Surabaya (prapanca.id) – Pemilu 2024 sepertinya masih diwarnai dengan sikap golput. Seperti dikatakan Dr. Dwi Prasetyo, S.Sos., M.PSDM., pemerhati komunikasi politik dari Stikosa AWS, ada banyak faktor yang memperkuat asumsi ini. Di antaranya, ketidakpercayaan publik terhadap partai politik dan politisi.
“Ada dugaan, masyarakat merasa bahwa partai politik dan politisi tidak memiliki integritas dan hanya mementingkan diri sendiri. Kesimpulan ini mereka peroleh dari beberapa pernyataan terkait peristiwa dan dinamika politik yang ada,” jelas Dwi.
Dinamika itu menguat setelah penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden, keputusan Mahkamah Konstitusi, kontroversi wakil partai vs wakil rakyat, netralitas pemimpin negara, dan masih banyak lagi.
Hal ini, lanjut dia, diperburuk dengan munculnya kesan bahwa hasil pemilu sebelumnya tidak membawa perubahan yang signifikan.
“Celetukan politisi, negarawan, tokoh publik, tidak pernah bisa dianggap sebagai guyonan. Meski diucapkan sebagai candaan, ini tetap memiliki dampak, setidaknya sesuatu hal yang akan diingat sehingga memunculkan asumsi,” jelas Dwi lagi.
Edukasi Politik
Panggung politik tak ubahnya pertarungan beberapa kubu menuju kekuasaan. “Hal ini diperburuk kenyataan bahwa tak semua anggota masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup tentang politik dan pemilu. Akibatnya mereka memahami sebuah proses komunikasi politik sebatas hal-hal sederhana. Bahwa sistem pemilu ya seperti ini, praktek demokrasi ya seperti itu,” sesal Dwi Prasetyo yang juga tercatat sebagai Wakil Ketua II di Stikosa AWS ini.
“Referensi terbatas, kesimpulan memandang sebuah proses komunikasi politik jadi rendah. Kesimpulan berjala cepat. Padahal setiap partisipasi politik, termasuk hak pilih, dapat menentukan masa depan bangsa,” tegasnya.
Kesimpangsiuran tafsir terhadap setiap peristiwa politik, kata Dwi, makin kacau gara-gara propaganda dangkal dan hoaks. Kata dia, penyebaran propaganda dan hoaks di media sosial dapat membuat masyarakat ragu untuk memilih.
“Fenomena golput ini perlu diatasi karena dapat melemahkan demokrasi,” ingat Dwi Prasetyo. Beberapa langkah yang perlu dilakukan adalah penguatan edukasi politik, meningkatkan integritas dan akuntabilitas partai politik dan politisi, dan bila perlua membuat sistem pemilu yang lebih adil dan demokratis.
Di luar itu semua, Dwi Prasetyo juga mengingatkan bahwa pelaksanaan Pemilu kerap tak mendapat perhatian istimewa dari beberapa orang. Misalnya orang-orang yang sibuk bekerja, akses ke TPS bagi masyarakat di daerah terpencil dan penyandang disabilitas dan masih banyak lagi.
“Pemilu adalah momen penting untuk mewujudkan masa depan sebuah negara. Melalui pemilu, rakyat dapat memilih pemimpin dan wakil rakyat yang akan menentukan arah bangsa. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam pemilu sangatlah penting,” tutup Dwi. (sas)