Surabaya (prapanca.id) – Sebagai karya seni keberadaan lukisan oleh sebagian kalangan dianggap eksklusif sehingga tidak banyak yang berani berinvestasi karena butuh kapital besar. Apalagi banyak kolektor mengaku mengalami kerugian dan tidak sedikit galeri baru dibuka kemudian tutup.
Untuk mengetahui fenomena yang melingkari blantika lukisan, Freddy Wijaya dari galeri Filadelvia Bersama Rokimdakas berbincang ringan kemudian disajikan dalam format tanya jawab berikut.
Apa yang melatari Anda menggemari kesenian?
Lingkungan. Saya lahir dan berkembang di Bumi Blambangan, Banyuwangi yang atmosfir lingkungannya kental dengan kesenian nyaris seperti Bali. Orang tua saya tinggal di sebuah desa di Rogojampi, mengayomi banyak pekerja, setiap hari saya bergaul dengan mereka sehingga memperoleh banyak pelajaran berharga, baik falsafah, budaya juga kesenian tradisi. Saya juga belajar melukis sehingga saya mengetaui tingkat kesulitannya. Dari situ kecintaan saya tumbuh terhadap lukisan.
Berapa lama Anda berkecimpung?
Sudah tigapuluh lima tahun saya mempelajari lukisan, sampai sekarang pun masih terus belajar, bukan melukis tapi pada sisi lain yang terkait dengan seni rupa yaitu permata dan lukisan melalui galeri Filadelvia
Sudah selama itu masih belum katam?
Banyak yang lebih lama dari saya. Hong Jin dan yang lainnya malah jauh lebih panjang keterlibatan mereka di blantika seni lukis. Dalam mengoleksi, waktu mereka membelinya tidak ada yang mahal, saya yakin itu. Mereka hebat karena bisa mengambil momentum. Menghitung waktu yang tepat, kapan harus membeli, kapan harus mencintai koleksinya sepenuh hati.
Banyak pendapat, bermain lukisan butuh dana besar …
Sebenarnya “main” lukisan nggak ada yang mahal, itu isu doang. Kalau mereka membeli waktu harganya mahal berarti kesalahan dia. Yang benar adalah membeli di saat murah, disimpan, dicintai, di kemudian hari akan mahal.
Bagaimanapun investasi di lukisan itu mahal.
Tidak juga sih. Kalau orang bilang investasi di lukisan itu butuh modal besar, menurut saya itu kesalahan. Bagi kolektor yang paling utama adalah bisa mengambil momentum. Kalau kolektor membeli lukisan di saat harganya mahal, itu namanya kesalahan. Dia kurang jeli, tidak tepat mengambil momentum. Bagi seorang kolektor, momentum itu luar biasa. Di saat lukisan sudah mahal baru dia beli, waaah … ya salah!!
Kesalahannya dimana?
Sebelum mahal kan murah dulu. Tidak mungkin harga lukisan tiba-tiba mahal. Semua lukisan, awalnya murah. Karyanya Affandi, Sudjojono, Hedra Gunawan juga pelukis yang sekarang disebut master, dulu karyanya nggak ada harganya. Jika kita tepat mengambil momentum, kita simpan, kita cintai, keren banget. Masalahnya, banyak kolektor frustasi karena membeli di saat harganya mahal. Beaya perawatannya kan juga harus dihitung karena menyangkut fluktuasi harga?
Harga itu tergantung pada senimannya. Bila senimannya konsisten, memiliki mental bagus, karyanya berkarakteri maka biarin aja. Nanti pada saatnya akan mahal sendiri. Nggak usah dibuat mahal akan mahal sendiri. Katanya, orang melihat karya seni itu dari mata turun ke hati. Kalau sudah jatuh cinta, ngomong berapapun dibayar.
Apa pesan Anda pada kalangan pelukis untuk meyakinkan kolektor agar tidak mengecewakan di kemudian hari?
Pelukis itu harus punya karakter, itu nomor satu itu, karyanya memiliki ciri khas. Jangan terpengaruh kanan, kiri atau pendapat orang lain. Kalau sudah memiliki karakter akan memiliki daya pikat. Misal, lukisannya Mozes Misdi, dia kadang dikecam banyak orang karena produktivitasnya terlampau tinggi, jumlah karyanya terlampau banyak, tapi dia punya karakter, jadi nggak masalah.
Kadang orang melihat lukisannya tidak perlu melihat tanda tangan, tidak melihat dari dekat, dari jauhpun sudah tau kalau itu lukisannya Mozes. Begitu juga dengan lukisannya Affandi, sampai lukisan palsunya pun dikatakan lukisannya Affandi. Itu karena karakternya kuat.
Karakter itu sangat berpengaruh sekali bagi seorang pelukis. Jika corak lukisannya terus berubah kan sulit dikenali. Jadi perlu konsisten dengan mempertahankan karakter. Bentuk goresan, pewarnaan harus terjaga. Pelukis harus banyak belajar dan terus belajar, dan yang paling utama jangan sombong.
Katanya kalau seniman tidak sombong, eksistensinya kurang meyakinkan?
Sombong itu langkah awal dari kehancuran. Kita ini apa sih, apa yang patut disombongkan? Dalam kesemestaan ini kita amat sangat kecil. Di atas langit ada langit, kita ini bukan apa-apa. Makanya, sikap sombong itu proses penguburan diri. Lebih baik rendah hati. Waspadai bahwa sanjungan itu membahayakan. Yang penting konsisten, punya karakter, ya sudah.. Biarlah karya yang mengembangkan diri.
Filadelvia Surabaya ini galeri pertama?
Saya sudah buka tutup galeri di Jakarta. Saya pernah buka di Jl. Fatmawati, Pasar Raya. Itu sudah lama sekali, sekitar tahun 1996.
Belajar dari masa lalu, apa yang perlu diwaspadai agar tidak mengalami kendala?
Saya melakukan buka tutup galeri itu bukan karena putus asa. Saya tidak pernah putus asa di bidang seni. Tutup itu karena keadaan yang tidak memungkinkan. Di saat saya di Jakarta, lukisannya saya bawa ke sana. Ketika saya pindah di Malang, lukisannya saya boyong ke sana. Begitu juga ketika saya pindah ke Surabaya, koleksi saya bawa ke sini. (Rokim Dakas)