Jakarta (prapanca.id) – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) akan meluncurkan film hitam putih hasil restorasi berjudul Dr. Samsi, produksi tahun 1952. Film karya Ratna Asmara, sutradara perempuan pertama di Ind
onesia.Film tersebut merupakan salah satu dari beberapa film berformat seluloid 35mm yang terdapat dalam koleksi Sinematek Indonesia. Namun film ini kondisinya nyaris punah dan tidak lengkap. Maka dilakukan restorasi dari format seluloid yang kuno ke format digital yang lebih modern.
Dalam rilisnya tertanggal 15/12/2023, Direktur Perfilman, Musik & Media Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra mengatakan, restorasi dan peluncuran kembali film Dr. Samsi akan menambah kekayaan arsip dan menyelamatkan materi yang mencerminkan kejayaan sinema nasional.
Ia menekankan bahwa pengarsipan dan restorasi film ini adalah bagian dari upaya Kementerian untuk menghargai peran sutradara dan karya-karya mereka dalam membangun industri perfilman di Indonesia.
“Kegiatan pengarsipan dan penyelamatan film-film kolosal yang pernah berjaya sudah dilakukan sejak tahun 2019 melalui pendataan dan pemetaan judul sinema dengan materi pita seluloid di seluruh Indonesia,” ujar Mahendra.
Setelah pendataan dan pemetaan, film-film yang memenuhi kriteria diarsipkan dan diselamatkan melalui proses restorasi. Hingga saat ini, Kemdikbudristek telah berhasil merestorasi empat judul film, antara lain “Darah dan Doa” (produksi tahun 1950) produksi karya Usmar Ismail, “Pagar Kawat Berduri” (1961) karya Asrul Sani, “Bintang Ketjil” (1963) karya Wim Umboh dan Misbach Yusa Biran, serta “Kereta Api Terakhir” (1981) karya Mochtar Soemodimedjo.
Film Dr. Samsi bercerita mengenai perjalanan emosional seorang dokter bernama Samsi yang merawat anak hasil hubungan gelapnya dengan seorang perempuan bernama Sukaesih. Anak tersebut diberi nama Sugiat dan lantas makin tumbuh besar. Sugiat tumbuh dewasa dan menjadi pengacara tanpa mengetahui kebenaran ibu kandungnya. Saat Sugiat pulang ke Indonesia dari sekolah hukum di luar negeri, ia harus menangani kasus Sukaesih yang dituduh membunuh suaminya sendiri bernama Leo.
“Film yang diproduksi tahun 1952 ini menjadi penanda penting perkembangan industri sineas Indonesia yang tetap relevan hingga kini. Dari film ini memberikan inspirasi ke pegiat sinema sekarang untuk menjelajahi tema-tema universal menggugah hati,” tambah Mahendra.
Ratna Asmara (1913-1968) dikenal sebagai seorang sutradara perempuan pertama di Indonesia dan perempuan berbakat yang kerap membawa nuansa eksploratif ke setiap adegan karya ciptaannya. Dirinya juga cukup sering melibatkan alur cerita dengan visual yang indah serta narasi yang kaya. Setiap karya Ratna Asmara tidak hanya mencerminkan kepiawaian dalam pengarahan, tetapi juga menyajikan warisan budaya yang kaya dalam sejarah perfilman Indonesia.(*)