Pergeseran lanskap politik pada Pemilu 2024 mendorong pergeseran minat pemilih terhadap isu-isu politik dan karakteristik kepemimpinan yang diharapkan. Jika selama ini jargon merakyat dan sederhana kerap mewarnai ruang-ruang kampanye, tampaknya generasi muda memiliki diskursus yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada sekitar 1.200 responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia ini menunjukkan adanya harapan pemilih muda terhadap karakteristik pemimpin jujur dan antikorupsi.
Jujur dan antikorupsi dapat diasumsikan sebagai karakteristik kepemimpinan yang terukur dan dapat dievaluasi melalui indikator-indikator ketercapaian. Berbeda dengan karakter merakyat dan sederhana yang lebih bersifat abstrak dan sulit untuk diketahui ukuran ketercapaiannya.
Merujuk data CSIS, pemilih muda yang tertarik pada karakter calon pemimpin jujur dan antikorupsi berada pada angka 34,8 persen. Sementara itu, ketertarikan pemilih muda pada karakter pemimpin yang merakyat dan sederhana hanya di angka 15,9 persen. Selain itu juga terjadi peningkatan kebutuhan terkait pemimpin yang berpengalaman, yaitu naik dari 8,7 persen pada 2019 menjadi 16,8 persen pada 2022.
Pergeseran tersebut diasumsikan terjadi karena meningkatnya ketertarikan anak muda terhadap isu-isu korupsi dan kebutuhan untuk mengedepankan agenda-agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi ke depan.
Selain itu juga terjadi peningkatan kebutuhan terkait pemimpin yang berpengalaman, yaitu naik dari 8,7 persen pada 2019 menjadi 16,8 persen pada 2022.
Survei ini juga merekam sejumlah kompetensi pemimpin yang diharapkan. Lima kompetensi utama yang diinginkan oleh pemilih muda, di antaranya: kemampuan untuk melakukan perubahan (28,7 persen), kemampuan memimpin di saat krisis (21 persen), dan kemampuan membuat kebijakan yang inovatif (14,8 persen), kemampuan mengelola anggaran yang tepat (12,2 persen), serta kemampuan memutuskan kebijakan dengan cepat (7,3 persen).
Pada aspek isu strategis, sebagian besar pemilih muda melihat isu ekonomi dan korupsi masih menjadi isu politik penting yang menarik minat mereka.
Sebanyak 44,4 persen responden menaruh perhatian pada aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat. Isu ekonomi lainnya berkait dengan akses terhadap lapangan kerja.
Hal tersebut menjadi penting mengingat sebesar 15,4 persen responden mengaku tidak bekerja saat survei dilakukan. Isu lainnya adalah terkait pemberantasan korupsi sebesar 15,9 persen, demokrasi dan kebebasan sipil (8,8 persen), kesehatan (6,2 persen) dan lingkungan hidup (2,3 persen).
Pemilih Muda dan Partisipasi Politik Dalam Pemilu
Generasi muda kerap kali dipahami sebagai kelompok yang apatis terhadap isu-isu politik. Pandangan ini perlu diuji lebih dalam mengingat bonus demografi yang sedang dialami Indonesia diakui atau tidak akan turut memberi warna dalam dunia politik nasional. Survei CSIS menemukan adanya harapan untuk bisa mendorong keterlibatan aktif generasi muda dalam aktivitas politik beberapa tahun ke depan.
Temuan tersebut mencatat setidaknya dua gambaran utama. Pertama, dalam kadar yang paling minimal, partisipasi pemilih muda tergolong tinggi dalam pemilihan umum. Kedua, terdapat sekelompok generasi muda yang memiliki tingkat ketertarikan tinggi dalam politik dan memerlukan akomodasi partai politik untuk bisa terlibat lebih jauh.
Dalam bentuk partisipasi yang paling sederhana melalui kotak suara, angka partisipasi pemilih dari responden pemilih muda dalam survei tersebut menunjukkan angka yang relatif tinggi. Sebanyak 85,9 persen mengaku ikut serta memilih dalam pemilu 2014.
Angka tersebut meningkat di tahun 2019 menjadi 91,3 persen sesuai tangkapan survei. Apabila dibandingkan dengan angka riil partisipasi pemilih KPU secara keseluruhan, angka partisipasi pemilih Pemilu Presiden 2014 dan 2019 ialah sebesar 69,6 persen dan 81,9 persen.
Sedangkan untuk Pemilu Legislatif angkanya ada di 75,11 persen dan 81,69 persen. Dengan demikian bisa dikatakan partisipasi politik untuk memilih di antara pemilih muda memiliki potensi untuk menjadi penggerak utama partisipasi pemilih dalam pemilu, terutama ketika jumlah mereka semakin dominan.***