Jakarta (prapanca.id) – Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam upaya revisi UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) secara serius mendesak penundaan pengesahan revisi kedua UU ITE yang telah disepakati DPR RI dan pemerintah.
Koalisi mengkritik proses pembahasan yang tertutup, menyatakan bahwa hingga saat ini masyarakat belum menerima salinan resmi naskah rancangan revisi UU ITE, dan menilai partisipasi publik selama proses ini sangat terbatas.
Menurut catatan koalisi, dari 14 kali rapat kerja yang dilakukan oleh panitia kerja (Panja) Komisi I dan DPR RI, hanya beberapa rapat yang diumumkan secara resmi ke publik dengan risalah rapat yang minim informasi. Draf rancangan revisi UU ITE juga tidak pernah diumumkan secara resmi, mempersulit masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan terhadap proses pembahasan ini.
Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian, menyatakan bahwa sementara ada partisipasi masyarakat, belum jelas apakah masukan yang diberikan tersebut dipertimbangkan dalam revisi. Dia menekankan bahwa revisi ini seharusnya menjadi kesempatan untuk menutup ruang kriminalisasi dan menegaskan bahwa proses ini harus transparan.
“Revisi ini seharusnya momentum untuk menutup ruang kriminalisasi dengan menggunakan perangkat hukum atau judicial harassment. Pemerintah seharusnya sadar bahwa ini tidak sehat untuk demokrasi,” papar Rozy Brilian dalam konferensi pers daring pada Rabu, 22 November 2023.
Lebih lanjut, Rozy menilai bahwa pendapat dari berbagai fraksi yang disampaikan pada rapat kerja Komisi I DPR RI dengan pemerintah tidak menyoroti pasal-pasal pidana yang mengkriminalisasi masyarakat, melainkan menunjukkan semangat pembatasan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.
Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), mengkritik praktik pembahasan yang tertutup dan diam-diam, menyebutnya sebagai degradasi terhadap demokrasi di Indonesia. Ia menegaskan bahwa negara demokrasi seharusnya membuka partisipasi publik dan memberikan hak-hak seperti mendengarkan, mendapatkan informasi, dipertimbangkan masukkannya, mendapatkan penjelasan, dan mengajukan komplain.
Koalisi juga mencatat bahwa pasal-pasal bermasalah UU ITE terus digunakan untuk membungkam suara kritis. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat setidaknya 89 kasus kriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal bermasalah UU ITE sepanjang Januari-Oktober 2023. Koalisi menekankan harapan agar revisi ini memberikan perbaikan substansial dan memastikan keadilan bagi masyarakat.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyoroti bahwa revisi memberikan kewenangan besar kepada pemerintah untuk memutus akses terhadap informasi. Ketentuan ini muncul melalui penambahan kewenangan pemutusan akses dan moderasi konten, yang dianggap sebagai ancaman terhadap hak asasi manusia. Koalisi mendesak DPR RI dan pemerintah untuk menunda pengesahan revisi, membuka dokumen revisi secara transparan, dan menghindari praktik tertutup yang merugikan publik. (sas)