Surabaya (prapanca.id) – Sepuluh tahun publik kehilangan jejak lukisan karya Supar Pakis. Sejak meninggal pada tahun 2013, karya Supar seperti tinggal kenangan, tidak ada penyelenggara pameran yang menampilkan karyanya. Baru ketika Galeri Filadelvia dibuka, lukisan Supar dihadirkan, kerinduan publik pada surealisme Supar serasa terobati.
Sebanyak sepuluh lukisan berukuran jumbo karya Supar Pakis menghiasi rumah pamer lantai bawah di Galeri Filadelvia, Citraland, yang lokasinya dekat kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Surabaya. Sedangkan lantai dua dihiasi karya Mozes Misdi.
“Pameran ini merupakan bentuk kerinduan pada Supar. Selama ini sering berlangsung pameran namun tidak ada yang menampilkan karyanya Supar,” tutur Freddy Wijaya, pemilik galeri.
Mengamati lukisan karya Supar Pakis serasa diajak membaca proses penjelajahan simbol-simbol untuk menemukan ciri khas kekaryaan. Sebagaimana umumnya perupa selalu terpacu untuk menemukan karakteristik ciptaannya dengan tetap terikat oleh kaidah senirupa yang menjunjung keindahan. Supar mampu memenuhi kriterium tersebut. Sekali pandang orang akan teringat akan karyanya. Ingatan itu kadang hadir tanpa diundang, itu pertanda betapa kesan yang memancar dari lukisannya amat kuat.
Pada karya “Golf 7”, tampak dua sapuan tegak abu-abu menghimpit bidang kehijauan sebagai latar belakang bola golf yang menyita ruang kanvas, di depannya seekor angsa menoleh ke arah bola, dua butir telur tergeletak, di pojok kiri bawah ada potongan pohon pisang layu. Idiom yang disajikan semacam kolase, hadir tanpa keterhubungan satu sama lainnya.
Supar Pakis kelahiran kampung Pakis Surabaya, 23 Desember 1964. Di kalangan alumni senirupa IKIP Adi Buana Surabaya yang rerata berprofesi sebagai guru, Supar pun demikian. Di sela kesibukannya mengajar dia gigih memproses diri sebagai pelukis yang berkiblat pada surealisme. Namun usianya tidak panjang. Ia meninggal dunia karena sakit di usia 49 tahun pada 2013. Melihat karya besar Supar Pakis inilah, Freddy kemudian menghadirkan karya lukis surealisme itu di galerinya.
Menurut Freddy, sebagai kota metropolitan, keberadaan galeri senirupa Surabaya terbilang minim. Dua, tiga galeri pernah dihadirkan namun tak berumur panjang. Freddy yang memindahkan galerinya di Jakarta ke Surabaya menuturkan, kendala mengelola galeri adalah karena putus asa lantaran over estimate, prasangka yang berlebih atas keuntungan yang hendak diraih. Ketika targetnya tidak tercapai kemudian putus asa, galerinya ditutup.
“Saya tidak demikian, beserta anak dan istri merupakan pecinta seni. Apa yang kami gelar di galeri maupun rumah benar-benar dinikmati dan dicintai. Kalau ada yang berminat mengoleksi silahkan jika tidak ada saya pun bersyukur karena akan tetap bisa bersama koleksi kesayangan. Tanpa kecintaan segala sesuatu akan putus di tengah jalan,” tuturnya. (Rokim Dakas)