Surabaya (prapanca.id) – Memperingati Hari Antikorupsi Sedunia, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengingatkan tentang potensi korupsi dalam pengurusan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) yang berada di bawah koordinasi Kementerian PUPR.
Menurutnya, proses yang memakan waktu panjang dalam pengurusan PBG dan SLF dapat menjadi celah untuk praktik korupsi, khususnya dalam bentuk penyuapan dari pengusaha kepada otoritas terkait.
PBG adalah dasar hukum yang memungkinkan pemilik bangunan untuk memulai konstruksi, sementara SLF menyatakan bahwa bangunan tersebut aman untuk digunakan. Kedua persetujuan tersebut memiliki peran penting dalam memastikan investasi bangunan yang legal dan aman.
LaNyalla menjelaskan, “PBG dan SLF ini tidak hanya menyasar gedung bertingkat, tetapi juga gudang dan perumahan. Para pelaku usaha mengeluhkan lamanya proses pengurusan PBG dan SLF, sehingga mereka seringkali memilih menggunakan jasa konsultan dengan biaya tinggi untuk mempercepat proses, dan ini membuka potensi penyuapan.”
Dalam konteks ini, Ketua Dewan Penasehat KADIN Jawa Timur mengungkapkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah mengamati masalah lamanya waktu dan variasi biaya konsultan dalam pengurusan PBG dan SLF, yang dapat menyebabkan potensi tindak korupsi.
“Ilustrasi terbesar dari permasalahan ini adalah melibatkan Tim Profesi Ahli (TPA), yang jumlahnya terbatas di Indonesia. Beberapa provinsi bahkan tidak memiliki TPA karena organisasinya tidak ada. Tidak semua provinsi memiliki Perhimpunan Ahli Pengkaji Teknis Indonesia (PAPTI) yang eksisting,” ungkap LaNyalla.
Dengan demikian, LaNyalla menegaskan bahwa Kementerian PUPR perlu memberikan perhatian serius terhadap masalah ini, terutama dalam upaya meningkatkan peringkat Ease of Doing Business (EoDB). Ia menyarankan adanya langkah-langkah konkret untuk mempercepat proses pengurusan PBG dan SLF, termasuk penetapan biaya yang terjangkau dan disesuaikan dengan iklim usaha yang baru pulih pasca pandemi.
“Sistem IT yang lebih terintegrasi dan memudahkan juga perlu dipertimbangkan agar para pelaku usaha tidak lagi terpaksa membayar konsultan. Kita berharap Kementerian PUPR segera menentukan keseragaman dalam Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria, serta keseragaman biaya yang mengacu pada indeks ekonomi masing-masing Kabupaten/Kota,” tambahnya.
LaNyalla menyimpulkan, “Saya hanya berharap agar regulasi tidak menghambat dan memperlambat proses, yang akhirnya bisa menjadi tempat untuk tindak pidana penyuapan dan meningkatkan biaya bagi pelaku usaha yang sedang pulih pasca pandemi. Hal ini tidak hanya merugikan, tetapi juga dapat melemahkan skor kemudahan investasi di Indonesia.” (sas)