Jakarta (prapanca.id) – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Rahmat Bagja, mendorong program Social Media 4 Peace yang digagas Unesco agar diperluas hingga tingkat provinsi. Menjelang Pemilihan Kepala Daerah 2024, kampanye kerap disertai ujaran kebencian, hoaks, dan misinformasi, sehingga literasi kepemiluan sangat penting ditingkatkan.
“Untuk meningkatkan literasi kepemiluan, saya kira harus kampanye keliling ke provinsi-provinsi yang ada indikasi potensi kerawanan dalam penyerangan atau kampanye hitam, dan hoaks dalam Pemilihan 2024. Jangka panjangnya semoga di 2029 tidak ada lagi (ujaran kebencian dan hoaks) tapi harus ada usaha bersama dari seluruh stakeholder termasuk Unesco,” ujar Bagja dalam wawancara penelitian evaluasi Social Media 4 Peace melalui virtual, Jumat (2/8/2024).
Bagja menegaskan bahwa memerangi ujaran kebencian dan hoaks harus dilakukan oleh seluruh pihak, termasuk pemerintah, penyelenggara pemilu, organisasi kemasyarakatan, dan akademisi. Seluruh pihak harus bersama-sama memperbaiki literasi kepemiluan serta menyuarakan kampanye pemilihan di media sosial tidak boleh didasarkan pada politisasi SARA dan hoaks.
“Ini tidak bisa dilakukan secara terpisah atau terputus. Harus dilakukan secara berkelanjutan, harus ada road mapnya untuk menyamakan perspektif,” jelas alumnus Utrecht University itu.
Bagja juga menilai proyek Social Media 4 Peace mampu membuka paradigma para stakeholder kepemiluan, termasuk penyelenggara pemilu, untuk bisa menjalin komunikasi lebih intensif dengan platform media sosial di Indonesia. Upaya ini sangat penting untuk menyamakan perspektif dalam memahami kampanye yang sehat, tidak dipenuhi oleh fitnah, hoaks, dan kampanye hitam serta kesamaan perspektif peserta pemilu terhadap imbas dari kampanye negatif dan misinformasi.
“Kalau kemudian terjalin kerja sama yang baik antara penyelenggara pemilu, NGO, akademisi dalam menghadapi masalah pemilu tentu kita dapat mengurangi dampak negatif penyelenggaraan pemilu. Apa dampak negatifnya? Pemilihan yang tidak didasari oleh track record, prestasi kerja, kinerja tetapi didasari oleh sentimen negatif. Kalau ini dilanjutkan kita berharap akan ada kemudian kesadaran bersama bahwa kampanye itu harus dengan melihat program kerja, riwayat kandidat, serta tidak menyerang berdasarkan suku, agama, dan ras,” papar Bagja.
Bagja menekankan bahwa kesamaan perspektif dalam memerangi ujaran kebencian dan hoaks dalam pemilu sangat penting dilakukan oleh pemerintah, penyelenggara pemilu, organisasi masyarakat, akademisi, serta insan pers. Selain itu, kemauan platform media sosial untuk berkolaborasi juga tak kalah penting.
“Platform media sosial harus mau berkolaborasi dengan hukum atau perspektif Indonesia, bukan dengan perspektif Amerika atau negara lain meski tetap ada tema-tema atau isu yang sama. Yang penting dilakukan ialah berinteraksi dahulu untuk menyamakan persepsi ini, mana yang bisa dicapai, tidak bisa dicapai,” tegasnya.
Lebih lanjut, Bagja mengatakan masyarakat juga harus mulai sadar untuk meningkatkan literasi digital kepemiluan. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan melihat informasi dari pihak yang memiliki otoritas dan melakukan cek fakta. (sas)