Surabaya (prapanca.id) – Di tengah hiruk-pikuk Kota Surabaya, cahaya literasi terus berupaya bersinar di Toko Buku Kampoeng Ilmu. Berlokasi di Jalan Semarang Nomor 55, Tembok Dukuh, Bubutan, Surabaya, menjadi titik temu para pencinta buku.
Kampung yang memiliki sejumlah toko buku ini menyediakan buku bekas hingga baru dengan beragam judul dan genre. Mulai dari fiksi hingga nonfiksi, sastra klasik hingga buku langka dengan harga terjangkau.
Driono, salah satu pemilik toko buku, menuturkan, semenjak Pandemi Covid-19 kehidupan di toko buku di Surabaya ini semakin lenggang. Calon-calon pembeli kian menghilang seiring berjalannya waktu.
“Perbedaannya jauh pas sebelum Corona. Bener pas Covid itu pasar kami tambah luas ada online. Tapi saya pikir rasanya nggak seperti beli langsung (ada interaksi),” tuturnya.
Driono juga mengatakan, saat ini semua pedagang mengalami penurunan omset. Hasil pendapatan dari menjual buku secara langsung tak lagi bisa diandalkan. Oleh karena itu, seiring dengan berkembangnya teknologi mengharuskan setiap pedagang untuk ikut terjun dalam penjualan online.
“Penghasilan perharinya nggak mesti, laku satu, dua ya Alhamdulillah. Kadang bisa satu, dua minggu sepi, jadi nggak mesti. Saya sudah tua, jadi dibantu anak saya buat jualan online (lebih laku),” ujarnya.
Suasana ramai calon pembeli kian terkikis, beberapa toko buku kini ada yang tutup permanen. Para pedagang hanya bisa menunggu pembeli offline sembari menggunakan gawainya menunggu pembeli online. Tak jarang, beberapa di antaranya sedang mengemas buku-buku yang berhasil terjual untuk segera dikirim ke pembeli yang telah memesan melalui online.
Meski terbantu dengan adanya toko online (e-commerce) hal ini tak memberikan perubahan signifikan, termasuk toko buku miliknya. Tak setiap hari bukunya terjual, mengingat banyak saingan dari berbagai toko buku online lainnya.
“Di online kami jual lebih mahal Rp 15 ribu, itupun hasil jualnya nggak langsung bisa cair, harus nunggu berminggu-minggu, lakunya ya juga ga mesti. Sedangkan kalau beli langsung kadang ditawar terlalu rendah,” keluh pria yang kini berusia 60 tahun itu.
Pedagang yang telah berjualan selama 16 tahun ini menambahkan, ada masa-masa toko buku di Kampung Ilmu ramai pengunjung. Memasuki masa ajaran baru di sekolah menjadi momen yang ditunggu-tunggunya.
“Biasanya bulan tujuh, delapan, sembilan (Juli-September) itu agak rame soalnya kan masuk sekolah (ajaran baru). Buku pelajaran sekolah SD, SMP, dan SMA. Selebihnya normal, ya wes untung-untungan,” ungkap Driono.
Namun, kebijakan pemerintah kota (Pemkot) dalam penerapan kurikulum baru menjadi salah satu alasan kini toko buku di Kampung Ilmu kian sepi pembeli. Pergantian kurikulum setiap waktu membuat para pelajar semakin jarang mencari buku bekas.
“Sekarang dari Diknas Kota sudah disediakan. Kalau dulu masih enaklah. Sekarang setiap sekolah sudah dapat kuota, didata dari Pemkot,” bebernya.
Penyebab lainnya ialah dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin cepat. Kini masyarakat sudah mulai meninggalkan buku dan beralih pada buku online (e-book).
“Tak bisa dipungkiri lah dengan adanya teknologi sekarang. Kita simpan data, file bisa hilang. Kalau buku kayak gini, mulai tahun 50an masih ada. Intinya begitu,” pungkasnya. (Dwita Feby Febriyola/20010028)