Surabaya (prapanca.id) – Digital Public Relations (DPR) adalah fase baru dari dunia PR. Dalam aktivitasnya, DPR melibatkan platform media terkini untuk membangun brand, persepsi, bahkan citra di mata publik.
“Pengembangan peminatan Digital Public Relations diharapkan mampu untuk memenuhi dinamika dunia industri saat ini yang mulai bergeser menuju pada era digitalisasi media,” ungkap Ratna Puspita Sari, M.Med.Kom., Wakil Ketua Stikosa AWS, Rabu (14/8/2024).
Pipit, panggilan akrab dosen public relations ini mengatakan, DPR adalah sebuah strategi komunikasi yang memanfaatkan platform digital untuk membangun dan memelihara hubungan yang baik antara sebuah organisasi (perusahaan, lembaga, individu) dengan publiknya.
“Sederhananya, DPR adalah cara modern untuk melakukan hubungan masyarakat dengan memanfaatkan teknologi digital,” ujarnya.
Lantas apa perbedaan DPR dengan Public Relations (PR) tradisional? “Jika PR tradisional lebih banyak berfokus pada media massa konvensional seperti surat kabar, televisi, dan radio, maka DPR lebih menitikberatkan pada platform digital,” jelasnya.
Platform digital yang dimaksud, kata Pipit, meliputi media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, LinkedIn, dan lain-lain. Lalu website dan blog untuk berbagi informasi dan konten, forum online dan komunitas, hingga search engine seperti Google, Bing, dan lain-lain.
Di masa sekarang, Pipit menilai jika DPR menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting. Karena strategi DPR lebih mampu menjawab tantangan jangkauan lebih luas, interaksi yang lebih baik, karena platform digital memungkinkan interaksi dua arah yang lebih mudah dan cepat dengan publik, dan pengukuran yang lebih akurat.
“DPR memungkinkan kita mengukur efektivitas kampanye dengan lebih detail. Dengan data akurat, kita bisa membangun reputasi positif secara online dan mengelola krisis dengan lebih efektif,” terang Pipit.
Dalam prakteknya, divisi DPR di sebuah perusahaan atau lembaga pemerintahan akan serius membuat konten menarik untuk platform digital. Konten ini termasuk artikel blog, infografis, video, dan lain-lain yang relevan dengan audiens.
“Tim DPR juga lihai mengelola media sosial. Membangun komunitas secara online, merespons komentar dan pesan, dan menjalankan kampanye sosial media. Selain itu, tentu saja, juga membuat rilis pers digital, mendistribusikan berita dan informasi kepada media online dan influencer, dan optimalisasi SEO atau Search Engine Optimization,” jelas Pipit lagi.
Tantangan besar dunia public relations, misalnnya crisis management, jadi tantangan tersendiri dunia DPR. Karena tim harus mampu mengelola isu negatif yang muncul di dunia digital dengan langkah dan strategi akurat.
“Jadi lebih spesifik, DPR akan bertanggung jawab meningkatkan brand awareness, membangun kepercayaan, mendorong engagement, hingga memengaruhi opini publik, lewat medai digital,” tegasnya.
Di Stikosa AWS, kata dia, hal-hal ini jadi perhatian lebih. Karena Stikosa AWS tidak hanya mengasah wawasan mahasiswa agar paham dunia DPR, tapi juga mampu mengimplementasikan kegiatan DPR di tempat kerja.
“Menjadi public relations digital yang andal adalah kebutuhan di masa kini dan mendatang. Dan langkah ini jadi mungkin, jika kita memulai dari Kampus Stikosa AWS sebagai pilihan. Karena di Stikosa AWS, mahasiswa diajak untuk mampu menganalisis krisis manajemen PR, menyusun program digital public relations, menyusun program pemasaran digital, dan menguasai teknik public speaking,” terangnya.
Selain itu, di Stikosa AWS, mahasiswa diajak untuk menguasai riset pemasaran media, menyusun program kampanye digital PR, menguasai analisis riset sosial media, dan tentu saja, memahami kode etik PR. *