Seminggu lalu tagar #TolakGambarAI menjadi trending topik di X (dulu Twitter). Entah siapa yang memulai, tagar tersebut mempermasalahkan pemakaian gambar AI untuk kampanye paslon 02, yang kemudian banyak ditiru oleh banyak caleg. Lalu gambar AI itu terpasang di baliho dan spanduk yang tersebar di seluruh penjuru nusantara.
Beberapa dari twit mereka, “Melihat campaign yang pakai AI ini aku cuman bisa mikir, kenapa nggak pakai jasa seniman lokal aja sih? Manfaatin gitu lho skill dan karya anak bangsa” (@Zailatte)
“Akhir-akhir ini sering banget liat iklan produk-produk ternama yang pakai AI, padahal di Indonesia sebenarnya senimannya banyak dan bagus-bagus tapi kenapa milih gambar AI yang jelas-jelas asal comot karya seniman asli” (@dailymochii)
Sebenarnya, melihat produk gambar AI tersebut, memang tampak jenaka dan unik. Mengingatkan bentuk boneka yang mirip dengan wajah capres/cawapres maupun caleg. Kreasi menggunakan teknologi AI ini termasuk inovatif. Konon salah satu alasan penggunaan teknologi AI ini agar lebih familiar dengan gen Z, yang menurut survey merupakan pemilih mayoritas dalam Pemilu 2024.
Yang menarik, setelah tagar #TolakGambarAI tersebut, muncul tagar “DukungGambarAI, walaupun gaungnya tak sebesar tagar pertama. Gambar AI menjadi perdebatan yang cukup sengit di X.

Terlepas dari ranah politik, sebenarnya kemunculan tagar “TolakGambar AI yang menjadi trending di X adalah kerisauan sebagian besar pekerja seni yang merasa lahan pekerjaannya terancam oleh kehadiran AI. Sebagian netizen ini berpendapat, mereka sudah belajar bertahun- tahun untuk bisa menghasilkan gambar yang bagus. Untuk menghasilkan satu gambar ilustrasi, terkadang membutuhkan waktu sampai 5 hari untuk menyelesaikan detil, pewarnaan, efek pencahayaan dan sebagainya. Namun dengan teknologi AI, tinggal mengetik perintah, 1-2 menit kemudian sudah jadi. Jengkel nggak?
“Terus lu bangga gitu sama hasilnya? Yang cuma ketik doang sudah jadi?! Lu ngga bakal ngerasain puasnya hasil gambar karena jerih payah diri sendiri, nggak bakal ngerasain bertahun-tahun latihan biar sampai di titik gambar kamu bagus banget. Cih memalukan kalah sama anak TK” komen salah satu netizen pendukung tagar “TolakGambarAI.
Masalahnya, kehadiran AI tidak bisa dihindari. AI adalah keniscayaan, sebagai akibat dari perkembangan teknologi digital yang sangat pesat. Konsep AI ini pertama kali muncul pada tahun 1956 ketika para ilmuwan merintis langkah pertama dalam pengembangan kecerdasan buatan. Adalah John McCarthy, kelahiran Boston, Massachusetts, AS, 4 September 1927, seorang ilmuwan komputer Amerika Serikat yang diakui sebagai “Bapak Kecerdasan Buatan”. Ia menciptakan istilah “Artificial Intelligence” dan memainkan peran penting dalam perkembangan awal AI.
AI diyakini memang membawa banyak manfaat bagi manusia, khususnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktifitas. Dalam menganalisis data, algoritma AI bisa menghasilkan analisis data dalam waktu yang sangat singkat dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan manusia. Di dunia kedokteran, kehebatan teknologi berbasis AI bisa memprediksi kanker payudara pada tahap awal.
Sebaliknya, keberadaan AI juga akan mengancam beberapa pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan manusia, dan berpotensi menyebabkan makin bertambahnya pengangguran dan gangguan sosial. Robot AI dapat melakukan tugas serupa dengan lebih cepat dan efisien. Di sisi lain, jika tidak mawas diri dalam pemakaian teknologi AI, akan membuat manusia menjadi malas berpikir dan tidak kreatif. Kemampuan manusia untuk berpikir kritis, kreatif, mengambil keputusan, akan jarang digunakan sebab terlalu menggantungkan pada kemampuan robot AI. Diluar urusan politik, kasus tagar “TolakGambarAI ibarat gunung es dari keresahan sebagian kreator di Indonesia yang merasa terancam dengan keberadaan AI.
Bagaimana sebenarnya sistem kerja AI, khususnya dalam menghasilkan karya gambar, sehingga muncul perdebatan yang sengit tersebut?
Pemilik akun @ryganii mempunyai penjelasan menarik. AI adalah sebuah robot dan pemrograman, tulisnya. Pemograman identik sama, yaitu read dan write. Gambar-gambar yang dikirim ke AI cuma di-scan (read) dan di-store (write) ke memori AI. Jika ada yang bilang “membuat karya baru” dari AI, ini salah banget. Sebetulnya si AI ini cuma mengambil informasi yang ada di memorinya, lalu di manipulasi dan dikombinasi seolah-olah karya baru. Kesimpulannya, gambar yang dihasilkan AI adalah hasil manipulasi karya orang lain. Satu gambar AI bisa terdiri dari ribuan gambar yang disatukan. Makanya hasil gambar AI lebih halus dan rapi.
Hak Cipta
Permasalahannya, apakah gambar-gambar yang dihasilkan AI tidak bermasalah dengan hak cipta? Pemilik akun @sufisijawara memberi jawaban. Pada dasarnya AI memang tidak bisa menciptakan, karena apa yang dihasilkan AI adalah hasil re-create dari berbagai data training. Makanya hasil yang dibuat AI tidak memiliki hak cipta karena prosesnya tanpa campur tangan manusia.
Perlindungan hak cipta jurnalisme menjadi sangat serius. Sebab, akses terhadap informasi dan data oleh AI berpotensi besar melanggar hak ciptaJika dikaji keseluruhan, sebagian besar komentar para netizen di tagar #TolakGambarAI tersebut adalah masalah hak cipta. Di satu sisi, para seniman berkarya, menumpahkan segala daya kreasinya, memperhitungkan segala sisi artistik dan seringkali membutuhkan waktu berhari-hari untuk menghasilkan karya yang sempurna. Namun di sisi lain, teknologi AI mengambil hasil karya para seniman dan di-create lagi dengan bentuk baru, tanpa ada penghargaan bahkan ijin dari pencipta beragam karya tersebut.
“Memang dilematis” komentar Doddy Hernanto alias Mr D, seniman digital yang menciptakan karya inovasi QR Art, saat ditanyakan pendapatnya tentang fenomena gambar AI tersebut, Sabtu (7/1/2024).
Menurutnya, AI adalah generator yang semakin pintar karena di input. AI tidak mengenal hak cipta. Bisa mengambil karya melalui scan karya seni orang lain tanpa ijin. Oleh karena itu harus disikapi secara bijak, dan mencari info lebih dalam mengenai AI dari berbagai sumber, seperti buku, artikel maupun website. Sebagai seniman digital, Mr D mengaku tidak menggunakan AI. Lukisan yang ia buat, murni ia lukis sendiri. Kemudian dengan teknik coding, lukisan itu bisa di scan dan menghasilkan jejak rekam digital obyek lukisan.
Masalah pelanggaran hak cipta oleh AI sebenarnya bukanlah hal yang baru. Kebetulan, pemakaian gambar AI untuk kampanye paslon 02 menjadi pemantik sehingga masalah lama itu muncul kembali dan menjadi perdebatan seru di X.
Dalam acara Indonesia Digital Conference 2023 bertajuk ‘Artificial Intelligence for Business Transformation: Tantangan Etik, Inovasi, Produktivitas, dan Daya Saing di berbagai Sektor’ yang digelar secara virtual, bulan Agustus 2023 lalu di Jakarta, Wamenkominfo Nezar Patria mengatakan, Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) seperti ChatGPT dinilai melanggar hak cipta jurnalisme. Perlindungan hak cipta jurnalisme menjadi sangat serius. Sebab, akses terhadap informasi dan data oleh AI berpotensi besar melanggar hak cipta. Oleh karena pemerintah tengah menyusun Peraturan Presiden alias Perpres Publisher Rights.
Menurut Wamenkominfo, kehadiran teknologi kecerdasan buatan mengkhawatirkan. Sebab, AI mengambil data, kemudian digunakan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Hal itu bisa merugikan pencipta konten, terutama karya-karya yang dilindungi oleh hak cipta termasuk berita yang dibuat oleh jurnalis.