Bandung (prapanca.id) – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Tenaga Kerja tengah menyusun peraturan untuk melindungi para pengemudi ojek online (ojol). Langkah ini diambil mengingat hubungan mereka dengan perusahaan platform bersifat kemitraan, bukan sebagai karyawan yang tercakup dalam Undang-Undang.
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, memberikan masukan penting terkait paradigma kemitraan ini. Menurutnya, pengemudi ojol seharusnya diakui sebagai pemilik saham (beneficial ownership), mengingat modal yang mereka tanamkan terutama melalui kendaraan mereka sendiri.
“Pengemudi ojol pada dasarnya menanamkan modal, terutama melalui kendaraan mereka yang menjadi alat produksi utama. Oleh karena itu, mereka seharusnya dianggap sebagai bagian dari pemilik saham dan berhak mendapatkan keuntungan yang adil,” ujarnya.
LaNyalla juga menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan skema yang telah diterapkan di negara lain seperti Spanyol, Belanda, dan California, AS. Di Spanyol, pengemudi ojol diakui sebagai karyawan dengan berbagai hak seperti Upah Minimum dan cuti tahunan. Di Belanda, ada undang-undang sektoral yang memberikan perlindungan minimum termasuk transparansi dalam algoritma dan hak untuk berunding. Sedangkan di California, pengemudi ojol dianggap sebagai kontraktor independen dengan beberapa tunjangan termasuk gaji minimum.
“Saya yakin prinsip kemitraan ini harus diwujudkan, termasuk hak mitra untuk mengontrol kinerja perusahaan. Saat ini, pengemudi ojol belum memiliki kontrol yang memadai terhadap tarif dan algoritma yang digunakan oleh perusahaan platform,” paparnya.
Sebagai langkah lanjutan, LaNyalla mendorong Kementerian terlibat aktif dalam mempelajari hasil kajian yang dilakukan The Fair Foundation, organisasi yang secara khusus meneliti dan memberikan usulan untuk meningkatkan kondisi pekerja platform di seluruh dunia. (sas)