Surabaya (prapanca.id) – Surabaya pernah berjaya sebagai kota minyak pada masa pemerintah kolonial Belanda. Bahkan kilang minyak pertama di Hindia Belanda (sebutan Indonesia pada waktu itu) terdapat di Wonokromo, yang didirikan tahun 1889.
Pendirian kilang minyak Wonokromo meneguhkan posisi Surabaya sebagai kota penghasil minyak dan mempunyai kontribusi pemasukan yang besar bagi Kerajaan Belanda. Sekaligus memperkuat posisi Belanda sebagai penghasil minyak terbesar ke-empat di dunia pada tahun 1940. Minyak menjadi primadona penghasil pundi-pundi uang bagi pemerintah kolonial Belanda.
Demikian antara lain hasil diskusi bertajuk “Surabaya Kota Minyak” yang diadakan komunitas Begandring Soerabaia di Lodji Besar, Jl. Makam Peneleh 46 Surabaya, Jumat (2/2) lalu. Diskusi ini menghadirkan pegiat sejarah Agung Widyanjaya, yang menyoroti sejarah kilang minyak Surabaya, Navy Eka Pattiruhu dan Kuncarsono Prasetyo, dipandu moderator Achmad Zaki Yamani.
Kilang minyak Wonokromo ini mempunyai sejarah yang panjang. Tercatat, pada tanggal 17 Mei 1944 kilang minyak ini menjadi target serangan udara tentara Sekutu, saat tentara Jepang menduduki wilayah Indonesia. Sekutu ingin menghancurkan target strategis agar tidak jatuh ke tangan Jepang. Pada masa perang kemerdekaan, para pejuang juga berupaya keras untuk merebut penguasaan kilang minyak ini.
Dari catatan pakar Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr Ir Amien Widodo MSi, eksplorasi migas di Surabaya sudah dimulai sejak tahun 1886. Ada tiga lapangan bekas eksplorasi migas, yakni di Lidah Kulon, Krukah dan Kutisari. Namun kini bekas eksplorasi migas itu tidak meninggalkan jejak sedikitpun, karena sudah menjadi kawasan perumahan.
Kejadian yang sempat menghebohkan warga perumahan Kutisari Utara pada bulan Oktober 2019 lalu, yakni muncul semburan lumpur berminyak di dua titik rumah warga, karena di kawasan perumahan tersebut dulunya adalah sumur bekas eksplorasi minyak pada jaman Belanda. Menurut Amien Widodo, ada puluhan bekas sumur minyak di tiga kampung tersebut. Walaupun sudah ada data, namun untuk mencari titik kordinatnya cukup sulit untuk dideteksi karena sudah tertutup oleh bangunan rumah-rumah penduduk.
Demikian juga bekas kilang minyak di Wonokromo yang dibangun pada tahun 1889 dan mulai beroperasi pada tahun 1890. Tak ada jejak sedikitpun sebagai kilang minyak pertama di Indonesia. Kawasan bekas kilang minyak yang luas itu kini menjadi kantor Pertamina, kantor Dinas Pajak, pasar tradisional Mangga Dua, komplek pertokoan dan apartemen.
Satu-satunya jejak yang tersisa adalah toponimi nama jalan dan kampung. Yakni Jalan Bentul Pipa dan kampung Ngagel Gang Pipa. Di kedua kampung itu, sebelum tahun 80-an terdapat banyak pipa besar yang mengalirkan minyak mentah (crude oil) dari Sumur Minyak di Bendul Merisi menuju Kilang Minyak Wonokromo. Demikian juga pipa besar di Ngagel gang Pipa yang mengalirkan minyak dari lapangan Krukah ke kilang Wonokromo.
Sekelumit Sejarah
Merunut catatan, pengelolaan minyak dan gas di Indonesia sudah dimulai sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942), melalui lembaga Vereenigde Oost Indedische Company (VOC) yang beroperasi sejak 1816. Adalah Ir. Adriaan Stoop, seorang Insinyur Pertambangan Belanda sebagai pelopor industri migas di Jawa.
Dalam penugasan ke Pulau Jawa, Adriaan Stoop menemukan sumber minyak di Kruku (sekarang bernama Krukah) dan desa Koeti (sekarang Kutisari) tahun 1887 dan desa Ledok, Cepu, Jawa Tengah pada tahun 1901. Menurut penelusuran Agung Widyanjaya, setelah mendirikan perusahaan minyak Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM) pada tanggal 22 Juli 1887, ia mendapat konsesi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya minyak bumi di Jawa. Eksplorasi pertamanya dilakukan di desa Koeti (sekarang bernama Kutisari, Rungkut).
Sedangkan untuk pengolahan minyak, ia mendirikan kilang minyak Wonokromo pada tahun 1889, dan tercatat sebagai kilang minyak pertama di Indonesia. Disusul kemudian kilang pengolahan minyak Cepu, jawa Tengah, pada tahun 1894. Hingga tahun 1990, kilang minyak Wonokromo masih beroperasi, menghasilkan 5000 barel/hari.
Kilang minyak pertama di Indonesia ini kemudian ditutup tanpa meninggalkan jejak sejarah, kecuali bangunan kantor Pertamina yang berdiri megah dan deretan pertokoan serta apartemen di sekelilingnya.(sas)