Jakarta (prapanca.id) – Sejak duduk di bangku SMA Muhammadiyah 5 Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur, Makroen Sanjaya telah meneguhkan cita-citanya menjadi seorang jurnalis televisi.
Makroen Sanjaya, anak petani kecil di desa, berani menggantungkan mimpinya itu di langit, gara-gara melihat Harmoko, Menteri Penerangan era Orde Baru, yang hampir tiap hari wajahnya menghiasi layar TVRI, atau suaranya melantang di radio melalui RRI.
Dari siaran RRI yang hampir tiap hari didengarnya, Makroen mendapat informasi keberadaan perguruan tinggi yang khusus mencetak jurnalis, tenaga hubungan masyarakat, dan insan penerangan, yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS).
Belakangan setelah menjadi mahasiswa, Makroen mengetahui bahwa Harmoko, Menpen RI yang diidolai itu ternyata menjadi Ketua Dewan Penyantun Stikosa-AWS. Semangat dan kebanggaan Makroen pun membuncah, terutama ketika suatu hari Harmoko datang ke kampus baru di Medokan Semampir.
“Foto saya ketika mendampingi Pak Harmoko itu, masih saya simpan. Suatu hari, ketika saya mengawal program Kick Andy di MetroTV, waktu itu mendatangkan Harmoko sebagai narasumber. Saya bilang ke Pak Harmoko begini: ‘Pak, gara-gara bapak nih, saya jadi wartawan.’ Beliau kaget sekaligus merasa bangga, setelah saya jelaskan bahwa saya mengaguminya, karena itu mengikuti jejaknya sebagai wartawan. Untuk bisa jadi wartawan, saya harus kuliah di Stikosa-AWS, yang pernah beliau santuni,” kata Makroen menceritakan.
Demi mewujudkan cita-citanya sebagai jurnalis TV itu, Makroen memang tak punya pilihan lain harus kuliah di Stikosa AWS, yang kala itu merupakan satu-satunya perguruan tinggi ilmu komunikasi di Jawa Timur.
Di Stikosa AWS mahasiswa digembleng ilmu komunikasi dan media, oleh sejumlah dosen praktisi yang bereputasi nasional. Dengan modal Rp.350 ribu untuk membayar uang kuliah pertama, hasil panen padi orangtuanya di kampung, tahun 1985 ia masuk Stikosa AWS., mengambil jurusan Ilmu Jurnalistik.
Makroen mengawali karir jurnalistiknya di dua media cetak, yaitu Majalah FAKTA Surabaya (1988-2000) dan Harian Pagi SURYA Surabaya (1990-1996).
Karena saking asyiknya berkarir di media, Makroen beberapa kali mengambil cuti kuliah, yang menyebabkannya masa studinya ditempuh dalam enam tahun. Dia baru diwisuda tahun 1991.
Cita-cita menjadi jurnalis TV, baru digapainya tahun 1996. Layar TV pertama yang dirambahnya adalah SCTV. Di tahun 1996, SCTV yang akan mengembangkan redaksi pemberitaan melalui Liputan 6 membuka lowongan.
Dari sekitar 300 pelamar, Makroen dinyatakan lolos bersama 30an orang lainnya. Di SCTV sejumlah peristiwa penting terjadi, Makroen menjadi salah seorang bagian penting Liputan 6 yang terlibat dalam peliputan.
Pada saat peristiwa pengambilalihan kantor DPP PDI pimpinan Megawati oleh kelompok Soerjadi, 27 Juli 1996 yang dikenal sebagai peristiwa Kuda Tuli, ia bersama kamerawan Jopi Jacob berada di lokasi peristiwa tersebut sejak pukul 06.30 pagi.
Begitu pula dengan peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, 12 Mei 1998, yang diikuti demonstrasi besar-besar dan kerusuhan rasial, dan berakhir dengan pengunduran diri Presiden Soeharto, 21 Mei 1998, ia ada di tengah kancah peliputan, sebagai Redaktur Hukum dan Kriminal Liputan 6 SCTV.
“Begitu terjadi penembakan mahasiswa Trisakti yang menewaskan 4 orang mahasiswa, sore harinya pecah kerusuhan yang terus meluas. Saat itu, sekitar jam 5 sore, saya hendak pulang setelah tugas dari jam 6 pagi, eh, di arah Grogol muncul asap pembakaran mobil dan gedung-gedung yang membubung tinggi. Seketika, saya balik ke kantor, tidak jadi pulang, karena peristiwa besar sedang berlangsung. Jadinya, saya dan sejumlah kru Liputan 6 SCTV, seperti Arief Suditomo, Ira Koesno dan lainnya, menginap tiga hari di kantor, tanpa bawa pakaian ganti,” kata Makroen mengisahkan.,
Setelah 8 tahun melakoni karir di Liputan 6 SCTV, Makroen kemudian hijrah ke MetroTV (2004-2012) dengan posisi terakhir sebagai Wakil Pemimpin Redaksi. Di Metro TV, Makroen meninggalkan legacy dua program unggulan Kick Andy dan parodi Republik Mimpi: Newsdotcom.
Makroen juga pengendali utama sejumlah peristiwa media (media event) berskala nasional dan internasional yang dikemas dalam program Breaking News, seperti bencana tsunami Aceh Indonesia Menangis (2004), penculikan kru MetroTV Meutya Hafidz dan Budiyanto di Irak (2005), Letusan Gunung Merapi (2010), Gempa Yogyakarta (2010) dan peristiwa lain yang menggemparkan dunia.
Selepas dari MetroTV, tahun 2013 Makroen singgah sebentar di TV Muhammadiyah (TVMu) sebagai Direktur Program dan Pengembangan Bisnis, Makroen kemudian ditarik oleh manajemen B-Channel, stasiun televisi milik taipan Peter Sondakh, yang kelak berubah kode panggil (call-sign) dari B-Channel menjadi Rajawali Televisi (RTV). Di RTV, Makroen dipercaya menjadi Wakil Pemimpin Redaksi, yang sejak awal ditugasi membentuk Redaksi RTV, dengan nama program berita Lensa Indonesia. Makroen mengakhiri karirnya di RTV pada Oktober 2020 karena memasuki usia pensiun.
Profesi jurnalis merupakan salah satu dari sedikit profesi yang tidak mengenal kata pensiun. Kendati pensiun dari perusahaan media yang satu, Makroen Sanjaya sudah ditarik kembali ke TV Muhammadiyah (TVMu), televisi berbasis komunitas tetapi dikelola secara komersial melalui PT TVMu Surya Utama.
Ia dipercaya sebagai Direktur TVMu sejak November 2020, hingga tulisan ini dibuat; Maret 2024. Di tangan Makroen, TVMu berhasil mendapatkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) Tetap dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sejak April 2022, sekaligus menjadi salah satu bagian dari sistem siaran televisi digital. TVMu menjadi satu-satunya Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang dimiliki organisasi masyarakat Islam di Indonesia yang bersiaran secara digital terestrial.
Main dua kaki
Setelah menjalani karir sebagai jurnalis selama 29 tahun, Makroen Sanjaya terketuk hatinya untuk membagi ilmu bidang komunikasi media di kampus. Tetapi terkendala syarat ijazah S-2. Karena itu, tahun 2017, di usia 52 tahun, dia memasuki bangku kuliah di Program Magister Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (FDIK UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pendidikan di Magister ditempuhnya dalam tempo 1 tahun 8 bulan, sehingga meraih Predikat Lulusan Terbaik dengan IPK 4.0. Dengan bekal ijazah S-2 itu, Makroen dapat mengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta sejak 2019 sebagai Dosen Tetap (DT). Tak lama kemudian, Makroen juga diminta mengajar di Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (Prodi KPI) FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Dosen Tidak Tetap (DTT).
Menamatkan kuliah Magister, Makroen anak LA, sebutan untuk warga Lamongan, merasa ketagihan untuk kuliah lagi. Setelah menyandang gelar M.Sos di belakang namanya pada Oktober 2018, dia langsung mendaftar di Program Doktor Ilmu Komunikasi (DIK) di Sekolah Pascasarjana (SPS) Universitas Sahid, Jakarta, mulai menjalani perkuliahan pada Maret 2019. Masa studi S-3 ini ditempuhnya selama 40 bulan atau 7 semester, dan meraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi pada 6 Juli 2022.
“Pada saat saya kuliah S-3 inilah, dunia saya terbagi menjadi 3 bagian. Pertama sebagai jurnalis, kedua sebagai dosen, ketiga suami sekaligus bapak dari 4 orang anak. Uniknya, selama kuliah S-2 dan S-3, sekali pun tidak pernah absen di kelas perkuliahan.”
Dalam menjalani karirnya, sejak 2019, Makroen “main di dua kaki” yaitu sebagai seorang praktisi TV sekaligus sebagai akademisi. Perpaduan karir di dua dunia itu, dijadikannya sebagai aktivitas yang mengasyikkan. Bagaimana tidak, karena pada “dua dunia” itu merupakan tempat bertemunya antara teori dan praktik sekaligus.
“Saya dapat mengajarkan ilmu komunikasi media, bukan hanya berdasarkan teori yang saya baca, tetapi saya bisa menjelaskan secara konkrit aspek praksisnya. Jadi, saya tidak sekedar mendongeng di depan kelas,” katanya dalam sebuah wawancara media.
Pemahaman akan teori dan pengalamannya yang lebih dari cukup di dunia praktik itu, kemudian ditekadkan dituliskan dalam buku maupun jurnal. Buku pertamanya tentang TV berjudul Sistem Pertelevisian Indonesia. Perspektif Historis, Bisnis, Budaya, dan Teknologi telah diterbitkan pada November 2023.
Buku ini merupakan buku kedua yang ditulisnya, karena sebelumnya juga diterbitkan buku “Jejak-Jejak Salafi Di Media Sosial” pada Agustus 2023 sebagai karya adaptasi dari disertasinya di Sekolah Pascasarjana (SPS) Universitas Sahid Jakarta.
Baginya, profesi sebagai praktisi TV ditekadkan akan dijalaninya selama dunia penyiaran membutuhkannya. Apa pun bentuk atau format media audio-visual yang kemungkinan bakal terus berubah.
Sedangkan karirnya sebagai akademisi, meski dibatasi usia maksimal 65 atau 70 tahun, akan disiasatinya dengan mengajar secara virtual atau audio-visual. Di era yang serba digital, belajar dan mengajar makin tidak dibatasi oleh spasial (ruang) dan temporal (waktu). (sas)