Surabaya (prapanca.id) – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) menegaskan komitmen penuh untuk mendukung penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang aman dan kondusif.
Hal ini disampaikan dalam ikrar bersama melalui Deklarasi Pemilu Damai 2024 di Halaman Balai Kota Surabaya pada Kamis (23/11/2023).
Deklarasi yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Surabaya melibatkan partai politik dan dihadiri oleh 93 anggota Panwaslu Kecamatan se-Kota Surabaya. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi memastikan bahwa Pemkot Surabaya dan Forkopimda siap mendukung agar Pemilu di Kota Surabaya berlangsung dengan damai dan kondusif.
Wali Kota Eri Cahyadi menyatakan dukungan penuh Pemkot Surabaya terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024. Selain itu, ia menegaskan bahwa Surat Edaran (SE) telah dikeluarkan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) agar tetap netral di tahun politik dan menjelang Pemilu 2024.
“Kami sudah mengeluarkan surat dan aturan untuk seluruh ASN agar selalu netral. Dan menyampaikan serta mengajak seluruhnya untuk melakukan Pemilu Damai,” ujar Wali Kota Eri Cahyadi.
Wali Kota Eri juga mengajak seluruh elemen di Kota Pahlawan untuk tetap menjaga tali silaturahmi dan gotong-royong di tengah perbedaan pandangan politik. Ia menekankan bahwa meskipun perbedaan pandangan politik adalah keindahan, tetapi perlu dihindari fitnah dan sikap saling menyakiti.
“Kita selalu mengatakan jangan saling fitnah dan jangan saling menjatuhkan. Perbedaan pandangan itu adalah sebuah keindahan,” ungkapnya.
Muhammad Agil Akbar, Ketua Bawaslu Kota Surabaya, menjelaskan tiga poin penting dalam Deklarasi Pemilu Damai 2024. Pertama, bekerja sama dalam mencegah pelanggaran Pemilu. Kedua, menjaga kondusifitas pelaksanaan Pemilu. Dan ketiga, bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan Pemilu.
“Kita butuh dukungan, yang namanya Pemilu butuh kolaborasi banyak pihak,” kata Agil Akbar.
Dalam deklarasi, Agil menyoroti tiga isu krusial yang telah dirumuskan bersama, terkait hoax dan hate speech, netralitas ASN, serta politisasi SARA dan politik identitas. Tujuannya adalah menyamakan persepsi dan menekankan bahwa pelanggaran Pemilu harus merujuk pada Undang-undang Pemilu.
“Kita fokus kembali bahwa urusan Pemilu, pelanggarannya adalah Undang-undang Pemilu,” tegasnya. (din)