Surabaya (prapanca.id) – Gegap gempita Pemilu (Pemilihan Umum) 2024 telah dimulai, kampanye sudah dimulai, cukup terasa bagi rakyat Indonesia. Namun tidak demikian bagi pemilih penyandang Disabilitas. Ada yang tidak paham tentang Pemilu, dan ada pula yang masih kecewa, lantaran minimnya sosialisasi Pemilu.
Ryan Dwi Pradana (21) penyandang disabilitas Palpasi warga Kel. Jojoran Baru, Surabaya, lulusan SMA LB yang mempunyai hak pilih dalam daftar pemilih Pemilu 2024.
Itu disampaikan Ryan saat mengikut Literasi Media dengan tema Disabilitas Sebagai Subjek atau Objek, di gedung Balai Kordinasi Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, BK3S Jawa Timur, di Jl. Raya Tenggilis, Kec. Tenggilis Mejoyo, Surabaya, Kamis pagi (30/11/2023).
Di kursi roda karena alami kelumpuhan dari lahir, Ryan penyandang disabilitas mengaku lebih banyak berdiam diri di rumah, dan tidak pernah aktif mengikuti organisasi atau perkumpulan penyandang disabilitas.
Di acara yang diselenggarakan oleh kerjasama KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) Jawa Timur dengan BK3S Jawa Timur, Ryan mengaku sama sekali masih buta tentang Pemilu 2024 memilih sosok siapa capres dan cawapres yang akan dicoblos. Apalagi figur-figur anggota legislatifnya.
“Saya tidak tahu, nggak ngerti Pemilu nanti tidak pernah dapat sosialisasi dari petugas Pemilu ngasih gambaran pilihan – pilihan saya nyoblos siapa?,” ujar lelaki yang punya bakat menyanyi dan pandai mengaji ini.
Agak berbeda dengan Ryan, Nurul Hiknah (30) penyandang disabilitas tuna netra, asal Jombang, Jawa Timur, mengaku cukup kecewa dengan penyelenggaraan Pemilu, baik di Pemilu 2019 maupun Pemilu saat ini.
Aktivis pengurus organisasi disabilitas tuna netra ini, pengalaman di Pemilu 2019 pernah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari panitia KPPS tempat dia mencoblos. Tidak disediakan template pencoblosan surat suara di KPPS, dan petugas KPPS penunjukan pendampingnya saat pencoblosan.
“Mungkin petugas KPPS sama sekali tidak paham dengan kebutuhan pemilih disabilitas di tempat coblosan. Tidak disediakan template di tempat coblosan, padahal dalam undang-undang Pemilu, fasilitas itu wajib disediakan di setiap KPPS. Pengalaman juga, Petugas KPPS mempermasalahkan dengan pendamping yang saya ajukan di TPS pencoblosan. Pelayanannya mengecewakan,” ungkap Nurul yang kini tengah menempuh pendidikan S2 di PTN di Surabaya.
“Soal tidak adanya templete alat coblos, di Pemilu nanti sudah saya sosialisasikan ke teman-teman organisasi, kita harus berani menanyakan dan meminta templatenya pada petugas KPPS di setiap TPS. Karena mereka bisa jadi tidak mengerti kebutuhan kita, untuk memudahkan kita di TPS,” tandas aktivis disabilitas yang pernah menjadi mitra KPUD di Pemilu 2019 ini.
Di Pemilu 2024 ini meski dinilainya cukup tentang fasilitas yang disiapkan oleh penyelenggara Pemilu, Nurul juga mengeluh minimnya sosialisasi dari partai-partai politik peserta Pemilu.
“Kami juga mempunyai hak yang sama untuk diberi sosialisasi oleh partai-partai politik, seperti apa visi misi dan konsep programnya mengusung calon-calonnya. Kami belum dapat sosialisasi itu,” keluh pungkas Sekretaris Persatuan Disabilitas Tuna Netra Indonesia Daerah Jatim ini.
Hal ini juga ditanggapi Pingky Septiandari, Ketua Umum Badan Koordinasi Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, BK3S Jatim.
Pingky menilai penyelenggaraan Pemilu 2024 ini banyak yang mengabaikan dan melupakan kebutuhan pemilih dari penyandang disabilitas, baik dari penyelenggara Pemilu maupun partai politik peserta Pemilu.
“Di Pemilu kali ini agaknya kurang greget dibanding dengan Pemilu 2019, yang diributkan Cuma capres cawapresnya saja yang muncul di permukaan. Padahal pemilih itu penting, bukan hanya yang bukan disabilitas, apalagi yang (bagi) disabilitas,” ujar Pingky.
“Ada 3 wacana yang muncul dalam Pemilu, yaitu pengingatan, pengabaian dan pelupaan. Gegap gempita mengkampanyekan apakah informasinya sampai pada disabilitas, karena penyediaan aksesibilitasnya membutuhkan hal-hal khusus, misalnya juru bicara terhadap disabilitas dan sebagainya. Kebanyakan mereka mengabaikan dan melupakan pemilih disabilitas,” imbuhnya.
Pemilu 2024 mendatang, dari data KPU daftar pemilih dari penyandang disabilitas sebanyak 11 juta yang masuk dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap).
Sedangkan di Jawa Timur, data dari KPU Jatim, terdapat 161.606 pemilih penyandang disabilitas atau 0,51 persen dari jumlah keseluruhan daftar pemilih tetap (DPT) wilayah setempat yang mencapai 31.402.838 pemilih.
“Pekerjaan rumahnya (Pemilu) masih banyak, waktunya sudah sangat dekat, kalau masih seperti itu maka akan tersia-siakan terhadap pemilih disabilitas. Jadi janjinya capres cawapres maupun calon legislatif itu ketika mereka tidak paham apa yang menjadi kebutuhannya disabilitas, bagaimana mereka bisa memperjuangkan dari sesuatu yang tidak mereka ketahui?. Kesan yang muncul mereka lebih memperhatikan hitung-hitungan kekuasaan politik, ketimbang memikirkan kebutuhan disabilitas. Pesan saya perhatikan disabilitas, jangam abaikan mereka dan jangan dilupakan,” tandas pakar antropologi ini. (din)