Hawa dingin menusuk tulang. Suhu udara berada pada kisaran 13 derajat. Saya Bersama rombongan tiba di kawasan Kota Lama Jerusalem Timur.
Dari balik jaket dan sweater terpancar wajah ceria, memupus rasa lelah perjalanan jauh sejak pagi hari melintasi perbatasan Mesir-Palestina.
Pukul 19:07 waktu setempat bis pengantar berhenti di samping tembok yang mengelilingi komplek Masjidil Aqsa. Dari kejauhan suara adzan sholat Isyak telah berkumandang.
Pemandu perjalanan bernama Iyyat, meminta agar kami meninggalkan seluruh barang bawaan di dalam bis.
“Ayo, ayo agak cepat supaya kita bisa ikut shalat isyak berjamaah di masjid Aqsa” katanya. Bahasa Indonesianya kaku, sehingga terkesan lucu.
Menuju pintu gerbang yang menyerupai terowongan harus menginjak jalan berbatu, lebarnya sekitar 4 meter.
Ternyata seluruh jalan di kota tua ini semuanya berupa batu. Begitu pula dinding bangunan seluruh rumah di perkampungan menuju masjid terbuat dari batu.
Saya membayangkan kondisi masjid Aqsa seperti di Makkah atau Madinah yang terang benderang, selalu ramai dikunjungi orang, dan mudah dijangkau.
Sewaktu melaksanakan umrah di Masjidil Haram hanya berjalan beberapa langkah sudah melihat Ka’bah. Melalui jendela Hotel Al-Safwa Towers tempat menginap bisa mengintai aktivitas orang thawaf.
Begitu pula ketika memasuki wilayah Madinah turun dari bis kaki sudah berada di pelataran Masjid Nabawi. Setiap saat jamaah ingin beribadah -pagi-siang-malam, nyaris tidak pernah ada hambatan.
Mirage Hotel yang disewa travel haji-umrah Manaya Indonesia tidak jauh dari gate 7 atau sejajar dengan pintu masuk utama Masjid Nabawi sisi utara.
Peninggalan Kuno
Malam itu lorong menuju komplek Al Aqsa yang saya lewati keadaannya sepi dan gelap. Semula saya kira hanya perasaan saya. Mungkin saja pengaruh dari larangan sepihak tentara Israel yang tidak mengizinkan pria Palestina berusia di bawah 50 tahun memasuki komplek masjid Al-Aqsa. Larangan itu terjadi bulan Juli 2017 silam.
Bagi jamaah yang belum terbiasa mengunjungi Al Aqsa bisa agak kaget. Dari jalan raya menuju masjid utama diperlukan waktu 15 sampai 20 menit. Itu kalau tempo ayunan langkahnya biasa-biasa saja.
Selain berbatu hampir semua jalan menuju masjid senantiasa naik dan turun. Kondisinya cenderung licin, karena terbuat dari batu sudah sangat kuno. Pada saat naik ada kalanya melewati pijakan tangga, tiga sampai empat trap. Setelah itu lurus lagi tapi tetap menanjak. Pergi ke Al Aqsa perlu stamina luar biasa.
Saya dan istri berjalan sedikit pelan. Kalah cepat dibanding dengan jamaah lain. Usia mereka umumnya masih muda sehingga bisa berjalan cepat.
Muhammad Iqbal (20th), jamaah termuda berada di depan kami. Dia selalu melihat ke depan kalau rombongan belok, Iqbal memberi komando kami agar ikut belok kanan, ke kiri atau lurus.
Lantaran seluruh bawaan ditinggal di bis istri saya melipat sajadah ke dalam tangan sebelah kiri. Maklum terasa dingin. Kedua telapak tangannya sesekali dikepalkan untuk menghalau udara dingin. Kami memasuki wilayah Masjid “Kubah Mas” sudah kelihatan.
Masjid “Kubah Mas” ini biasa disebut Dome of The Rock termasuk satu diantara empat masjid di wilayah Aqsa. Kebetulan masjid “Kubah Mas” paling dekat dengan langkah kami. Tetapi meskipun sudah tampak masih limapuluh meter lagi baru bisa dicapai. Halamannya sangat luas.
Persis di depan pos penjagaan, seorang tentara Israel keluar dari pos penjagaan. Tentara gendut ini menghadang istri saya sambil bicara dengan bahasa yang sulit dimengerti. Dia menunjuk arah sajadah.
Dilihatnya sajadah di tangan istri saya itu membentuk bulatan menonjol. Mungkin dikiranya benda yang membahayakan.
Tentara itu segera memberi contoh, tangannya dikibas-kibaskan. Maksudnya kalau membawa sajadah harus dibuka lebar. Oalaaaa….kami baru ngeh! Istri saya, seketika membuka lipatan sajadah.
Pintu masuk untuk jamaah putri dibedakan dengan jamaah pria. seperti halnya masjid di tanah air. Posisi antara pria dan wanita tidak jauh beda. Wanita berada di sof belakang, hanya diberi dinding pembatas yang transparan.
Saya amati petugas di sekitar masjid sangat ketat menjaga jamaah, jangan sampai salah masuk pintu.
Entah sudah merupakan kebiasaan sehari-hari atau lantaran situasi politik. Petugas masjid juga kurang memberi toleransi pada pendatang baru. Selesai sholat isyak, tidak boleh terlalu lama berada di dalam masjid.
Mereka bahkan setengah mengusir jamaah. Pintu masjid segera ditutup. Penduduk setempat yang shalat berjamaah tidak terlihat berkeliaran. Sepertinya mereka langsung pulang.
Usai sholat rombongan sudah berkumpul di luar masjid. Muhammad Rudiansyah, kawan saya lulusan fakultas sipil ITS dan penghobi sepeda mengajak saya bergantian foto. Hasil foto ini saya kirim ke Radio Suara Surabaya untuk disiarkan. Sejak berada di Makkah saya rajin menyampaikan foto untuk disiarkan.
Alhamdulillah! Senin 5 Maret 2018 menjadi malam pertama berada di Bumi Palestina. Malam pertama kami shalat di Dome of The Rock atau Kubah Mas, salah satu masjid yang berada di komplek Al Aqsa. Sebagian rombongan berangkulan. Saling peluk.
Sambil berjalan menuju hotel, Iyyat sang pemandu tur menunjuk sebuah lorong bernama “Herodes Gate”. Besok pagi kalau akan sholat subuh di masjid utama, kata Iyyat, lewat pintu tersebut.
Dari hotel cuma berjarak 30 meter. Golden Wall Hotel tempat menginap rombongan saya terbilang sangat strategis. Menghadap tembok yang mengelilingi komplek Al Aqsa.
*Penulis adalah wartawan senior, alumni Stikosa-AWS
1 Komentar
Pingback: Perjalanan ke Palestina, Rabi’ah al-Adawiyah Puncak Cintanya untuk Allah (3) | prapanca.id