Surabaya (prapanca.id) – Teman-teman aktivis Herman Bimo, Cokro Bergerak, dan Rumah ABG menyelenggarakan acara refleksi akhir tahun di Studio Aminoto, Jalan Rungkut Menanggal, Rungkut, Surabaya pada Sabtu (30/12/2023).
Acara yang menyoroti isu kasus pelanggaran HAM Berat tahun 1998 dan upaya penyelesaiannya ini dihadiri puluhan peserta dan dua narasumber utama, yakni Andri Arianto, anggota Dewan Kehormatan KontraS, dan Dandik Katjasungkana, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) Jawa Timur.
Dalam diskusi tersebut, Dandik Katjasungkana, yang akrab dengan Herman Hendrawan dan Bima Petrus Anugrah, aktivis ’98 dari Universitas Airlangga yang hingga kini belum ditemukan, menyampaikan keprihatinan bahwa Presiden Joko Widodo tidak menunjukkan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ini.
Menurutnya, isu ini hanya dianggap sebagai alat politik oleh elit-elit yang sedang berkuasa, terutama yang terlibat dalam persaingan Pemilu 2024. Dandik mengkhawatirkan bahwa kasus pelanggaran HAM Berat terhadap para aktivis ’98 sulit mendapatkan kejelasan, dan keadilan bagi korban serta keluarganya tidak kunjung terwujud.
“Ini perkembangan yang mengkhawatirkan. Isu ini berkaitan dengan memberikan keadilan kepada para korban, tetapi tampaknya tidak ada rasa sensitivitas dari pihak yang berwenang untuk melakukannya,” tambahnya.
Dandik juga menyoroti ketidakpatuhan pemerintah terhadap rekomendasi DPR-RI sejak tahun 2009. Rekomendasi tersebut mencakup pembentukan pengadilan HAM ad-hoc, pembentukan tim pencarian korban yang masih hilang, pemberian kompensasi dan rehabilitasi kepada keluarga korban, serta meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa. Namun, dari era SBY hingga Jokowi, rekomendasi tersebut belum pernah diindahkan.
Dandik berharap agar pemerintahan selanjutnya dapat segera melaksanakan rekomendasi tersebut, mengingat sudah 14 tahun terbengkalai. “Ini dapat menjadi panduan legitimasi bagi pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, khususnya penculikan aktivis ’98,” pungkasnya.
Sementara itu, Andri Arianto mengakui rasa putus asa melihat minimnya upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, terutama yang menimpa aktivis ’98, baik oleh pemerintah yang masih berkuasa maupun yang akan datang.
“Saya hampir putus asa melihat penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat hari ini. Ini tidak menjadi fokus dalam pilpres, bukan menjadi perhatian utama mereka. Bahkan ada calon presiden yang menyatakan bahwa kasus ini hanya relevan setiap lima tahun sekali,” ujarnya.
Andri, seorang sosiolog dari Universitas Negeri Sunan Ampel, juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kemungkinan pemerintah yang akan datang tidak memberikan perhatian serius terhadap HAM sebagai hak dasar setiap individu.
“Hak sipil dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya terancam. Kebebasan berpikir dan berpendapat juga terancam. Banyak peraturan yang belum diaktualisasikan, seperti yang dialami oleh Butet Kertaradjasa,” tandasnya.
Sementara M. Zurqoni, Ketua IKA Stikosa AWS sekaligus pendiri Rumah ABG, mengatakan jika diskusi ini jadi langkah penting untuk memahami persoalan yang terjadi pada 1998.
Pemandu sekaligus inisiator diskusi ini menyebut, tak ada kasus pelanggaran HAM yang berhak untuk ditutupi. “Jika kita ingin melangkah tanpa beban, kita bisa mulai dari kejujuran. Agar ke depan bisa lebih baik, agar jaminan dan hak asasi atas kemanusiaan benar-benar nyata, bukan retorika semata,” tegasnya. (agu)