Sidoarjo (prapanca.id) – Menyambut perayaan Hari Jadi Kabupaten Sidoarjo yang ke-165, kehadiran Wayang Jekdong Gagrak Porongan akan menjadi sorotan utama. Rencananya, pagelaran wayang ini akan digelar di 12 lokasi berbeda di wilayah Sidoarjo sebagai bagian dari serangkaian acara perayaan, yang dimulai sejak tanggal 14 Januari 2024.
Hal tersebut diungkapkan setelah pertemuan para dalang wayang jekdong yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda) di Rumah Budaya S. Karno, Wunut, Porong, Kabupaten Sidoarajo, Minggu (20/01).
Dalam pertemuan tersebut, beberapa tokoh penting seperti Ki Toro, Ki Surono, Ki Yohan Susilo, Ki Fachri, Cak Tawar, Ki Pringgo, Ki Didik Iswandi, dan Ribut Wijoto (Ketum Dekesda) turut hadir. Ketua Dewan Pakar Dekesda, Dr. Autar Abdillah, Soekarno, dan Suwarmin juga turut serta dalam pertemuan tersebut. Diputuskan bahwa pagelaran wayang jekdong akan dilaksanakan secara serentak di 12 lokasi pada tanggal 20 dan 28 Pebruari 2024.
Ribut Wijoto, Ketum Dekesda, menyatakan bahwa jadwal tersebut masih perlu disinkronkan dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo sebagai leading sector. Koordinasi lebih lanjut akan dilakukan untuk mematangkan persiapan dan pembiayaan acara.
Tim kurator yang akan mengelola aspek-aspek tertentu dari pagelaran juga telah ditetapkan. Ki Surwedi dari Plumpung, Balungbendo, akan menangani bidang pakeliran, sedangkan dalang Ki Surono Gondo Taruno dari Desa Janti, Balong Bendo, akan menangani sabetan atau gerakan wayang. Suwarmin, dari Dewan Pakar Dekesda, akan menggarap musik gamelan sebagai pengiring pertunjukan, sementara Ki Pringgo Jati Rahman, lulusan Program Studi Seni Pedalangan ISI Surakarta, akan mengurus aspek sanggit.
Ribut Wiyoto akan menangani unsur-unsur sastra dalam lakon wayang Gagrak Porongan, sedangkan seluruh rangkaian acara akan ditangani oleh dalang Ki Toro, yang memiliki pengalaman panjang di Dinas Komunikasi dan Informatika Pemprov Jatim.
Ciri khas Wayang Jekdong
Wayang kulit Jek Dong merupakan warisan budaya Jawa Timur, ditemukan di daerah Mojokerto, Malang, Porong, Sidoarjo, Surabaya, dan Gresik. Seni pertunjukan wayang kulit ini berasal dari kata “Jek” yang merujuk pada alat keprak, dan “Dong” yang merujuk pada alat kendang dan gong besar. Berbeda dari wayang kulit Jawa Tengah, struktur iringan musik karawitan, serta perkataan dalam wayang kulit Jek Dong, memiliki keunikan tersendiri. Bahasanya cenderung merakyat, sesuai dengan kultur budaya Arek dan perilaku asli Jawa Timur.
Dalam segi musik, wayang kulit Jek Dong hanya menggunakan gamelan slendro, mirip dengan yang digunakan dalam kesenian ludruk. Wayang kulit ini memiliki bentuk yang mencolok, didominasi oleh warna merah dan hijau. Pergelaran wayang kulit Jek Dong kini telah dilengkapi dengan campursari dan musik dangdut, menyesuaikan selera masyarakat masa kini. Malah sudah sejak lama wayang Wetanan disertai pembuka tari Remo, dimana pengunjung diminta memberikan saweran.
Meskipun mengangkat kisah Ramayana dan Mahabharata seperti wayang kulit gaya Jawa Tengah, namun dalam wayang Jek Dong, hanya ada dua tokoh punakawan, yaitu Semar dan Bagong.
Gaya pakeliran Jawa Timuran kini dikenal memiliki tiga subgaya (gagrak), yakni Porongan, Malangan, dan Mojekertoan atau dikenal juga sebagai gagrak Trowulanan.
Rendahnya tingkat regenerasi dalang, menjadi kekhawatiran akan menurunnya Wayang Jek Dong, khususnya gagrak Porongan di Sidoarjo.Pagelaran wayang di 12 titik secara serempak tersebut diharapkan mampu membuktikan bahwa seni tradisional ini masih tetap eksis dan akan terus berkembang. (sas)