Meski masih jadi perdebatan, Julius Caesar adalah tokoh yang mengenalkan dunia jurnalistik. Pada masa pemerintahannya, Julius Caesar memerintahkan hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan melalui Acta Diurna agar diketahui umum.
Berita di Acta Diurna itu disebarluaskan oleh para Diurnarii, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan. Dari kata Acta Diurna dan Diurnarii inilah asal kata jurnalistik yang dikenal sekarang.
Adakah Bapak Jurnalistik Indonesia ? Ada. Dialah Raden Mas Tirto Adi Suryo, kelahiran Blora tahun 1880. Dikutip dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, Tirto Adi Suryo tidak hanya sebagai jurnalis, namun juga perumus gagasan dan pengarang karya-karya non-fiksi.
Atas hasil karya dan perjuangan beliau dalam dunia jurnalistik Indonesia, beliau kemudian ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional oleh Dewan Pers Republik Indonesia pada tahun 1973.
Lalu pada 10 November 2016, ditetapkan pula sebagai pahlawan nasional. Jasa utama di bidang pers adalah, pendiri surat kabar nasional pertama di Indonesia, yakni mingguan “Medan Priyayi” pada tahun 1907. Beliau juga mendirikan dua surat kabar lain, “Soenda Berita” dan “Puteri Hindia” di tahun 1908.
Namun jika ditarik lebih jauh lagi ke masa silam, ada satu nama yang sampai kini masih diabadikan. Ia memang tidak disebut sebagai ‘Bapak Jurnalis’ namun justru menjadi identitas jurnalisme.
Dialah Dang Acarya Nadendra, yang menggunakan nama samaran Mpu Prapanca, seorang pujangga besar yang hidup di jaman kejayaan Majapahit dibawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350 – 1389).
Nama Prapanca dipakai sebagai nama media ini, prapanca.id dan tertulis pula dalam logo Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS).
Nama Prapanca juga digunakan sebagai ikon lomba karya jurnalistik insan pers di Jawa Timur yang tiap tahun diadakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim. Yakni pemberian “Piala Prapanca” bagi karya Jurnalistik Terbaik. Pemilihan nama Prapanca sebagai identitas jurnalistik ini tentu bukan tanpa alasan.
Mpu Prapanca adalah seorang pujangga besar pada jamannya. Salah satu karyanya adalah kitab Negarakretagama yang ditulis pada tahun 1365 di atas daun lontar dalam bentuk kakawin (syair Jawa kuno).
Kitab ini terdiri dari lima bagian, yang ditemukan secara terpisah di beberapa tempat. Bagian pertama ditemukan oleh seorang peneliti dari Belanda, J.L.A Brandes, di istana Raja Lombok, pada saat pasukan Belanda menggempur Kesultanan Lombok pada tahun 1894.
Menurut kisah, kitab Negarakretagama itu ditemukan oleh Brandes sebelum Belanda membakar habis istana dan seluruh buku perpustakaan kerajaan. Sedangkan bagian ke dua sampai lima ditemukan di Bali di tempat terpisah, antara lain di Karangsem dan Klungkung.
Sebagai catatan, berdasarkan banyak kisah sejarah di dunia, salah satu “tabiat buruk” penjajah di belahan dunia manapun, adalah selalu memusnahkan sumber-sumber intelektual dan ilmu pengetahuan terhadap negara yang dijajah atau kerajaan yang sudah ditaklukkan.
Yaitu dengan membakar habis perpustakaan kerajaan, sehingga negara terjajah tidak memiliki tradisi dan jejak intelektual, yang kelak akan membahayakan negara penjajah. Walaupun orang Belanda, namun J.L.A Brandes sangat berjasa dalam penyelamatan kitab Negarakretagama. Sehingga terkuak kebesaran Kerajaan Majapahit di seluruh dunia.
Negarakretagama menjadi rujukan sejarah yang sangat penting bagi para peneliti sejarah, karena berisi berbagai hal tentang Majapahit.
Mulai dari silsilah raja, keluarga raja, jalannya pemerintahan, kondisi sosial, politik, keagamaan dan kebudayaan Kerajaan Majapahit. Dalam salah satu bagian kitab Negarakretagama, diceritakan pula perjalanan keliling Prabu Hayam Wuruk ke luar kota jauh dari pusat kerajaan untuk melakukan kegiatan keagamaan dan mengunjungi wilayah kekuasaannya.
Tercatat kunjungan Prabu Hayam Wuruk melakukan puja semedi ke berbagai candi peninggalan leluhurnya, antara lain ke kakek buyutnya, Kertanegara, Raja terakhir Singasari dan Ken Arok, Raja pertama Tumapel dan pendiri Wangsa Rajasa.
Mpu Prapanca yang ikut serta dalam rombongan perjalanan Raja lalu mencatat dan menuliskannya dalam bentuk syair dalam salah satu bagian kitab Negarakretagama. Pekerjaan Mpu Prapanca yang mencatat lalu menulis kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk ini bisa dikategorikan sebagai pekerjaan jurnalistik. Maka tidak berlebihan jika nama Prapanca kemudian dipakai sebagai ikon jurnalistik.
Jika ditarik lebih jauh lagi, sebenarnya budaya tulis di nusantara sudah dimulai sejak beratus tahun yang lalu. Mpu Prapanca dan Negarakretagama bukan satu-satunya bukti kejayaan budaya tulis masa lalu.
Selain Mpu Prapanca, di jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk tersebut juga ada Mpu Tantular yang menulis kitab Sutasoma dalam bentuk syair Jawa Kuna. Semboyan Bhineka Tunggal Ika juga bersumber dari kitab ini.
Pada abad 11, Mpu Kanwa menghasilkan kitab “Arjuna Wiwaha”, yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Kediri, Prabu Airlangga (1019 – 1042). Ada lagi karya sastra terpanjang di dunia, berisi sekitar 6000 halaman, yakni “La Galigo” yang dihasilkan oleh bangsa Bugis Kuno pada sekitar abad 13.
Karya ini dipercaya sudah ada sebelum epik Mahabharata yang ditulis di India. Saat ini kitab “La Galigo” tersimpan di Museum Leiden, Belanda.