Surabaya (prapanca.id) – Di Amerika dan negara-negara maju di Eropa, seorang jurnalis bekerja dengan cara yang semakin kompleks. Kini, mereka harus mampu membuat tulisan berita, foto, dan video sekaligus. Tren ini perlahan tapi pasti juga terjadi di Indonesia.
Menurut Riesta Ayu O, S.I.Kom., M.I.Kom., pemerhati media massa dari Stikosa AWS, di Amerika dan negara-negara maju di Eropa, jurnalis kini dituntut untuk memiliki keterampilan yang lebih luas dibandingkan sebelumnya. Kemampuan untuk membuat tulisan berita, foto, dan video sekaligus menjadi nilai tambah yang sangat penting. Jurnalis, pada saat tertentu, bahkan dituntut multitasking dan cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
“Salah satu alasan perubahan cara kerja ini adalah perubahan konsumsi media. Konsumsi media saat ini lebih beragam dan terfragmentasi. Masyarakat tidak hanya membaca berita di koran, tetapi juga menonton video di YouTube, melihat foto di Instagram, dan mendengarkan podcast,” jelas Riesta
Dengan suplai konten yang beragam seperti ini, tambahnya, jurnalis dituntut untuk mampu menghasilkan konten multimedia sehingga dapat menjangkau audiens yang lebih luas.
“Teknologi kamera dan editing video semakin mudah diakses dan terjangkau. Bahkan beberapa produk ponsel sudah mampu mendukung kebutuhan ini. Sehingga memungkinkan jurnalis untuk menghasilkan konten multimedia dengan kualitas yang tinggi tanpa membutuhkan banyak peralatan,” imbuhnya.
Alasan lain, persaingan di dunia industri media juga semakin ketat. Jurnalis yang memiliki keterampilan multimedia lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan dan bersaing dengan jurnalis lain.
“Sampai ada sebutan jurnalis multimedia, yakni mereka yang mampu menghasilkan semua jenis konten, termasuk tulisan, foto, dan video. Mereka biasanya bekerja di media online, seperti situs web berita dan stasiun televisi online,” terang Riesta.
Lalu ada reporter video. Reporter video tak hanya meliput atau melaporkan, tetapi bertanggung jawab untuk merekam dan mengedit video berita. Mereka biasanya bekerja di stasiun televisi, tetapi juga dapat bekerja di media online.
“Yang saat ini masih bertahan, ada jurnalisfoto. Fotografer ini bertanggung jawab untuk mengambil foto untuk berita. Mereka biasanya bekerja di koran, majalah, dan media online,” kata Riesta.
Tak kalah penting, lanjut dia, perubahan perilaku jurnalis pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kredibilitas dan nilai jurnalis itu sendiri. Wartawan yang mampu menghasilkan konten multimedia yang menarik dan informatif dapat meningkatkan kredibilitas dan nilai mereka di mata editor dan audiens.
Lalu produk multimedia juga dipercaya membuka peluang baru bagi wartawan untuk berkarir di berbagai bidang, seperti jurnalisme multimedia, podcasting, dan produksi video.
Meskipun tidak semua wartawan harus menjadi ahli multimedia, memiliki pengetahuan dasar dan kemampuan untuk menghasilkan konten multimedia sederhana akan menjadi skill yang penting di masa depan.
Wartawan yang ingin berkembang di dunia jurnalistik yang kompetitif ini perlu beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan media dengan mempelajari skill multimedia.
Adopsi virtual reality
Virtual reality atau VR memiliki potensi besar untuk mengubah cara kita mengonsumsi berita dan informasi. Menurut Riesta, ada beberapa alasan mengapa portal berita perlu mengadopsi VR.
“VR dapat memberikan pengalaman yang lebih imersif dan interaktif dibandingkan dengan media tradisional. Audiens dapat merasakan seolah-olah mereka berada di tempat kejadian dan mengalami peristiwa secara langsung,” terangnya.
Kedua, lanjut dia, VR dapat membantu audiens untuk memahami informasi yang kompleks dengan cara yang lebih mudah dan intuitif. Visualisasi 3D dan interaksi langsung dapat membantu audiens untuk memahami konsep yang abstrak dan kompleks.
VR juga dianggap mampu meningkatkan keterlibatan audiens dan membuat berita menjadi lebih menarik. Audiens yang terlibat lebih mungkin untuk mengingat informasi dan membagikannya dengan orang lain.
“Seperti produk multimedia, VR dapat menarik audiens baru yang mungkin tidak tertarik dengan berita tradisional. VR dapat membuat berita menjadi lebih menarik dan interaktif, sehingga dapat menarik minat audiens yang lebih muda dan beragam,” terang Riesta.
Ia pun memberi contoh penggunaan VR dalam portal berita. Misal, lewat VR, seorang reporter dapat meliput peristiwa berita secara langsung dan memberikan pengalaman imersif kepada audiens. VR juga dapat digunakan untuk membuat film dokumenter yang imersif dan informatif tentang berbagai topik.
“Sebenarnya ini kerap diabaikan. Tapi sekadar mengingatkan, media massa memiliki fungsi edukasi. Nah, VR dapat digunakan untuk membuat konten edukatif yang menarik dan interaktif tentang berbagai topik. Saya pikir ini menarik,” tegasnya.
Tetapi, harus diakui, proses adopsi VR berhadapan dengan banyak hal. “Peralatan VR masih relatif mahal, sehingga dapat menjadi hambatan bagi portal berita kecil. Teknologi VR juga masih berkembang, dan ada beberapa masalah teknis yang perlu diatasi sebelum VR dapat digunakan secara luas,” terangnya.
Saat ini juga masih belum banyak konten VR yang tersedia, sehingga portal berita perlu berinvestasi dalam produksi konten VR.
“VR memiliki potensi besar untuk mengubah cara kita mengonsumsi berita dan informasi. Portal berita yang ingin tetap kompetitif di masa depan perlu mulai mengadopsi VR dan bereksperimen dengan cara-cara baru untuk menggunakannya dalam jurnalisme,” tutup Riesta. (sas)