Jakarta (prapanca.id) – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) melihat peluang pertumbuhan yang menarik dalam pasar saham di kawasan Asia Pasifik ex Jepang (Asia Pasifik tanpa Jepang). Hal ini terjadi seiring dengan pemulihan ekonomi yang tengah berlangsung di wilayah tersebut.
Faktor seperti inflasi yang terkendali, peluang penurunan suku bunga oleh bank sentral di berbagai negara Asia, serta kebijakan pemerintah yang tepat sasaran dianggap mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan ini.
Dr. Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist MAMI, menjelaskan, “Dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) dan Eropa, tingkat inflasi di Asia tidak terlalu tinggi. Dalam empat tahun terakhir, inflasi di AS dan Eropa meningkat signifikan di atas tingkat sebelum pandemi, sementara di Asia, inflasi masih berada dalam tren yang relatif stabil, hanya sedikit di atas 2%. Meskipun inflasi global mencapai puncaknya, penurunan suku bunga global masih terlalu dini untuk diharapkan pada tahun 2023, karena tingkat inflasi inti masih tetap tinggi.”
Samuel Kesuma, CFA, Senior Portfolio Manager, Equity MAMI, menyoroti potensi pertumbuhan di reksa dana saham off-shore yang berfokus pada kawasan Asia Pasifik.
“Saat ini, saham-saham di Asia Pasifik ex Jepang diperdagangkan dengan valuasi yang menarik dibandingkan dengan saham-saham di negara maju. Contohnya, indeks MSCI Asia Pasifik ex Jepang memiliki rasio PE (Price Earning) yang lebih rendah sekitar 20% dibandingkan dengan kawasan negara maju.”
Baru-baru ini, Morgan Stanley menurunkan peringkat saham-saham Cina karena masalah perlambatan ekonomi dan kegagalan sektoral.
Hal ini membuat indeks MSCI Cina saat ini diperdagangkan di bawah rata-rata perkiraan PE 10 tahun. Menanggapi masalah ini, pemerintah Cina telah mengambil langkah-langkah spesifik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk enam kebijakan yang ditargetkan dengan tepat.
Samuel menjelaskan keenam kebijakan tersebut dan pandangan MAMI terhadapnya. Pertama, kata dia, kebijakan meningkatkan permintaan dalam negeri dengan fokus pada pemulihan dan peningkatan konsumsi.
“Kami percaya bahwa sektor jasa yang membaik akan terus mendukung pemulihan ekonomi, terutama di industri perjalanan wisata, perhotelan, dan pakaian olahraga,” tegasnya.
Kedua, lanjutnya lagi, kebijakan memperpanjang masa pengurangan dan pembebasan pajak kendaraan energi baru (NEV) hingga tahun 2027. Ini akan mendorong penjualan kendaraan listrik dan komponennya.
Ketiga, kebijakan stabilisasi sektor properti, yang diharapkan akan pulih secara bertahap. Keempat, kebijakan untuk mendukung pengembangan ekonomi digital, termasuk pemulihan industri online dan pengembangan kecerdasan buatan (AI).
Kelima, kebijakan membangun swasembada sains dan teknologi, terutama dalam industri semikonduktor dan perangkat lunak.
“Terakhir, kebijakan untuk mempercepat digitalisasi di industri tradisional dan UKM. Semua ini dapat mendukung pertumbuhan ekonomi,” kata Samuel.
Di sisi lain, India, salah satu pasar terbesar di Asia, telah menerapkan reformasi yang kohesif dan konsisten sejak 2014. Negara ini memiliki siklus pertumbuhan yang positif, didukung oleh formalisasi bisnis dan digitalisasi yang signifikan, serta pasar domestik yang besar.
Samuel menekankan, “India akan menjadi pusat manufaktur global yang kompetitif, terutama karena upah industri manufaktur di India lebih rendah daripada negara-negara sekitarnya. Selain itu, populasi pekerja di India diperkirakan akan melampaui Cina, dan infrastruktur transportasi juga telah meningkat. Hal ini akan membantu ekspor India dan berkontribusi pada pertumbuhan global.”
Dr. Katarina Setiawan juga menyoroti fundamental ekonomi Indonesia yang kuat. “Inflasi di Indonesia adalah salah satu yang terendah di antara negara-negara berkembang, dan keuangan publik Indonesia relatif sehat. Rasio utang swasta terhadap PDB masih rendah, memberikan peluang bagi sektor swasta untuk tumbuh. Meskipun perdagangan komoditas mengalami surplus, ekonomi Indonesia tetap berkembang, memberikan potensi pertumbuhan yang menjanjikan.”
Untuk memanfaatkan peluang di pasar Asia Pasifik ex Jepang, investor dapat mempertimbangkan untuk berinvestasi di reksa dana saham offshore yang memiliki portofolio terdiversifikasi di kawasan ini.
Salah satu pilihan yang tersedia adalah reksa dana saham Manulife Saham Syariah Asia Pasifik Dollar AS (“MANSYAF”) yang telah memberikan imbal hasil sebesar 7,98% sepanjang tahun ini (berdasarkan data Fundfact per akhir Juli 2023, diambil dari laman web manulifeim.co.id).
Investor juga dapat mengakses MANSYAF melalui 24 dari 36 mitra distribusi MAMI, termasuk Bank Central Asia, Bank CIMB Niaga, Bank Commonwealth, Bank CTBC Indonesia, Bank Danamon Indonesia, Bank DBS Indonesia, Bank HSBC Indonesia, Bank KEB Hana Indonesia, Bank Mandiri, Bank Maybank Indonesia, Bank Mega, Bank Negara Indonesia, Bank OCBC NISP, Bank Permata, Bank Tabungan Negara, Bank UOB Indonesia, Citibank N.A. Indonesia, Standard Chartered Bank, Bareksa, BMoney, Fundtastic, Invesnow, Principal Optima, Moduit, dan Tanamduit. (rud)