Privasi dan data pribadi. Memastikan bahwa data-data pribadi yang kita unggah di internet aman dan tidak dapat diakses secara publik. Karena keterampilan ini cukup kompleks, maka orang tua dapat membantu memastikan secara rutin memeriksa pengaturan privasi. Selain itu perlu juga mengecek bagaimana tampilan akun-akun media sosial anak-anak jika mereka memiliki akun terpisah.
Pengawasan konten-konten yang dikonsumsi. Anak-anak perlu diajak bicara tentang konten-konten yang berbahaya dan berisiko menimbulkan kejahatan. Secara rutin ajak anak berdiskusi tentang apa yang mereka tonton, siapa teman-teman mereka di dunia maya, bagaimana mereka berinteraksi, apa yang mereka sukai dan mereka bagikan. Saat berdiskusi, orang tua dapat memasukkan nilai-nilai moral dan etika agar anak memiliki dasar pengetahuan tentang konten-konten apa yang layak mereka konsumsi.
Pendampingan dan pengawasan orang tua juga perlu dilakukan saat anak-anak meminta izin beraktivitas di dunia nyata. Misalnya ketika teman online mengajak bertemu. Orang tua selalu harus memastikan keamanannya, apakah memang diperlukan atau tidak dan sedapat mungkin mendampingi anak-anak. Sudah banyak kejahatan yang terjadi pada anak-anak karena orang tua membiarkan anak bertemu dengan orang yang baru saja dikenalnya di internet, tanpa pendampingan.
Fakta yang dilansir KPAI bahwa 5,5 juta anak Indonesia telah menjadi korban pornografi, data statistik anak-anak yang mengalami kecanduan game dan judi online, serta fenomena menyakiti diri sendiri (self harm) menjadi penanda bahwa literasi digital orang tua kepada anak-anak adalah keniscayaan.***