“Bisnis informasi itu bisnis bersih. Maka jalankan dengan bersih. Sedangkan bisnis kotor pelacuran saja harus dilakukan dengan bersih. Kalau Anda menjanjikan teman kencan dengan seorang artis, maka jangan berikan lainnya, meski vital statistiknya sama.”
Kalimat itu meluncur dengan cepat dari lisan seorang asesor ketika menutup Uji Kompetensi Wartawan, di Yogyakara, akhir September tahun lalu.
Kepercayaan atau trust merupakan landasan dan modal utama bisnis media. Nenek moyang kita punya ungkapan bagus tentang itu: sekali lancung ke ujian, selamanya orang tak percaya. Atau: sepandai pandai-pandai menyimpan buah durian, akhirnya tercium juga. Plesetannya: Sepandai-pandai menyimpan istri muda, akhirnya tua juga.
Alhamdulillah. Trust atau rasa percaya publik terhadap media dan jurnalisme di Indonesia masih cukup tinggi.
Data survei Desember 2018 menginformasikan 62 persen responden dari sampel nasional menyatakan bahwa mereka percaya atau sangat percaya terhadap pemberitaan media. Lebih tinggi dibanding kepercayaan publik terhadap DPR/DPRD dan partai politik.
Tapi itu data yang tercermin dalam survei opini publik tahun 2018. Dalam kurun waktu 5 tahun, terlalu banyak hal bisa terjadi. Seperti kata orang bijak: butuh waktu bertahun-tahun membangun kepercayaan. Tetapi, hanya butuh waktu beberapa menit saja untuk menghancurkannya.
Faktanya, rasa percaya publik terhadap media di Indonesia mengalami gerusan dan erosi terus-menerus. Sikap tutup mata dan telinga media untuk menghindari liputan peristiwa yang tak berkenan di hati penguasa merupakan salah satu faktor publik meninggalkan media arus utama (mainstream). Celakanya kemudian publik lari ke media sosial demi memenuhi dahaga rasa ingin tahunya. Publik tak mau tahu pasal standar utama jurnalistik seperti akurasi dan keberimbangan.
Lazimnya erosi rasa percaya publik itu akan kian deras menjelang tahun politik yang di Indonesia bahkan sudah setengah mendidih jauh sebelum tahun 2024. Media arus utama akan disoroti dengan mata penuh curiga ketika menyampaikan liputan Pemilu. Partai politik peserta pemilu atau kandidat presiden sering protes lantaran media utama tidak melakukan peliputan secara adil. Satu diangkat, lainnya ditenggelamkan.
Di titik ini para jurnalis dan pengelola media mesti mawas diri. Ketika begitu banyak media arus utama ditinggalkan publik, setidaknya dicurigai kebenaran informasi yang disajikannya, sudah waktunya mereka memanggil pulang jurnalisme ke ruang redaksi. Jawab faktor penyebab tergerusnya tingkat kepercayaan publik terhadap media dan produk jurnalistiknya.
Kini media daring dan media sosial menjadi alternatif sumber informasi publik. Tentu masih tersisa rasa percaya publik pada media yang bersetia dengan prinsip jurnalistik. Namun, sikap “pindah ke lain hati” publik kepada media daring dan media sosial akan menjadi musibah besar bila keduanya menjadi saluran pemberitaan berkualitas buruk dan penyebaran disinformasi.
Trust a publik ke media pemberitaan bisa tergerus ketika media “alternatif” dan media sosial memberikan versi berbeda terhadap realitas.
Sadarilah, informasi media turut membentuk pilihan politik pemilih. Ketika kualitas informasi buruk bahkan palsu, maka buruk pula keputusan pemilih. Jadi, sungguh celaka duabelas bila media arus utama tak lagi peduli pada standar etis dan profesional jurnalisme. Inilah saatnya memanggil pulang jurnalisme ke ruang redaksi.***