Saat ini masih berlangsung Kongres bahasa Jawa ke-7, yang diadakan pada tanggal 28-30 November 2023 di Surakarta. Kegiatan 4 tahunan ini diikuti oleh tiga propinsi yang merupakan kantong pengembangan bahasa & sastra Jawa, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta.
Walaupun merupakan event regional, namun sebenarnya gaung event Kongres Bahasa Jawa ini bersifat nasional, bahkan internasional. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa penutur atau pengguna bahasa Jawa tersebar di berbagai wilayah Indonesia, serta beberapa negara, khususnya diaspora Jawa, misalnya di negara Suriname, Belanda, Malaysia dan Kaledonia Baru.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, tercatat penutur bahasa Jawa pada tahun 2023 sekitar 80 juta orang. Dari jumlah tersebut, 73 persen merupakan penutur aktif yang menggunakan bahasa Jawa dalam lingkup keluarga, dan 27 persen adalah orang Jawa yang tidak lagi menggunakan bahasa Jawa dalam lingkup keluarga. Sedangkan jumlah populasi Suku Jawa di Indonesia mencapai 95.217.022 jiwa. Angka ini mewakili 40,22 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Sekilas data angka tersebut menunjukkan jumlah penutur bahasa Jawa yang cukup besar. Namun jika dikaji lebih mendalam, jumlah penutur bahasa Jawa sebagai bahasa ibu semakin berkurang, khususnya di kalangan generasi muda.
Banyak orang tua Jawa yang tidak membiasakan menggunakan bahasa Jawa di lingkungan keluarga. Sejak kecil anak-anak mereka tidak dibiasakan untuk menggunakan bahasa Jawa, melainkan langsung menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa Inggris, dengan berbagai alasan.
Dengan sikap seperti ini maka tidak mengherankan jika banyak generasi muda Jawa kesulitan bahkan tidak bisa menggunakan bahasa Jawa.
Padahal mempelajari atau menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari merupakan implementasi dari upaya menjaga dan melestarikan marwah budaya daerah. Mempelajari dan menggunakan bahasa Jawa bukan berarti jawa sentris, namun upaya untuk melestarikan nilai-nilai luhur dan memperkuat jati diri bangsa.
Bukankah kebudayaan nasional terbangun dari puncak-puncak budaya yang sedemikian beragam di seluruh nusantara? Ada budaya Jawa, Bali, Sunda, Batak, Ambon, Papua, dan sebagainya. Keragaman budaya tersebut terangkum dalam satu semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Maka tema Kongres Bahasa Jawa ke-7 ini sangat tepat dan sesuai dengan kondisi kekinian. Dengan tema “Gayeng Gumregut Ngrumat Basa Jawa”, yang maknanya : suasana hati yang menyenangkan untuk bekerja tak kenal lelah. Tentunya dalam melestarikan dan merawat bahasa Jawa.
Salah satu agenda pembahasan dalam Kongres ini ialah standarisasi bahasa Jawa, sehingga mempermudah dalam mengenalkan dan mempelajari bahasa Jawa khususnya bagi anak-anak dan remaja. Dengan standarisasi, akan lebih mudah pula memasukkan pelajaran bahasa Jawa pada media IT, bisa dengan praktis ada di handphone pengguna, dengan berbagai pola pembelajaran yang menarik.
Salah satu kesulitan dalam mempelajari bahasa Jawa adalah keragaman kosa kata dan adanya tingkatan bahasa. Secara garis besar, bahasa Jawa memiliki tingkatan yakni ngoko, madya dan krama. Setiap tingkatan memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan situasi dan kondisi yang berlangsung dalam masyarakat.
Berbicara dengan teman sebaya, dengan orang yang lebih tua atau orangtua, akan mempunyai tingkatan bahasa yang berbeda. Contohnya penggunaan kata ‘tidur’.
Dalam bahasa Indonesia, kata ‘tidur’ diperuntukkan untuk semua tingkat usia dan posisinya dalam masyarakat. Mulai Presiden sampai gelandangan, mulai anak sampai orangtua, hanya menggunakan satu kata : tidur. Namun akan berbeda dalam penggunaan bahasa Jawa.
Kata “tidur” (dalam bahasa Jawa berarti “turu”) akan memperhitungkan siapa lawan bicaranya. Kata turu digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya, seumur. Kata ini termasuk dalam tingkatan “ngoko”. Namun jika berbicara dengan orang yang lebih tua, digunakan kata tilem. Sedangkan kata yang lebih sopan lagi digunakan kata sare.
Demikianlah, bahasa Jawa tidak hanya digunakan sebagai bahasa komunikasi namun juga budi pekerti. Dalam bahasa Jawa tercermin adanya norma-norma susila, tata krama, menghargai yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua. Dalam berbahasa Jawa ada muatan sosio kultural linguistik, kepada dan dengan siapa kita berbicara. Hal ini mengajarkan pada pengguna bahasa Jawa untuk selalu berperilaku santun, baik tutur kata maupun perbuatan.
Maka langkah kongkrit hasil Kongres Bahasa Jawa ke-7 ini sangat ditunggu. Bahasa Jawa harus dilestarikan dan dikembangkan sebagai salah satu kekayaan budaya nasional. Bahasa Jawa, seperti halnya bahasa daerah lainnya di Indonesia, akan berjalan beriringan dengan bahasa nasional, bahasa Indonesia.