Surabaya (prapanca.id) – Ada beberapa catatan menarik saat menonton grup ludruk The Luntas Indonesia pentas di area Tugu Pahlawan, Sabtu dan Minggu malam, 11 dan 12 Mei 2024. Pementasan ludruk ini merupakan paket hiburan dari acara Night at The Museum atau kunjungan ke Museum Tugu Pahlawan di malam hari dalam rangkaian acara menyambut HUT kota Surabaya ke-730.
Selama dua malam, pementasan ludruk di dalam area Tugu Pahlawan itu dipenuhi penonton milenial. Mereka duduk lesehan di udara terbuka diatas gelaran terpal yang disediakan panitia. Hari pertama, grup ludruk yang dikomandani Robert Bayonet ini menggelar lakon “Hoedjoeng Galoeh 1293” mengangkat kisah asal muasal nama Surabaya. Hari kedua lakon Jas Ontang-Anting karya Cak Kartolo. Membludaknya jumlah penonton ini belum pernah ditemui dalam pertunjukan grup ludruk konvensional manapun. Penonton juga terpingkal-pingkal dengan guyonan Cak Robert dkk yang dibawakan dengan bahasa Jawa Suroboyo-an.
Sebagai ludruk nom-noman (anak muda), demikian mereka menyebutnya, Cak Robert mengemas pertunjukannya dengan gaya anak muda. Simpel, menghibur tapi pesannya dapat. Tidak menggunakan tobong seperti yang umum dilakukan grup ludruk konvensional, tapi menggunakan teknik multi media. Screen besar yang menjadi back ground panggung itu ia gunakan sebagai media pemutaran video, voice narasi dan sound effect untuk pergantian adegan.
Walaupun ada tari Remo dan kidungan Jula Juli namun tidak ada seperangkat gamelan dan para penabuhnya. Iringan musik menggunakan rekaman atau play back maupun minus one. Durasi pertunjukan berkisar 2 jam. Hal ini berbeda dengan grup ludruk konvensional yang menggunakan seperangkat gamelan, lengkap dengan penabuh gamelan dan sinden (penyanyi). Durasi pentasnya juga panjang, berkisar 7 sampai 9 jam. Biasanya dimulai pukul 8 malam dan berakhir pukul 2 atau 3 dini hari.
Pakem atau urutan babak dalam pertunjukan seni ludruk umumnya adalah Tari Remo sebagai pembuka pertunjukan, dilanjutkan Bedhayan. Adalah tarian ringan dibawakan oleh 15 sampai 20 penari. Di masa dulu, bedhayan ditarikan oleh para Waria (pria yang berperilaku seperti wanita) yang berdandan cantik memakai kebaya dan sanggul. Di masa kini beberapa grup ludruk sudah mengganti para penari Bedhayan dengan wanita asli. Namun beberapa grup masih mempertahankan tradisi tersebut, atau mengkombinasikan antara penari wanita asli dengan waria. Ada kalanya para waria ini jika berdandan kecantikannya melebihi wanita asli.
Setelah pakem Bedhayan dilanjut Kidungan Jula Juli plus Parikan, kemudian Dagelan dan baru masuk ke cerita inti.
Cak Robert meniadakan pakem Bedhayan tersebut, dan langsung masuk ke cerita setelah Kidungan dan Dagelan. Mengenai hal ini pria gondrong tersebut beralasan bahwa sasaran penontonnya adalah anak muda. Maka pertunjukan dibuat simpel tanpa menghilangkan unsur yang harus ada di pakem ludruk, yakni Tari Remo dan kidungan. Ia sempat merasa prihatin karena banyak anak-anak muda Surabaya yang tidak mengenal Ludruk.
“Ludruk terancam punah, maka harus dikemas sesuai selera anak muda agar mereka mengenal dan menyukai ludruk” ujarnya.
Motivasinya yang besar dalam memperkenalkan ludruk di kalangan anak muda ia tunjukkan dengan menggelar pentas ludruk di beberapa cafe maupun masuk keluar kampung. Pada perayaan kemerdekaan RI tahun 2023 lalu, grup ludruknya pentas keliling di beberapa kampung dan mendapat sambutan sangat baik dari penonton yang mayoritas anak muda. Grup ludruk yang semula merupakan grup teater ini beranggotakan mayoritas anak muda. Pemilihan nama kelompok juga mencerminkan ludruk yang kekinian.
The Luntas Indonesia adalah fenomena baru dalam perkembangan seni tradisional Ludruk. Bisa jadi konsep seperti ini yang disukai anak muda. Di tengah pro dan kontra mengenai bentuk Ludruk, Cak Robert Bayonet telah berbuat banyak untuk pelestarian seni budaya ikon Surabaya itu.
Walaupun demikian, grup ludruk konvensial masih tetap eksis di Surabaya dan sekitarnya. Beberapa grup bahkan sudah punya jadwal pentas yang padat sampai tiga bulan ke depan. Baik pentas di Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto dan kota sekitarnya. Biasanya pentas hajatan warga dan acara bersih desa selalu menggelar pentas ludruk. Perkembangan sosial media juga ikut membantu kepopuleran grup ludruk. Setiap berpentas, mereka up load pertunjukan ludruk di berbagai platform sosial media, misalnya Youtube, tiktok dan FB. Sehingga info pentas dan kegiatan ludruk selalu ada.
Demikianlah, ludruk akan terus ada dan berkembang sesuai jamannya. Setiap genre ludruk mempunyai segmen penonton masing-masing. Apapun konsep dan gaya pertunjukannya, Ludruk harus dilestarikan dan dikembangkan sebagai ciri khas seni budaya Surabaya. (sas)