Jakarta (prapanca.id) – Konflik berkepanjangan antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza telah menelan korban jiwa yang tragis, termasuk jurnalis yang sedang meliput peristiwa tersebut. Dalam waktu 23 hari sejak serangan awal Hamas di Israel, sedikitnya 29 jurnalis tewas, sementara sembilan orang tambahan saat ini dilaporkan hilang atau ditahan.
Menurut Komite Perlindungan Jurnalis, korban tewas tersebut terdiri dari 24 warga Palestina, 4 warga Israel, dan 1 warga Lebanon.
Penting untuk dicatat bahwa jumlah jurnalis yang tewas dalam konflik ini dalam waktu yang relatif singkat jauh melebihi statistik global. Pada tahun 2022, di seluruh dunia, 57 jurnalis dan pekerja media terbunuh. Dalam kurun waktu kurang dari sebulan, konflik di Gaza telah menghasilkan separuh jumlah pengungsi di wilayah tersebut, mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan.
Sejarah konflik bersenjata juga memberikan konteks yang penting. Misalnya, pada tahun 2006, tiga tahun setelah invasi Amerika ke Irak, total 71 jurnalis tewas dalam perang tersebut. Perbandingan ini menunjukkan betapa cepatnya konflik Gaza telah menjadi perhatian global.
Dalam beberapa hari terakhir, terdapat tiga perkembangan penting dalam konflik ini. Pertama, Israel dianggap telah melakukan pemadaman komunikasi di Gaza, yang memengaruhi kemampuan organisasi berita untuk berkomunikasi dengan wartawan mereka di lapangan.
Pemadaman ini dianggap berpotensi menghasilkan informasi yang tidak independen dan fakta yang dapat digantikan oleh propaganda, disinformasi, dan misinformasi. Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menekankan bahwa jurnalis adalah warga sipil dan harus dilindungi sesuai dengan hukum kemanusiaan internasional.
Kedua, investigasi oleh Reporters Sans Frontières (RSF) menunjukkan bahwa kendaraan pers secara eksplisit menjadi sasaran serangan yang menewaskan jurnalis. Serangan tersebut terjadi di lokasi di mana sekelompok jurnalis berada, dan menimbulkan kerusakan dan luka parah pada jurnalis tersebut. Analisis balistik RSF menunjukkan bahwa tembakan datang dari arah perbatasan Israel.
Ketiga, perwakilan Reuters dan Agence France Presse mencari jaminan keselamatan dari Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk jurnalis mereka yang meliput konflik. Namun, IDF tidak dapat memberikan jaminan keselamatan, mengklaim bahwa Hamas dengan sengaja menempatkan operasi militer di sekitar jurnalis dan warga sipil. Ini menciptakan situasi yang sangat berbahaya bagi jurnalis yang berusaha menyampaikan berita tentang konflik ini.
Konflik di Gaza terus berlanjut, sementara keprihatinan atas keselamatan jurnalis dan perkembangan konflik tersebut tetap menjadi fokus perhatian internasional. (sas, sumber: niemanlab.org)