Jakarta (prapanca.id) – Keputusan terkait insentif untuk industri telekomunikasi masih menunggu hasil koordinasi lintas kementerian dan lembaga terkait, demikian diungkapkan oleh Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen SDPPI Kemenkominfo), Ismail.
Menanggapi pertanyaan mengenai pembahasan insentif yang diharapkan dapat membantu operator telekomunikasi mengatasi melesunya industri akibat ketidakseimbangan pendapatan dan biaya sewa frekuensi, Ismail menyatakan, “Ini belum kami putuskan karena kami masih butuh koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya seperti Kementerian Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan sebagainya.”
Ismail menjelaskan bahwa laporan kajian mengenai insentif tersebut sudah diselesaikan oleh jajaran Kementerian Komunikasi dan Informatika dan telah diserahkan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi. Namun, koordinasi lebih lanjut dengan pihak terkait diperlukan untuk mengevaluasi dampak insentif terhadap pendapatan negara dan layanan telekomunikasi.
Dalam laporan kajian, dibahas mengenai beberapa jenis insentif yang dapat diberikan kepada penyelenggara telekomunikasi untuk mengurangi beban biaya sewa frekuensi. “Ada dua jenis insentif dalam kajian itu, satu untuk yang eksisting yang sudah membayar sewa frekuensi tahunan, dan satunya untuk yang akan dilelang,” kata Ismail.
Ismail optimistis bahwa aturan terkait insentif untuk industri telekomunikasi dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Harapannya, dengan adanya insentif ini, industri telekomunikasi dapat memperbaiki kondisi bisnisnya dan tetap menyediakan layanan optimal bagi masyarakat Indonesia.
Sebelumnya, pada akhir 2023, pembahasan mengenai insentif untuk industri telekomunikasi menjadi sorotan setelah Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyatakan bahwa industri sedang mengalami penurunan.
Wakil Ketua ATSI, Merza Fachys, dalam forum diskusi, menyebutkan bahwa pendapatan industri operator seluler hanya tumbuh sekitar 5,6 persen secara rata-rata dari 2013 hingga 2022, sementara biaya regulatory charge, terutama dari biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, tumbuh sekitar 12 persen. Kondisi ini dianggap menyebabkan ketidakseimbangan antara pertumbuhan pendapatan dan biaya yang harus dibayarkan oleh pelaku industri telekomunikasi. (sas)