Teknologi telah mendorong percepatan penyampaian foto berita kepada khalayak. Dampak percepatan ini diakui juga memengaruhi arah kebijakan pemangku kepentingan termasuk di dalamnya industri media. Meski demikian, efek dan kualitas berbagai konten yang disebarluaskan masih menjadi perdebatan.
Rony Ariyanto Nugroho, pewartafoto, dalam artikel ‘Sajian Fotojurnalistik di Media Sosial’, di rubrik Klinik Foto Kompas, mengatakan bahwa tampilan visual dalam fotografi jelas poin penting untuk memikat followers. Tampilan yang menarik dipercaya mampu menaikkan nilai jual di media sosial, yaitu keterikatan (engagement). Hal ini juga berlaku pula dalam mengemas tampilan unggahan dalam kanal media sosial fotojurnalistik.
Dalam catatannya, Rony menambahkan, media sosial berperan besar bagi perkembangan dunia foto jurnalistik. Kemasifan peranan media sosial sering kali menjadi ujung tombak untuk menawarkan contoh tampilan sebuah berita foto yang mungkin disajikan secara utuh dalam kemasan galeri dalam kanal resminya.
Fenomena yang digambarkan Rony bukan tanpa dasar. Bagai sebuah etalase, akun media sosial menjadi pintu keberlanjutan interaksi organisasi media dan masyarakat.
Bahkan, dalam proses peliputan, kala meja redaksi menunggu dan menyiapkan ruang pemuatan berita, di saat yang sama pemirsa mendapat ‘kemewahan’ baru berupa unggahan konten sebuah peristiwa yang disiarkan seketika dari bibir panggung atau lapangan oleh pewartafoto lewat akun media sosialnya.
Tak perlu menunggu beberapa jam atau keesokan hari, jika hanya ingin mendapat gambaran suasana umum sebuah perhelatan besar seperti konser musik atau pesta olahraga internasional. Khalayak mendapat limpahan berita foto hangat dengan status ‘tidak resmi’ dari lapangan.
Namun, tentu saja khalayak tak punya waktu memvalidasi unggahan foto-foto tersebut. Sebab, akun pengunggah foto berita sudah terlanjur dikenal dan dipercaya sebagai ‘perwakilan’ organisasi media massa.
Dalam ekosistem pelaku fotografi jurnalistik di Indonesia, sejumlah pewartafoto profesional kerap membagikan karya profesionalnya di media sosial.
Dita Alangkara, kepala fotografer Associated Press (AP) Indonesia, selain mengunggah foto-foto personal, dia juga menampilkan karya fotojurnalistik kepada 53.000 pengikutnya di Instagram. Sementara Muhammad Fadli, kontributor National Geographic, membagikan jejak karya profesionalnya kepada 67.000 lebih pengikutnya di platform besutan Kevin Systrom dan Mike ini.
Dita dan Fadli tidak sendiri, ribuan akun dengan basis konten fotojurnalistik menjadi kiblat lain bagi generasi melihat masa kini. Dampak atas unggahan foto (dengan muatan jurnalistik) diakui sebagai sebuah nilai tambah, baik bagi pengikut atau follower, pemilik akun maupun media tempat jurnalis foto bekerja atau berkontribusi.
Platform sosial ini memungkinkan organisasi untuk menghubungkan populasi, branding, mode otentikasi, dan sumber daya-baik dalam bentuk produksi dan dukungan untuk fotografer (Shane Tilton, 2018). Dalam konteks ini, baik pewartafoto maupun organisasi berita sedang beradaptasi dengan feed konten crowdsourced (Aitamurto, 2015).
Selanjutnya, Instagram disebut sebagai platform yang mewakili pewartafoto dan organisasi jurnalistik untuk menyampaikan informasi sekaligus membangun komunitas.
Dampak yang Jarang Dibahas
Bagai pedang bermata ganda, platform berbagi visual memang menyumbang banyak peluang baru bagi pewartafoto dan organisasinya untuk berkembang. Sementara irisan dampak lain yang tampaknya jarang dibicarakan adalah hal-hal normatif dan fundamental terkait fungsi dan tujuan fotojurnalistik itu sendiri.
Dalam studi terhadap 104 praktisi fotojurnalistik di AS (Gabriel B Taito, 2017 , “Really Social Photojournalism” and a Photojournalistic Changing of The Guard: Observation and Insight) tercatat sejumlah pandangan mewakili kekhawatiran etis responden.
Diantaranya adalah potensi pelanggaran hak cipta. Responden mengatakan dirinya membatasi gambar yang diposting karena tak ingin pengguna media sosial menyalahgunakan atau salah mengartikan konten visualnya. “Dalam beberapa jam, unggahan foto saya telah digunakan sebagai meme, tanpa izin,” katanya.
Terkait potensi penyertaan foto di luar konteks, responden lain mengatakan bahwa ada kesepakatan antara subjek dan jurnalis profesional bahwa konten akan disajikan secara profesional, dengan dukungan organisasi profesional dan semua yang diperjuangkannya.
“Kekhawatiran saya adalah bahwa (konteks) itu bisa hilang dengan menyerahkan semuanya ke media sosial. Ini menciptakan tren di mana konten lebih bersifat hiburan daripada informatif,” seperti dikutip dalam penggalan hasil studi.
Daya pikat panggung media sosial, dengan kilauan cahaya berupa likes, share dan gempita gelombang follower memang menyihir banyak orang, termasuk praktisi dan organisasi jurnalistik. Dibutuhkan kemampuan untuk mengelola foto dalam konteks cerita yang akurat, dan relevan agar terhindar dari risiko mengekspos subyek pada hiruk-pikuk ejekan, meme dan penghakiman.
Mamuk Ismuntoro
Fotografer, Alumni Stikosa AWS, Pendiri Matanesia