Surabaya (prapanca.id) – Kehadiran kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) adalah keniscayaan. Kehadirannya tidak bisa dihindari. Semakin dihindari, semakin anda jauh tertinggal. Maka, mau tidak mau, seluruh anasir dunia kerja harus melakukan kompromi dengan AI, yakni dengan cara mempelajari dan menggunakan AI. Hal ini merupakan ekses dari kemajuan teknologi komunikasi yang sangat pesat.
Selain manfaatnya yang besar dalam mempercepat dan efisiensi pekerjaan, ada banyak wilayah pekerjaan yang terpaksa harus tergerus oleh kemampuan AI. Tak terkecuali wilayah kerja yang berhubungan media, seni, desain dan hiburan.
Menyitir akun @harvard_bussines_review di linkedin.com, melaporkan hasil studi komprehensif yang dilakukan Firma riset Wall Street, Evercore ISI, bekerja sama dengan studio ventura Visionary Future pada tahun 2021. Penelitian tersebut bertujuan memahami dampak AI Generatif terhadap perekonomian, bisnis, dan lapangan kerja.
Dari hasil riset terhadap 160 juta pekerjaan di AS, 20 industri, lebih dari 250 subsektor, dan lebih dari 800 pekerjaan terdapat 21 profesi yang paling rentan terhadap gangguan AI. Yang tertinggi adalah profesi yang berhubungan dengan Legal (45.2 %), disusul bidang komputer & matematika (44.8 %), bisnis & finansial operational (44.6 %). Sedangkan yang berkaitan dengan seni, desain dan media berada di urutan ke 10 (37.1 %). Jadi, tenang…masih relatif kecil.
Selanjutnya analisis mereka menemukan bahwa kemampuan kognitif (seperti pengurutan informasi dan menghafal) memiliki paparan AI yang lebih tinggi, yang berarti bahwa AI mampu melakukan suatu tugas dengan baik atau lebih baik daripada manusia. Sedangkan kemampuan berbasis kreativitas atau kekuatan (seperti orisinalitas, ekspresi lisan, atau kekuatan eksplosif) memiliki paparan AI yang lebih rendah atau tidak sama sekali.
Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa semakin banyak interaksi sosial dan empati yang dibutuhkan suatu pekerjaan, semakin sedikit paparan terhadap AI. Demikian pula, semakin banyak kerja fisik yang dilakukan dalam suatu pekerjaan, semakin sedikit paparan terhadap AI (dalam kasus terakhir, tergantung pada kemungkinan otomatisasi robotik).
Dari penelitian tersebut, setidaknya masih banyak celah dari kelemahan teknologi AI yang bisa di “kalahkan” oleh kemampuan manusia. Sebab AI adalah robot. Keberadaannya sudah diprediksi puluhan tahun yang lalu. Secara konsep, kecerdasan buatan ini sudah ditemukan pada tahun 1956 dan baru berkembang tahun 2000-an saat kemajuan yang pesat dalam teknologi komputer dan algoritma.
Untung juga AI belum berkembang sebagaimana yang digambarkan di film serial jadul. Misalnya, film serial “Lost in Space” (versi lama diproduksi tahun 1965 dan tayang di TVRI sekitaran tahun 70-an, kemudian dibuat versi filmnya pada tahun 2018). Di film tersebut ada pemain utama robot yang bisa diajak bicara seperti layaknya manusia dan bisa menangkap perasaan manusia. Atau film serial “Knight Rider” yang dibintangi aktor ganteng David Hasselhoff, tayang di RCTI saat awal mengudara, sekitar tahun 1990-1991. Pemeran utama film ini menggunakan mobil yang sangat pintar. Selain memberikan data kelemahan musuh secara detil, juga bisa diajak berbicara dan bercanda.
Pendapat Para Praktisi
Namun keberadaan AI sama sekali bukan saingan atau penghalang, justru merupakan tantangan yang menghasilkan peluang baru dalam membangun karir. Kehadiran AI dapat membantu pekerja profesional di setiap tahap karir mereka. Ada banyak cara untuk terus maju di tengah kehadiran AI.
Yanuar Kurniawan, SPV Talent & Leadership Development di Lazada Group, mengatakan bahwa AI akan mempengaruhi berbagai aspek di dunia kerja.
“Pertama, munculnya lapangan pekerjaan baru yang terkait dengan AI, misalnya pekerjaan yang terkait dengan meningkatkan kemampuan AI. Kedua, berubahnya jenis pekerjaan dikarenakan AI, misalnya peran dari seorang desain grafis sekarang bisa lebih fokus terhadap konsep design karena eksekusi desain bisa dibantu dengan teknologi AI. Ketiga, hilangnya pekerjaan dikarenakan AI, misalnya dengan semakin majunya chatbot untuk menjawab pertanyaan dari customer bisa berdampak pada berkurangnya jumlah Customer Service yang dibutuhkan oleh perusahaan jika sebagian dari pertanyaan umum bisa ditangani oleh chatbot,” jelasnya.
Menurut Safa Alattas, Marketing Manager di Algoritma Data Science School, ada tiga cara untuk terus maju di tengah kehadiran AI.
Pertama, beradaptasi terhadap perubahan. Kedua, pelajari cara memanfaatkan AI untuk memaksimalkan pekerjaan kita, bukannya malah menyalahkan AI dan ketakutan pekerjaan kita hilang karenanya. Ketiga, asah skill yang akan relevan di masa depan, serta perkuat sisi yang tidak mampu digantikan oleh AI seperti kreativitas, intuisi, pengalaman dan pemahaman konteks yang mendalam.
“Buat hasil kerja yang menunjukan authenticity. Dimana banyak orang atau perusahaan yang memanfaatkan hasil AI secara mentah, kita harus jadi pembeda dengan tetap mengedepankan human intelligence” kata Safa.
Keahlian yang sedang diincar perusahaan
Safa menambahkan, di tengah perubahan di dunia kerja saat ini, keahlian yang paling diincar oleh perusahaan di masa kini dan mendatang, diantaranya:
1. Keahlian digital. Karena hampir semua aspek berubah menjadi ke arah digital, ditambah pengaruh pandemi sebelumnya yang memaksa masyarakat untuk serba “online”. Sehingga kehadiran talenta yang memiliki skill digital akan sangat diperlukan.
2. Critical Thinking. Ditengah gempuran AI yang mendorong berbagai otomasi, perusahaan memerlukan talenta yang berpikir kritis. Karena hasil dari AI tetap perlu diolah dan dikaji oleh “manusia” sebagai pembuat keputusan akhir yang mutlak.
3. Skill analisis data. Dengan adanya skill ini, perusahaan mampu mengoptimalkan pemanfaatan data untuk pengambilan keputusan yang lebih tepat.
Pendapat senada juga disampaikan Norman Yanuar, SVP of Portfolio Management PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. Menurutnya, perusahaan masa depan akan mencari individu yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan teknologi, resilien dalam menghadapi tantangan (grit), dan skill interpersonal yang kuat.
“Semua hal di atas belum bisa sepenuhnya digantikan oleh AI dalam waktu dekat ini. Menurut saya kompetensi 4C abad 21 (Critical Thinking, Creative Thinking, Collaboration, and Communication) akan semakin penting di era AI ini,” tambahnya. (sas/ dari berbagai sumber di linkedin.com)