Surabaya (prapanca.id) – Media massa dan media sosial memiliki pengaruh besar melegitimasi kekerasan sebagai sesuatu yang wajar, demikian ungkap Thussy Apriliyandari, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya, Rabu (24/1).
Survei lembaga Plan International terhadap 14.701 remaja dan dewasa muda perempuan di 22 negara menyebutkan lebih dari separuh responden (58 persen) pernah mengalami kekerasan ketika berinteraksi di media sosial. Sebagian besar menerima lebih dari satu jenis kekerasan di ruang virtual.
Selain faktor di atas, DP3APPKB Kota Surabaya, telah mengidentifikasi sejumlah faktor yang dapat memicu terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Faktor-faktor tersebut melibatkan masalah individual, sosial, dan hukum.
“Faktor individual, seperti lingkungan keluarga, dapat menjadi penyebab kekerasan. Banyak pelaku dan korban kekerasan tumbuh di lingkungan keluarga atau masyarakat yang tidak harmonis, di mana kekerasan dianggap wajar dan tidak perlu dilaporkan. Kesadaran pelaku terhadap dampak tindakan kekerasan juga menjadi faktor yang memengaruhi, karena banyak dari mereka tidak menyadari bahwa tindakan tersebut dapat merugikan korban,” ungkap Thussy Apriliyandari.
Data pengaduan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022 menunjukkan kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dominan (2.228 kasus/38.21%), diikuti kekerasan psikis (2.083 kasus/35,72%). Sedangkan data dari lembaga layanan didominasi oleh kekerasan dalam bentuk fisik (6.001 kasus/38.8%), diikuti dengan kekerasan
seksual (4102 kasus/26.52%%).
Lebih lanjut, Thussy mengungkapkan bahwa karakter keras, agresif, impulsif, egois, dan kurang kesabaran pada pelaku juga dapat menjadi faktor individual yang memicu kekerasan. Selain itu, rantai kekerasan yang tidak terputus dari generasi sebelumnya juga dapat berperan dalam terjadinya kekerasan.
Faktor sosial budaya patriarki juga diakui sebagai penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kesetaraan gender masih belum tercapai, dengan laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
Dalam aspek hukum, Thussy menyoroti kurangnya kesadaran terhadap undang-undang perlindungan perempuan dan anak di Indonesia. Meskipun hukum sudah jelas mengatur perlindungan, banyak masyarakat atau pelaku yang tidak paham bahwa tindakan kekerasan memiliki konsekuensi hukum.
Thussy menekankan bahwa lingkungan keluarga memegang peranan penting dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ia menyarankan agar baik orang tua maupun anak kembali memegang teguh ajaran agama masing-masing, karena tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan terhadap keluarga.
“Tidak ada agama yang mengajarkan tentang kekerasan terhadap keluarga, apakah golongan-golongan minoritas yang lemah yaitu perempuan dan anak. Kemudian faktor terbesar lain adalah ekonomi,” pungkasnya.(mi)