Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu
Dalam sebuah kesempatan Rasulullah Muhammad Saw pernah bersabda. “Di antara hamba-hamba Allah ada hamba yang bukan nabi, bukan pula syuhada. Tetapi kelak pada hari kiamat, para nabi dan syuhada cemburu terhadap kedudukaan mereka di sisi Allah.”
Para sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah beritahukan kepada kami, siapa mereka dan apa perbuatan mereka?”
Rasulullah menjawab: “Mereka adalah sekelompok manusia atau suatu kaum saling mencintai dalam ridha Allah, bukan oleh adanya hubungan keluarga, juga bukan karena harta-benda yang dapat membuat mereka saling memberi dan menerima. Demi Allah, wajah-wajah mereka ketika itu benar-benar bercahaya!”
Ada seorang wanita bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Ia adalah sosok di antara para wali Allah. Beliau mewariskan semerbak cinta dan aroma kewalian yang tidak pernah menguap. Tidak pernah lenyap. Wangi dan harum.
Pemilik nama lengkap Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah merupakan tokoh sufi perempuan. Dia disebut sebagai Ibu para sufi besar, terkenal dengan sikap zuhudnya.
Tokoh kelahiran Basrah (Irak) tahun 94 H ini diberi nama Rabi’ah sebab merupakan anak keempat –arba’ah, dari pasangan suami-istri yang hidup melarat.
Konon ketika Rabi’ah lahir dalam kegelapan alias tanpa adanya lampu penerangan karena ayahnya tidak mampu membeli minyak.
Ketenaran Rabi’ah menjadi inpirasi dunia tasawuf baik di kalangan Islam atau Barat. Ia ditahbiskan sebagai ikon sufi perempuan yang sukses oleh para penulis orientalis Barat, seperti Nicholson dan Masignon.
R.A. Nicholson bahkan memberikan sanjungan kepadanya dengan mengatakan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah adalah orang yang telah memberikan sebuah peta perjalanan. Melalui metode al-Hubb dan metode al-Ma’rifah, rombongan sufi dapat melaluinya dengan mudah dan cepat.
“Sketsa Sufisme Wali Perempuan” buku yang ditulis oleh An-Nabawi Jaber Siraj dan Abdussalam A Halim Mahmud menjelaskan, dengan kalimat hubbullah yang artinya “cinta kepada Allah” maka Rabi’ah al-Adawiyah telah melapangkan pengetahuan sufisme secara menyeluruh. Pantas ia dijuluki sang obor cinta!
Menolak harta majikan
Ketika ayahnya meninggal, Rabi’ah harus berpisah dengan keluarganya. Karena kondisi keuangan semakin sempit maka Rabi’ah kemudian hidup sebagai pembantu, dengan berbagai macam penderitaan yang datang silih berganti.
Majikannya berlaku semena-mena, selalu dikekang dan diperas. Tiada henti Rabi’ah selalu berdo’a kepada Allah untuk meminta petunjuk kepada-Nya atas penderitaan yang dialami. Rabi’ah tidak pernah menyia-nyiakan waktu luangnya untuk selalu berdo’a di pagi, siang maupun malam hari.
Setiap hari amalan ibadah yang dilakukan Rabi’ah pun semakin meningkat. Ia memperbanyak taubat, dzikir, puasa, serta menjalankan sholat secara rutin. Setiap kali melaksanakan shalat meneteskan air mata, karena merasa rindu kepada Allah.
Lama-kelamaan majikannya ikut mendengar rintihan Rabiah Al-Adawiyah saat berdoa. Suatu malam majikannya melihat ada cahaya yang menerangi bilik Rabi’ah saat beliau berdoa di malam hari.
Ketika diintai dari lubang kunci ternyata di atas kepala Rabi’ah ada sebuah lampu menggantung tanpa terhubung pada apapun.
Sang majikannya merasa bahwa Rabi’ah adalah kekasih Allah. Hingga, dari kejadian itu Rabi’ah dibebaskan majikannya. Bahkan diberi pilihan, yaitu mendapatkan semua harta majikannya atau kembali ke kota kelahirannya.
Karena Rabi’ah hidup untuk menjauh dari kekayaan dan kesenangan dunia, maka beliau memilih kembali ke kotanya untuk menjadi sufi dan mendekatkan diri dengan Allah.
Rabi’ah menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat. Hingga ia dikenal sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada Allah.
Sekembalinya melaksanakan ibadah haji dari Mekkah kesehatan Rabi’ah mulai menurun. Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti Abi Shawwal, yang telah menemaninya dengan baik hingga akhir hidupnya.
Menjelang kematiannya banyak orang-orang shaleh ingin mendampinginya, namun Rabi’ah menolak. Rabi’ah diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801 Masehi/185 Hijriah.
Alhamdulillah, bersama rombongan “Umrah Plus Al Aqsa” Manaya Indonesia saya bisa menyaksikan makam, atau setidaknya jejak dari Rabi’ah al-Adawiyah di Kota Jerusalem, Palestina.
Tiba di makam menjelang waktu isyak. Situasi remang-remang. Pagarnya terkunci rapat. Beruntung, setelah shalat maghrib penjaga makam datang membuka gembok, sehingga rombongan bisa masuk. KH. Abdul Azis pengasuh pondok pesantren Bahrul Hidayah memimpin doa.
Makam yang terletak di Bukit Tin, Jerusalem ini diklaim sebagai makamnya dan banyak dikunjungi peziarah. Namun selain di Bukit Tur ada makam lain berada di Basrah dan Mesir.
Ketika rombongan saya mengunjungi Alexanderia beberapa kawan, sempat berziarah ke makam Rabi’ah al-Adawiyah yang berada di Mesir.
Menurut Abdul Adzim, makam almarhumah dikelilingi oleh banyak makam para sufi. Melihat banyaknya komunitas makam para sufi, bisa jadi makam yang berada di Mesir mendekati kebenaran. Wallahu a’lam!
Harap maklum jika terdapat perbedaan. Yang pasti, ada satu puisi karya Rabi’ah yang menjadi headline di atas. Puisi ini tentu Anda pernah dengar, atau bahkan sangat hafal.
Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu maka bakarlah aku…
Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya…
Duh, Rabiah al-Adawiyah, membaca syairmu, saya jadi merinding!
* Wartawan senior -Alumni Stikosa-AWS