Istilah Kekerasan Berbasis Gender (KBG) merujuk pada definisi kekerasan berbasis gender dari Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), yang mendefinisikan KBG sebagai kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Hal ini termasuk tindakan yang mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental atau seksual, ancaman untuk tindakan tersebut, paksaan dan penghapusan kemerdekaan.
Kemudahan akses internet, dan cepatnya perkembangan teknologi ternyata membawa dampak munculnya bentuk-bentuk baru kekerasan berbasis gender, salah satunya adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebut KBGO sebagai Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE).
SAFENet, sebuah organisasi regional yang berfokus pada upaya memerjuangkan hak-hak digital di kawasan Asia Tenggara, menerjemahkan KBGO sebagai kekerasan yang memiliki niat atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksualitas, dengan menggunakan teknologi.
Terdapat setidaknya 11 jenis kasus yang dapat dikategorikan KBGO, termasuk di dalamnya dikenal dengan istilah non consensual intimate image (NCII) atau sering disebut dengan istilah revenge porn.
Beberapa waktu lalu, dunia media sosial kita gempar karena penyebaran video berisi adegan hubungan intim yang diduga merupakan salah satu artis tanah air. Video ini diasumsikan disebarkan tanpa izin dari artis perempuan yang menjadi pemeran di dalamnya, dan menuai berbagai reaksi dari pengguna internet. Banyak yang menyebut kasus ini sebagai revenge porn. Istilah revenge porn sempat menjadi trending di berbagai media sosial.
Istilah revenge porn sendiri masih menjadi perdebatan, karena dianggap justru menyalahkan korban atas nasib buruk yang menimpanya atau berpotensi victim blaming. Penggunaan kata revenge dianggap mengindikasi bahwa kekerasan terjadi karena korban berbuat salah lebih dahulu, sementara pelaku hanya ‘membalas dendam’ atas kesalahan korban tersebut. Sementara kata porn atau pornografi mengacu pada industri hiburan, padahal konten intim pada kasus ini biasanya tidak ditujukan untuk hiburan khalayak ramai, namun atas dasar intimasi sebagai pasangan.
Untuk menggantikan istilah revenge porn, kemudian digunakan terma Non-Consensual Intimate Images Violence (NCII). NCII merupakan salah satu kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), di mana pelaku memanfaatkan konten intim/seksual baik berupa foto dan/atau video yang memperlihatkan korban, dengan tujuan mengancam dan mengintimidasi korban agar menuruti kemauan pelaku.
Pentingnya Perlindungan Privasi Online
Untuk menjaga keamanan diri dari berbagai bentuk kekerasan dan kejahatan digital, perlindungan privasi merupakan salah satu kunci. Merujuk pada Safenet, privasi dalam konteks ini adalah batasan atas diri atau informasi mengenai diri dari jangkauan mata publik. Dalam ranah online, melindungi privasi dapat dimaknai sebagai upaya melindungi data pribadi, terutama data khusus atau data sensitif, dari siapa pun yang ingin mengakses informasi tersebut, baik secara online maupun offline.
Data pribadi, atau Personally Identifiable Information (PII), adalah suatu atau sekelompok hal dan/atau informasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, melacak, atau merujuk individu tertentu secara spesifik. Undang-Undang no. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi mendefinisikan Data Pribadi sebagai setiap data tentang seseorang baik yang teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik dan/atau nonelektronik.
Merujuk pada pasal 4 UU PDP, data pribadi diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yakni data pribadi spesifik dan data pribadi umum.
- Data pribadi spesifik meliputi:
- Data dan informasi kesehatan;
- Data biometrik;
- Data genetika;
- Catatan kejahatan;
- Data anak;
- Data keterangan pribadi; dan/ atau
- Data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara, data pribadi yang bersifat umum meliputi:
- Nama lengkap;
- Jenis kelamin;
- Kewarganegaraan;
- Agama;
- Status perkawinan; dan/atau
- Data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang antara lain nomor telepon seluler dan IP Address.
Data pribadi di atas, terutama yang bersifat umum, tanpa sadar kerap kita paparkan secara terbuka di media sosial (Facebook, Instagram, Twitter, Tik Tok, dll) maupun media percakapan (Whatsapp, Line, dll). Tak jarang seseorang bahkan mencantumkan biografinya secara lengkap pada deskripsi profil media sosialnya: mulai tempat sekolah, alamat tinggal, nama tempat bekerja, dan menghubungkan akun media sosialnya dengan anggota keluarga: pasangan, anak-anak, keponakan, dst.
Data pribadi yang sedemikian jelas dan terbuka, memudahkan mereka yang memiliki niat buruk untuk melakukan aksinya. Terlebih ketika akun media sosial kita diatur sebagai publik sehingga dapat diakses bukan hanya oleh teman-teman yang ada di daftar kontak pertemanan kita.
8 Tips Lindungi Privasi di Media Sosial
Dalam buku Panduan ‘Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online’, Safenet memberikan 8 tips yang dapat kita lakukan untuk melindungi privasi kita baik di media sosial maupun media percakapan.
- Memisahkan akun pribadi dengan akun publik.
- Mengecek dan mengatur ulang pengaturan privasi.
- Menggunakan password yang kuat dan menyalakan verifikasi login.
- Tidak mudah percaya kepada aplikasi dari pihak ketiga yang meminta akses akun media sosial.
- Menghindari berbagi lokasi pada waktu nyata.
- Berhati-hati terhadap URL yang dipendekkan.
- Rutin melakukan data detox.
- Menjaga kerahasiaan PIN atau password pada ponsel dan laptop pribadi.
Selain 8 tips ini ada baiknya kita menghindari penggunaan perangkat umum dan jika terpaksa menggunakannya, selalu memastikan bahwa kita tidak melakukan penyimpanan username dan password secara otomatis, dan selalu melakukan log out sesudah menggunakan perangkat tersebut.***
(Bagian Ketiga dari Seri Tulisan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan)