Surabaya (prapanca.id) – Isu ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang gencar mengingat urgensinya bagi Indonesia di masa mendatang. Terdapat fakta mengejutkan yang mungkin belum banyak orang tahu bahwa Indonesia kini sedang berhadapan dengan sebuah paradoks terkait pangan sedangkan di sisi lainnya, Indonesia juga berupaya menjamin ketahanan pangan untuk mengantisipasi kemarau panjang.
Berdasarkan laporan dari Barilla Center for Food & Nutrition, nilai indeks Indonesia terhadap food loss and waste (limbah dan susut pangan) termasuk dalam kategori buruk.
Dilansir dari laporan yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang dirilis pada tahun 202 dari 23 hingga 48 juta ton makanan terbuang sia-sia setiap tahunnya. Dampaknya tidak hanya terasa di ranah lingkungan, tetapi juga secara ekonomi dengan kerugian mencapai Rp 213 hingga 551 triliun per tahun.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh databooks yang berasal dari laporan Bappenas (2012) bersama dengan Waste4Change dan World Resource Institute. Di era modern yang dipenuhi kemajuan teknologi dan produksi pangan yang melimpah, muncul paradoks yang mengejutkan: “makanan berlimpah namun sering terabaikan”.
Kontribusi besar terbuangnya makanan berasal dari hotel, restoran, catering, supermarket, dan perilaku masyarakat yang gemar menyisakan makanannya. Hasil riset Aksamala foundation pada 2016 menunjukkan 35 persen restoran di Jakarta membuang kelebihan makanan yang tidak terjual di penghujung hari dengan rata-rata 2-3 kilogram per hari per restoran.
Meskipun teknologi dan inovasi telah memungkinkan produksi pangan mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, namun tantangan penanganan surplus makanan tetap menjadi fokus utama.
Dalam konteks ini, Bappenas menyoroti perlunya kebijakan yang lebih terarah dan implementasi praktik berkelanjutan di setiap tahap produksi dan konsumsi. Upaya kolektif dari pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat dapat menjadi kunci dalam mengatasi tantangan ini.
Dilansir dari Surabaya.go.id, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya mencatat volume sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir Benowo (TPA) Benowo sekitar 1.600 ton per hari. Dari volume sampah tersebut, 60 persen didominasi oleh organik.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya, Agus Hebi Djuniantoro menyebutkan, bahwa 60 persen sampah yang masuk ke TPA Benowo merupakan organik. Sementara sisanya adalah sampah jenis anorganik. “Jadi sampah organiknya sekitar 60 persen dari data-data kami. Yang banyak organik, seperti dari sisa makanan dan sayur,” kata Agus Hebi Djuniantoro, Kamis (6/7/2023).
Seiring dengan urgensi sampah makanan di Indonesia, organisasi lingkungan dan lembaga kemanusiaan juga turut ambil bagian dalam mencari solusi seperti Garda Pangan. Garda Pangan telah melakukan kerja sama dengan mitra-mitra dari kalangan restoran, hotel, bakery, cafe, rumah makan, katering, dan industri makanan lainnya.
Food rescue dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan menjemput makanan yang tidak terjual dari mitra kemudian didistribusikan kepada masyarakat prasejahtera.
Garda Pangan menerapkan Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat untuk memastikan makanan ditangani secara aman dan higienis. SOP disebut juga dengan metode organoleptik, yaitu metode yang menggunakan indera manusia untuk mengukur kelayakan makanan berlebih yang diperoleh.
Tidak hanya turun langsung melakukan upaya-upaya penyelamatan makanan, relawan harian juga turut aktif menyebarkan kesadaran untuk mengurangi sampah makanan kepada masyarakat lewat kampanye-kampanye kreatif di media sosial atau di Car Free Day (CFD).
Dari hasil survey yang dilakukan oleh Garda Pangan pada 321 responden yang tersebar di 31 kecamatan di kota Surabaya, diperoleh fakta bahwa masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tindakan-tindakan praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk berkontribusi mengurangi sampah makanan.
Harapannya masalah makanan surplus yang terabaikan ini dapat diatasi dengan melibatkan pihak terkait mulai dari masyarakat dan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Adanya potensi besar dalam menjaga keberlanjutan pangan di masa depan.
Kondisi ini juga menimbulkan pertanyaan kritis mengenai ketidaksetaraan akses terhadap pangan, di sisi lain sebagian besar masyarakat mengalami kelebihan, masih ada yang masyarakat yang mengalami kesulitan mendapatkan nutrisi yang cukup. Pergeseran paradigma dari pemborosan menuju distribusi yang adil dan berkelanjutan menjadi tantangan yang tidak dapat diabaikan. (Adriel Saiya)