Hari ini, Jumat (15/12/2023), tepat dua tahun Gamelan resmi diakui Unesco sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia (Intangible Cultural Heritage). Dengan pengakuan badan dunia PBB di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan & kebudayaan tersebut, maka banyak negara lain akan ikut mengakui. Bahkan Unesco juga akan membantu melestarikan gamelan.
Gamelan adalah alat musik tradisional yang banyak ditemui di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa, Bali, Madura, Kalimantan dan Lombok dengan berbagai bentuk model. Namun cara memainkannya sama, yakni dengan cara dipukul. Gamelan berasal dari kata “gamel” dalam bahasa Jawa yang artinya “ditabuh” atau dipukul.
Instrumen gamelan terdiri dari berbagai jenis logam, kayu dan kulit yang disusun sedemikian rupa membentuk suara dan nada yang harmonis. Secara garis besar, formasi lengkap pemusik Gamelan terdiri 10-12 penabuh, diluar penyanyi atau lazim disebut Sindhen atau wira swara. Ke-12 formasi tersebut antara lain : Kendang, Bonang Barung atau bonang utama, Bonang penerus, Demung, Saron, Peking, Slenthem, Kenong, Gambang, Siter, Rebab (semacam biola) dan Gong. Gamelan juga bisa dikawinkan dengan musik elektronik seperti organ dan gitar, yang kemudian lazim disebut musik Campursari.
Sebagai alat musik tradisional, gamelan tidak hanya dipakai untuk pertunjukan seni, namun juga digunakan pada rangkaian upacara adat dan ritual keagamaan, seperti yang biasa dilakukan pada masyarakat beragama Hindu di Bali. Sejarah penciptaan gamelan juga sangat panjang. Alat musik ini diduga sudah ada di Jawa sejak abad 8 sampai abad 11. Hal ini jika menilik dari adanya pahatan yang ditemukan di Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Pada awal perkembangan syiar Islam, para Wali pun menggunakan gamelan sebagai salah satu sarana syiar islam. Adalah Sunan Bonang yang kemudian mengkombinasikan gamelan yang semula kental dengan ajaran Hindu Budha sebagai media untuk menyampaikan dakwah agama Islam. Bahkan dalam salah satu cerita rakyat dikisahkan tentang para Wali Songo yang bekerja sama menggunakan media wayang kulit dan gamelan untuk syiar agama Islam.
Dikisahkan, Sunan Kudus bertindak sebagai Dalang. Sunan Kalijogo yang mengarang tembang atau lagu. Wayang kulit yang semula sarat dengan muatan ajaran Hindu, ceritanya disesuaikan oleh Sunan Giri menjadi sarana dakwah siar Islam. Sedangkan Sunan Bonang bertindak sebagai penabuh gamelan. Nama asli Sunan Bonang adalah Raden Makdum Ibrahim. Sedangkan nama bonang menjadi julukannya karena konon beliaulah pencipta alat musik gamelan yang mempunyai benjolan di tengahnya, yang kemudian dinamakan Bonang. Sedangkan salah satu karya Sunan Kalijaga, yakni tembang “Ilir-ilir”, masih kita dengarkan sampai sekarang. Demikianlah, gamelan diwariskan dari generasi ke generasi.
Namun sayang, dengan derasnya kebudayaan Barat yang masuk ke Indonesia dan pengaruhnya yang masif pada sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya orang Jawa, gamelan mulai dilupakan bahkan terpinggirkan. Generasi muda Jawa lebih ahli memainkan piano, organ, gitar atau menggebuk drum, daripada menabuh Demung, Saron atau Gong. Jangankan bisa memainkan, sekedar menonton pentas gamelan atau mendengar musiknya pun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Ini relita yang memprihatinkan tapi juga harus diterima sebagai konsekuensi dinamika perubahan jaman.
Untunglah diantara belantara sajian hiburan atau musik mancanegara yang membanjiri Indonesia, masih ada kelompok-kelompok atau komunitas yang masih mencintai dan memberi perhatian besar terhadap upaya pelestarian seni gamelan atau disebut juga seni karawitan. Beberapa mahasiswa maupun lulusan Sekolah atau Perguruan Tinggi Kesenian, seperti Institut Seni, Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (menjadi SMK), Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) maupun Universitas yang membuka fakultas budaya, juga mulai unjuk gigi dengan karya-karya inovatif mereka untuk mengembangkan Gamelan maupun seni budaya Indonesia lainnya.
Dan pengukuhan gamelan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh Unesco tentu akan menambah gairah dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Indonesia. Beberapa komunitas pun merayakan pengukuhan tersebut dengan menggelar festival gamelan, yang bertujuan mengenalkan gamelan pada generasi muda Indonesia agar mencintai kembali seni budaya warisan leluhur bangsa.
Misalnya festival gamelan yang digelar mahasiswa Institut Seni Indonesia Surakarta pada bulan September 2023 di Pendapa Ageng GPH Joyokusumo, Solo, mampu menyedot perhatian para pelajar dan mahasiswa yang memadati arena pertunjukan. Demikian juga komunitas budaya Bodro Sewu di Jakarta yang tiga hari lalu menggelar pentas karawitan di Galleri Indonesia Kaya, Jl MH Thamrin Jakarta. Pertunjukan pentas gamelan dan tari itu dikunjungi banyak anak muda Jakara. Apa yang dilakukan kedua komunitas budaya itu ibarat oase yang menyegarkan di tengah ketidak pedulian generasi muda terhadap budaya tradisional, khususnya gamelan.
Gamelan telah melewati berbagai zaman. Tantangan untuk menjaga kelestarian budaya semakin besar. Maka upaya pemeliharaan, pendidikan, dan promosi gamelan di tingkat lokal dan internasional menjadi kunci untuk memastikan bahwa warisan ini terus diwariskan kepada generasi mendatang.*