Jakarta (prapanca.id) – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menegaskan bahwa Kejaksaan Agung harus berkoordinasi dengan Dewan Pers dalam proses penilaian terhadap karya jurnalistik yang dijadikan sebagai alat bukti dalam kasus dugaan obstruction of justice.
Hal ini disampaikan menyusul penetapan tiga tersangka oleh Kejagung yang melibatkan dua advokat dan seorang direktur pemberitaan media televisi.
Kejaksaan Agung melalui siaran pers bernomor PR – 331/037/K.3/Kph.3/04/2025 menetapkan advokat Junaedi Saibih (JS), Marcela Santoso (MS), dan Tian Bahtiar (TB) selaku Direktur Pemberitaan Jak TV sebagai tersangka.
Mereka diduga terlibat permufakatan jahat dalam upaya mengganggu proses hukum kasus dugaan suap ekspor crude palm oil (CPO) terhadap tiga korporasi besar: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
Kejaksaan menilai bahwa pemberitaan di Jak TV digunakan untuk membangun narasi negatif yang mengganggu konsentrasi penyidik. Akibatnya, sejumlah konten berita yang sudah tidak dapat diakses publik dijadikan alat bukti dalam kasus yang disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Namun, KKJ menyebut bahwa tindakan semacam ini berisiko melemahkan kebebasan pers. Menurut KKJ, penyampaian opini publik dan pemberitaan tidak bisa serta-merta dikategorikan sebagai tindakan menghalangi penyidikan.
“Obstruction of justice harus merujuk pada tindakan nyata dan langsung menghambat proses hukum. Bukan pada kritik atau opini publik terhadap jalannya penyidikan,” tegas pernyataan resmi KKJ.
KKJ menekankan bahwa sebelum menjadikan konten media sebagai alat bukti, Kejaksaan seharusnya melakukan koordinasi dengan Dewan Pers. Hal ini telah diatur dalam Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 01/DP/MoU/II/2019 dan KEP.040/A/JA/02/2019 yang mengatur koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers.
“Penilaian terhadap muatan jurnalistik seharusnya dilakukan oleh Dewan Pers, untuk menentukan apakah terdapat pelanggaran kode etik jurnalistik atau tidak,” lanjut KKJ.
KKJ juga mengingatkan bahwa pengabaian terhadap mekanisme penilaian etik berpotensi mengarah pada kriminalisasi terhadap media dan jurnalis, serta melemahkan ekosistem kebebasan berekspresi di Indonesia.
Dalam pernyataannya, KKJ mendorong lima hal utama:
- Kejaksaan Agung harus berkonsultasi dengan Dewan Pers sebelum menetapkan konten jurnalistik sebagai alat bukti dalam proses hukum.
- Meninjau ulang penggunaan Pasal 21 UU Tipikor agar tidak digunakan secara sembarangan terhadap kritik media.
- Dewan Pers segera melakukan pemeriksaan etik terhadap karya jurnalistik yang diduga melanggar kode etik.
- Penegakan hukum harus tetap akuntabel dan proporsional, tanpa mengorbankan kebebasan pers.
- Jurnalis dan media harus menjunjung tinggi profesionalisme, menjaga independensi, serta mematuhi kode etik jurnalistik.
KKJ menyatakan tetap mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia, namun menegaskan bahwa kebebasan pers dan hak atas informasi juga merupakan bagian dari prinsip negara demokratis yang harus dijaga. (anz)