Saya membuka dengan Yuval Noah Harari. Sejarawan sohor abad ini yang mencuat dengan trilogi Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons for 21st Century mengingatkan semua pihak, akan hadirnya sebuah dogma baru yang mengarah ke agama atau keyakinan masyarakat terhadap Artificial Intelligence (AI).
Apakah benar AI akan menjadi agama baru? Mari kita kaji dan renungkan bersama.
Komunikasi, termasuk di dalamnya jurnalistik, adalah keilmuan yang sejak kehadirannya selalu dipengaruhi oleh hadirnya teknologi. Ketika jaman batu, kemampuan untuk mengukir batu adalah sebuah teknik, lalu berkembang dengan goresan di daun lontar sebagai teknik baru penulisan. Zaman bergerak dengan hadirnya bubur kertas, yang membuat manusia semakin mudah melakukan penulisan.
Kemudian teknologi huruf yang dilakukan setiap peradaban manusia di berbagai belahan dunia, sampai ditemukannya angka yang lebih simple oleh bangsa Arab dengan menghadirkan (.) titik sebagai nol, merupakan upaya baru menghasilkan teknologi literasi. Dunia tak pernah berhenti dengan teknologi, hadirnya pena yang digoreskan di atas kertas pada masanya adalah juga teknologi.
Diikuti kemudian teknologi mesin cetak, offset, mesin ketik, hingga personal computer (PC), lalu network jaringan www (world wide web) oleh Tim Berners Lee di Inggris awal 1990-an, maka teknologi komunikasi dan sistem informasi berkembang menjadi saling terhubung (internet).
Belum cukup, teknologi terus berkembang dengan hadirnya media sosial mulai dari friendster, Facebook, Twitter, instagram, dan Youtube yang dikenal dengan media sosial. Alih-alih berhenti, dunia kini sedang diriuhkan hadirnya tiktok yang menjadi pilihan utama generasi milenial/zilenial di Amerika sebagai main search and source (sumber pencarian utama).
Belum lagi hadirnya messenger Whatsapp, Telegram, Signal, yang memaksa gadget juga harus menyesuaikan dari monokrom, 2G, 3G dan kini 5G. Catu daya dan prosesor yang terus meningkat, menjadikan traksi informasi sedemikian banyaknya. Teknologi internet dan media online serta media sosial, dengan traksi yang ada di baliknya, menghasilkan jutaan kode dan data statistik yang tak mudah diurai dengan human semata.
Untuk itu diperlukan metode kurasi data yang cepat dengan big data analitik, untuk menghasilkan pola yang bisa dirunut, dianalisa, disimpulkan, sehingga bisa memberikan petunjuk teknis yang bisa disampaikan dengan logis dan masuk akal.
Dalam UK’s AI Safety Summit, di Bletchley Park, Inggris, awal bulan November ini, yang dikenal dengan Deklarasi Bletchley, Menteri Sains, Inovasi dan Teknologi Inggris Michelle Donelan mengatakan: “Apa yang kita lakukan hari ini dengan AI akan sangat menentukan wajah dunia masa depan.”
Dulu, kata Donelan, AI adalah fiksi ilmiah. Tapi sekarang telah menjadi fakta sains yang sangat mempengaruhi komunikasi hari ini.
Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan adalah teknologi yang memungkinkan sistem komputer atau mesin untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia.AI dapat berpikir, belajar, mengambil keputusan, dan berinteraksi seperti manusia. AI disematkan ke dalam mesin untuk membuatnya beroperasi secara cerdas.
Dua hal yang menjadi dasar dari proses AI adalah: pattern (pola) dan data set. Apabila data yang tersedia sangat besar, banyak, maka dengan mencari pola utamanya, dengan membuang sebagian data-data yang anomali, maka akan menghasilkan sebuah kesimpulan yang diharapkan.
Hari ini, AI bisa dimintai apapun untuk menjawab pertanyaan human mengenai satu hal. Namun, AI masih kesulitan ketika dimintai sebuah pendapat atau pandangan, karena masalah sudut pandang yang beragam bahkan spesifik. Oleh karena itu, dalam proses ini, yang menjadi bahaya adalah apabila data set yang terkumpul jumlahnya jauh lebih besar hoaks, atau misinformasi dan disinformasi, maka dikhawatirkan kebenaran yang disimpulkan oleh AI adalah negatif. Maka dari itu, perlu dipertimbangkan kepada siapapun, bahwa disinformasi dan misinformasi yang kalian jejalkan pada data-data di internet termasuk media sosial, akan membahayakan peradaban masa depan bagi generasi setelah kita.
Sebagai penggiat komunikasi, dimana Stikosa AWS sebagai salah satu kampus komunikasi tertua di Jawa Timur dan kawasan Timur, harus menyadari bahwa AI adalah keniscayaan. Kita tidak bisa menghindarinya tapi harus menjemputnya dengan sukacita. Stikosa AWS harus memaknai AI ini sebagai cara baru untuk melahirkan dan menyemai sebuah new civilization (peradaban baru) yang bermakna.
Untuk itu, saya berpesan agar insan-insan Stikosa mengedepankan logika dan etika dalam berkomunikasi di era AI. Ini harus menjadi perhatian kita bersama.
Alan Turing, matematikawan Inggris dan dianggap perintis kecerdasan artifisial, pernah melakukan riset soal kemampuan mesin komputer. Di Bletchley Park juga dia membantu memecahkan kode sandi tentara Jerman yang hendak menyerang sekutu. Turing kelak pada 1950, menulis satu makalah untuk menjawab pertanyaan “Apakah mesin bisa berpikir?”
Pertanyaan itu lalu memantik riset kecerdasan artifisial dengan berbagai pasang-surutnya, hingga mencapai tahapan sekarang. Hari ini, tujuh puluh tahun setelah Turing menulis makalah itu, kecerdasan artifisial berkembang luar biasa. Ia memberi manfaat sekaligus risiko dan rasa takut, termasuk misalnya penyalahgunaannya pada sistem persenjataan yang digerakkan AI, pengacauan data bisnis dan ekonomi, dan juga kesehatan. “Frontier AI”, termasuk generative AI, mampu mengacaukan tatanan demokrasi, melalui deep fake, dan jenis kekacauan informasi lainnya.
Dunia memang sedang berlomba mengembangkan AI ini, termasuk juga pengaturannya. Indonesia sendiri punya strategi nasional pengembangan kecerdasaan artifisial. Dokumen itu akan terus dikaji sesuai perkembangan terbaru “Frontier AI”, serta memasukkan faktor risiko serta panduan etika.
Dalam sebuah kesempatan, Apni Jaya Putra, pengembang AI untuk dunia televisi, telah mengembangkan teknologi televisi berita nir human sebagai presenter. Dia menggunakan teknik AI dengan bermodalkan teknik prompt:. Teknik ini bisa mengerate suara, wajah, sampai gerak tubuh seseorang untuk digenerate menjadi belasan gerak, belasan wajah, bahkan belasan bahasa bila mau, tanpa sepengetahuan yang bersangkutan.
Misalnya, dengan wajah Jokowi kita bisa mengisi suara dengan Bahasa Cina, Jepang, Arab dan sebagainya, tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Bila itu sebagai mainan dan olok-olok, bisa dimaklumi. Ketika masuk ke wilayah pribadi, dikapitalisasi, sampai menyangkut isu hukum tentu ini tidak sesuai dengan etika.
Oleh karena itu, permasalahan kedepan mengenai masalah AI adalah mencuatnya kasus-kasus etika yang akan mempengaruhi pola hubungan antarmanusia. Peradaban akan menjadi semakin absurd apabila etika tidak dijaga dan penyalahgunaan proses rekayasa semena-mena.
Diperlukan penguatan etika yang kuat, hukum yang tegas, dan pada batas masyarakat kebanyakan perlu penguatan logika. Ini agar tidak mudah terpedaya oleh AI yang bermuatan negatif dan merusak sendi kehidupan manusia.
Seperti diketahui, teknologi selalu mendahului daripada hukum itu sendiri. Sementara etika selalu bisa membedakan mana yang memiliki nilai moral dan tak bermoral. Meski demikian moral yang diletakkan dengan landasan kesamaan subjektif yang berlandaskan nilai-nilai kehidupan, akan membantu untuk mengurangi dispute yang ada.
Yang menjadi pertimbangan lagi adalah, bahwa teknologi hari ini, di era globalisasi, dalam genggaman raksasa penguasa teknologi oleh penyedia platform global. Kemanapun pergerakan teknologi tersebut, entah itu metaverse, web3 atau blockchain, maupun AI yang tak lepas dari kuasa Google, Microsoft dengan OpenAI-nya, serta Meta, juga Amazon yang memiliki triliunan data di mesin-mesin penyimpanannya.
Pasca era search engine, hari ini dengan bahasa generative (GPT – generative pre trained) yang dikembangkan OpenAI melalui ChatGPT serta Google dengan Bard-nya yang mengoptimalkan pembahasaan TensorFlow, yaitu sebuah kerangka kerja pembelajaran mesin (machine learning). Kedua platform global kini sedang bertarung, yang dioptimasi dalam Google search dan Bing search.
Pada dasarnya, perbedaan diantara keduanya hanya soal bahasa pemrograman dan optimalisasi dari machine learning. Yang pasti, pertarungan sesungguhnya, adalah memakai bahan dasar yang mengandalkan dua hal: Pattern dan Data Set. Jangan sampai data set negatif tersedia lebih banyak dari yang positif dan original.
Sebagai kampus yang bergerak menuju ke arah komunikasi yang hakiki selayaknya adaptif dengan teknologi informasi yang niscaya. Diperlukan upaya-upaya optimal untuk menjadi insan komunikasi dan jurnalis mumpuni agar mampu menjadi garda terdepan dalam memberikan informasi yang beradab pada masyarakat.
Dengan mengambil tema exploring creativity dan empowering technology, menunjukkan sebuah upaya yang sungguh-sungguh dalam menggali kreativitas yang berkualitas dan memiliki dasar pengetahuan teknologi yang tinggal diberdayakan secara optimal.
Sebagai bagian dari penggerak ekosistem media dan pers di Indonesia, saya meyakini Stikosa AWS mampu menjadi garda terdepan sebagai resource center komunikasi dan jurnalistik di ranah nasional. Karena telah memiliki modal sosial yang baik dengan diaspora alumni yang berkarya di tingkat nasional bahkan internasional. Stikosa AWS, bagaimanapun, harus menjadi tempat pendadaran insan pers Indonesia yang intelektual dan bertanggungjawab. Kapanpun, termasuk di era AI sekarang ini.
Seperti kata Bung Hatta, salah satu founding father Indonesia pernah mengatakan bahwa: PERS ADALAH SEBAGAI BAGIAN DARI KALANGAN INTELEKTUAL, DAN SALAH SATU CIRINYA ADALAH MEMILIKI TANGGUNG JAWAB SOSIAL. *