Oleh: Suprihatin
Tanggal 22 Desember 2023 akan diperingati sebagai Hari Ibu ke-95. Hampir satu dasawarsa sejak dilaksanakannya Kongres Perempuan Indonesia pertama di Yogyakarta tahun 1928, sebagai cikal bakal lahirnya Hari Ibu.
Untuk memeringati Hari Ibu tahun ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) mengusung tema “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju”. Dalam Panduan Peringatan Hari Ibu ke-95 Tahun 2023, disebutkan bahwa
tema tersebut bermakna sebagai panggilan untuk mengapresiasi kontribusi para perempuan Indonesia untuk kemajuan bangsa dalam berbagai aspek kehidupan.
Tabik dan apresiasi patut dilayangkan kepada para pejuang perempuan yang telah berupaya mendobrak tradisi hegemoni politik sebagai ruang gerak laki-laki melalui penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia yang salah satunya menjadi jejak penetapan Hari Ibu Nasional. Namun setelah 95 tahun, seperti apakah rupa kesetaraan gender yang menjadi cita-cita bersama itu?
Selama bertahun-tahun, masyarakat memaknai Hari Ibu sebagai hari memuliakan Ibu. Sebuah filosofis luhur yang bermula dari nasehat bahwa Ibulah awal segala mula, sang madrasah pertama. Di hari Ibu, banyak dibuat kegiatan yang bertujuan memberikan penghormatan dan ucapan rasa syukur atas kehadiran Ibu dalam hidup. Sebuah cara menghidupi semangat perempuan dalam wujud Ibu yang menghangatkan hati.
Sejalan dengan itu, perayaan hari Ibu berjalan bersamaan dengan kenyataan bahwa perjuangan mencapai kesetaraan gender belumlah usai. Kita masih dibayangi data statistik dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, kekerasan dalam rumah tangga yang berujung pada hilangnya nyawa perempuan dan anak, kian beragamnya jenis dan model kekerasan yang rentan dialami perempuan dan anak, pandemi yang meluruhkan sendi-sendi perekonomian perempuan dan keluarga, dan tentu saja ancaman problem kecerdasan artifisial dalam konteks rendahnya aksesibilitas perempuan dan persoalan literasi digital serta posisi perempuan sebagai objek dan kelompok rentan.
Peringatan Hari Ibu dan Cita-Cita Kesetaraan Gender
Tema dan subtema yang menjadi semangat peringatan hari Ibu tahun ini menjadi refleksi akhir tahun yang menarik. Selain tema utama: “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju, terdapat 4 subtema Peringatan Hari Ibu 2023.
Pertama subtema Perempuan Bersuara. Subtema ini mengandung makna bahwa seorang perempuan harus memiliki keberanian untuk menyampaikan aspirasi, gagasan, dan ide-ide untuk kemajuan bangsa.
Subtema kedua adalah Perempuan Berdaya dan Berkarya. Subtema kedua ini bermakna bahwa perempuan tidak hanya perlu berdaya secara ekonomi, namun juga secara sosial budaya, dan mampu mengambil peran dalam pengambilan keputusan melalui karya-karya nyata.
Subtema ketiga adalah Perempuan Peduli, yang bermakna bahwa perempuan perlu memiliki kepedulian dalam berbagai isu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Subtema keempat adalah Perempuan dan Revolusi. Bermakna bahwa perempuan telah mengambil peran dan kontribusi dalam setiap perubahan dan dinamika untuk kemajuan bangsa.
Bagaimana capaian dari keempat subtema tersebut? Dalam buku laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender tahun 2022 yang disusun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, disebutkan bahwa kesetaraan gender merupakan salah satu isu global. Oleh karenanya mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan menjadi salah satu tujuan dalam pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Pada tataran global, kondisi ketimpangan gender Indonesia dapat dilihat melalui nilai Global Gender Gap Index (GGGI). Tahun 2021, berdasarkan Global Gender Gap Report, Indonesia berada pada urutan 101 dari 156 negara dengan skor GGGI sebesar 0,688 atau 68,8 persen. Hal ini berarti baru 68,8 persen kesetaraan gender tercapai di Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, Indonesia berada pada posisi ke 7 dari 10 negara ASEAN.
GGGI terdiri atas empat sub indeks yaitu Partisipasi dan Peluang di Sektor Ekonomi, Capaian Pendidikan, Kesehatan dan Kelangsungan Hidup, dan Pemberdayaan Politik. Secara garis besar, peringkat Indonesia dibandingkan dengan 156 negara di dunia pada sub-sub indeks GGGI masih berada pada peringkat ke-99 pada subindeks partisipasi dan peluang sektor ekonomi, peringkat ke-107 pada subindeks capaian pendidikan, peringkat ke-76 pada subindeks kesehatan dan kelangsungan hidup, dan peringkat ke-92 pada subindeks pemberdayaan politik
Kecerdasan Artifisial: Tantangan Baru Bagi Perjuangan Kesetaraan Gender
Belakangan ini ramai diperbincangkan model berbasis kecerdasan buatan dengan akun Instagram bernama @lentaripagi. Akun ini mengklaim dirinya sebagai kreator digital AI pertama di Indonesia. Meski baru memiliki 255 unggahan, akun tersebut telah diikuti oleh 105ribu pengikut. Model AI pertama di Indonesia tersebut dikreasi oleh Imagine Studio.
Lentari van Lorainne, atau digambarkan bernama panggilan Riri, diciptakan sebagai realita baru berupa selebgram berbasis AI. Profil dan kesehariannya dibuat menyerupai manusia lengkap dengan cerita tentang orang tuanya, masa kecilnya, dan bahkan deskripsi dirinya. Akun yang sudah berhasil mendapatkan endorsement ini telah menarik simpati publik yang sebagian besar para pria berkat foto-foto dan videonya yang bisa dikatakan sulit diidentifikasi oleh mata awam sebagai hasil kecerdasan buatan.
AI, sebagai salah satu bentuk inovasi teknologi telah membawa manusia pada hal-hal baru yang sebelumnya tidak terbayangkan. Ia bukan hanya mampu menggantikan berbagai tugas manusia dalam hitungan detik, namun juga memberikan hasil yang dianggap memuaskan manusia meski seringkali bersifat semu atau palsu. Sebagai hasil dari budidaya teknologi, AI semestinya memberikan peluang meningkatkan nilai-nilai kehidupan bagi manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Termasuk kemungkinan untuk menjadikannya sebagai sarana untuk mencapai kesetaraan gender.
Alih-alih demikian, pada kenyataannya masih banyak perempuan yang belum memiliki akses dan keterampilan untuk menggunakan AI sebagai media untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, mengakses peluang ekonomi yang lebih baik, atau meningkatkan pengetahuan dan keterampilan baru berbasis digital. Selain problem fasilitas dan kesenjangan sosial, perempuan seringkali dianggap wajar jika kurang berinteraksi dengan hal-hal yang bersifat teknis. Hal ini membuat perempuan sendiri seringkali merasa enggan untuk lebih dalam terlibat dengan teknologi.
Keterlibatan perempuan dalam AI belum mampu memberdayakan perempuan, namun malah menjadikan perempuan lagi-lagi sebagai objek belaka. Selain Riri yang dijual sebagai model AI dengan mengandalkan visualisasi tubuh perempuan yang seksi, belakangan hasrat perempuan untuk terus menerus menjadi lebih cantik dieksploitasi habis-habisan oleh para pengembang AI dengan menciptakan aplikasi-aplikasi yang mengolah data berupa wajah asli perempuan agar menjadi cantik sebagaimana tipikal stereotip yang selama ini dipelihara.
Seperti dilansir Detik.com, salah satu video Tik Tok yang diunggah akun AI World Beauties menampilkan gambar perempuan Asia Selatan dan Asia Timur yang dibuat dengan AI. Gambar baru wajah-wajah perempuan tersebut menurut para pakar berpotensi merugikan dan membiarkan stereotip rasial. Menurut Dr Shibani Antonette, dosen ilmu data dan inovasi di Universitas Teknologi Sydney sebagaimana dikutip dalam berita, Gen AI adalah jenis kecerdasan buatan yang didukung oleh model pembelajaran mesin. Ia menggunakan pola dan informasi yang dipelajari dari jutaan data untuk membuat konten baru yang belum pernah ada sebelumnya. Kulit putih, hidung tipis, bibir penuh dan tulang pipi yang tinggi. Begitulah karakteristik cantik yang di-generate oleh mesin video AI tersebut. Ini tentu adalah problem serius karena memperkuat dan melanggengkan stereotip yang sudah ada terutama terkait ras dan gender.
Pengarusutamaan Gender Sebagai Manifesto Politik
Kesulitan untuk mewujudkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan menurut United Nations Development Programme (UNDP) disebabkan beberapa alasan: (1) kurangnya komitmen politik; (2) salah arah kebijakan; (3) inefesiensi dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan. Kendala-kendala yang berasal dari nilai-nilai ideologi yang dominan seperti ideologi patriarki juga memberi kontribusi cukup besar yakni mempersulit upaya untuk mewujudkan kesetaraan antara kaum perempuan dengan laki-laki. Kondisi ini dapat diartikan bahwa hambatan untuk memperbaiki status sosial bagi perempuan tidak hanya berasal dari nilai-nilai budaya masyarakatnya, namun juga dari sisi politik negaranya.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Kesetaraan gender dapat dipahami sebagai sebuah kondisi di mana laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam memeroleh hak-haknya sebagai manusia sehingga mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai lini kehidupan. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dapat ditengarai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta mendapatkan manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Keniscayaan ini salah satu kuncinya terletak pada implementasi PUG. Pemerintah harus memasukkan kesetaraan gender sebagai isu politik. Sebagai publik, kita dapat membaca keseriusan perjuangan kesetaraan gender ini melalui political will. Dengan Pemilu sebagai agenda politik terdekat, maka memilih para presiden dan wakil presiden, anggota legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah, atau melihat latar belakang partai politik pengusungnya yang memiliki visi dan misi yang berperspektif gender, dapat menjadi bahan pertimbangan sebelum kita memutuskan untuk memilihnya. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih memberi perhatian pada masalah-masalah gender.***