Surabaya (prapanca.id) – Siapa bilang wanita makhluk lemah? Secara fisik mungkin iya, jika dibandingkan dengan lelaki. Tapi secara mental, bisa jadi wanita jauh lebih kuat. Apalagi jika ia seorang Single Parent. Misalnya karena suatu kejadian, ia harus menjadi ibu dan ayah sekaligus. Harus mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.
Ida Noershanty Nicholas adalah seorang Single Parent. Pada tahun 2009, ia harus menghadapi kenyataan sangat pahit saat suami yang sangat dicintainya, meninggal dunia. Sang suami, Eko Budi Prasetyo (alm.), adalah rekan sesama wartawan yang bekerja di Harian Memorandum dan sempat pula menjadi anggota DPRD Kabupaten Malang (2004 – 2009).
Ditinggal untuk selama-lamanya dengan dua anak yang masih kecil-kecil, mau tidak mau Shanty, demikian nama panggilannya, harus berjibaku untuk masa depannya sendiri dan masa depan anak-anaknya. Dengan gaji sebagai wartawan yang sangat pas-pasan, jika enggan dibilang kecil, ia harus mengatur waktu dan keuangan sedemikian ketat agar anak-anaknya bisa meraih pendidikan tertinggi.
Kerja keras memang tidak menipu hasil. Keprihatinannya bertahun-tahun itu berbuah manis. Kedua anaknya lulus SMA dengan NEM Terbaik se Malang Raya. Dan saat melanjutkan kuliah juga lulus dengan Cumlaude di Universitas Brawijaya Malang. Si sulung bahkan lulus S2 dengan Cumlaude dari Melbourne University Australia. Di tengah pontang-panting bekerja dan mendidik anak-anaknya, ia sendiri berhasil menyelesaikan studi S2 dalam tempo 18 bulan pada tahun 2016.
Maka sangat menarik menyimak perjuangan alumni Stikosa AWS ini dalam meniti karirnya dan mengantar masa depan terbaik untuk anak-anaknya…
Cita-cita sebagai wartawan mendorong perempuan kelahiran Sidoarjo tahun 1964 itu mendaftar di Stikosa AWS pada tahun 1983, mengambil jurusan Jurnalistik. Sambil kuliah, ia mempraktekkan ilmu jurnalistik dengan menulis banyak artikel dan bergabung di Majalah Liberty. Setelah lulus kuliah, ia direkrut Pimpinan Umum Bali Post, Satria Narada (yang juga alumni Stikosa AWS), untuk menjadi wartawan Bali Post perwakilan Surabaya.
Dari Bali Post selanjutnya ia malang melintang di berbagai media, dengan beragam jenis tulisan berita. Setahun kemudian ia bergabung di Mingguan Bola, menulis berita-berita olahraga. Namun hanya bertahan dua tahun. Selanjutnya ia menulis berita-berita ekonomi setelah bergabung di Harian Neraca. Tujuh tahun kemudian ia bergabung di Majalah Agro Indonesia, menulis berita-berita pertanian, perikanan & peternakan.
Pergaulannya dengan para Dosen membuatnya tertarik untuk terjun ke dunia pendidikan. Setelah malang melintang di berbagai media, ia memulai karir baru di bidang pendidikan. Yakni sebagai Dosen LB (tidak tetap) di Universitas KH Abdul Wahah Hasbullah (Uwaha) Jombang.
Hal itu memantik semangatnya untuk melanjutkan studi S2. Kebetulan, almamaternya, Stikosa AWS, merekrutnya sebagai Kepala Divisi Komunikasi. Maka hari-harinya pun dilalui nyaris tanpa libur. Senin, ia mengajar di Unwaha Jombang. Selasa sampai Jumat bekerja di Stikosa AWS Surabaya. Sabtu & Minggu kuliah S2 di Universitas Dr Soetomo Surabaya.
Shanty hanya dua tahun mengabdi di almamaternya. Bersamaan dengan kelulusan studi S2-nya, ia menerima tawaran bergabung sebagai Dosen di Universitas Tribhuwana Tungga Dewi Malang, hingga tahun 2023. Saat ini hanya mengajar di di Unwaha Jombang sambil tetap menulis di beberapa media.
Namun kesibukannya yang amat padat itu tidak abai terhadap pendidikan kedua anaknya. Sejak dini ia menekankan pada anak-anaknya untuk rajin belajar dan membaca. Ia menerapkan disiplin ketat untuk rajin belajar. Selain mendampingi mereka belajar, anak-anaknya juga ia ikutkan les bahasa Inggris sejak SMP. Dan saat SMA, ditambah dengan les bahasa Jerman dan Jepang. Sesibuk apapun kegiatannya, ia selalu memasak dan membawakan bekal makanan untuk anaknya di sekolah.
“Selain lebih higienis, juga lebih irit. Jadi tak perlu bawa uang jajan. Maklumlah, gaji wartawan kan pas-pasan” ujarnya.
Didikan super disiplin itu membawa hasil. Kedua anaknya kuliah tanpa biaya karena mendapat beasiswa prestasi. Begitu pula saat melanjutkan S2, mendapat beasiswa dari Australia Award. Kini kedua anaknya sudah bekerja. Si sulung, Kanyadibya Cendana Prasetyo, SIP,M Dev ST, merupakan
dosen Hubungan Internasional Fisip Universitas Brawijaya Malang. Adiknya, Gemala Cynthara Diva Prasetyo, Diplomat di Kementerian Luar Negeri RI.
Di usia jelang senja, selain mengajar dan menulis, ia juga mengembangkan ketrampilannya membuat kue, terutama cookies & cake, yang ia warisi dari almarhum ibunya. Dari ketrampilannya itu ia banyak mendapat pesanan kue dari teman, kerabat maupun instansi. Anak-anaknya pun juga ikut membantu pasarkan produk ibunya. Ia pun sudah ancang-ancang serius mengembangkan produknya dengan merk dagang Katara, yang ia ambil dari nama dua anaknya. (sas)