Saya beruntung mengalami dan terlibat aktif dalam tiga periode masa perkembangan teknologi media pers. Di usia kepala enam ini, tidak banyak teman-teman se-angkatan saya yang masih bergerak aktif di bidang media. Sebagan besar memilih alih profesi: berbisnis, menjadi dosen atau pejabat publik, aktifis partai atau sekedar momong cucu.
Periode pertama adalah masa kejayaan media cetak. Tahun 1984, saat saya memulai karir sebagai wartawan di majalah berbahasa Jawa “Penyebar Semangat”, sambil kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (sekarang Stikosa-AWS). Pada masa itu, harian sore “Surabaya Post” adalah harian terbesar di Jawa Timur, sebelum Eric Samola (alm) Dirut majalah “Tempo” pada tahun 1982 mengakuisisi harian pagi “Jawa Pos”, yang kemudian berkembang sangat pesat di tangan Dahlan Iskan, yang sebelumnya adalah Kabiro Tempo di Surabaya. Menjadi kebanggaan tersendiri jika bisa diterima sebagai wartawan di dua surat kabar tersebut. Setidaknya bagi kami, yang saat itu masih kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS).
Namun saya memilih jalur sendiri, dengan bergabung di majalah berbahasa Jawa “Penyebar Semangat”. Dan puluhan tahun kemudian, saya menyadari bahwa pilihan saya tepat. Pertama, saya bisa menulis karya jurnalistik maupun karya sastra dengan menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Kedua, saya mendapat gambaran proses media cetak “jadul”, sebelum era 70-an, yang seluruhnya dikerjakan secara manual atau konvensional. Padahal di akhir tahun 80-an itu, komputer sudah mulai digunakan oleh surat kabar yang bertiras besar, termasuk di harian Surabaya Post dan Jawa Pos.
Memang, menurut sejarahnya, dikutip dari situs Bakti Kominfo, sejarah perkembangan Komputer di Indonesia sudah dimulai tahun 60-an. Pada tahun 1967 komputer mulai merambah tanah air dengan melalui izin pemerintah. Namun surat kabar Indonesia mulai menggunakan komputer secara luas sejak akhir 1980-an dan awal 1990-an. Penggunaan teknologi komputer memungkinkan proses produksi surat kabar menjadi lebih efisien dan cepat. Mulai dari penulisan dan penyuntingan artikel, tata letak halaman (lay out), hingga pencetakan dan distribusi. Hal ini membantu meningkatkan produktivitas, mempercepat proses produksi, dan memungkinkan penyediaan konten yang lebih cepat kepada pembaca.
Bahkan pada tahun 1988, harian “Jawa Pos” mengawali teknologi cetak jarak jauh, yang memungkinkan surat kabar ini diterima lebih pagi dan lebih cepat diterima oleh pembaca. Disusul beberapa tahun kemudian Harian “Kompas” juga menggunakan teknologi yang sama. Di sisi lain, banyak bermunculan media cetak baru, mulai dari surat kabar dan majalah, berbagai genre dan tampilan yang lux, full colour. Era tahun 80-90’an adalah puncak keemasan penerbitan media cetak.
Namun penggunaan teknologi komputer ini belum berlaku di Majalah berbahasa Jawa pada umumnya, khususnya di majalah “Penyebar Semangat”. Setidaknya sampai saya resign pada tahun 1993, majalah ini masih menggunakan cara konvensional alias jadul.
Setiap naskah berita atau artikel dari wartawan maupun penulis dari berbagai daerah dikirim ke redaksi melalui pos, berbentuk naskah cetak dilengkapi beberapa foto. Namun tidak sedikit para penulis daerah yang menggunakan tulisan tangan. Naskah tersebut dikoreksi oleh tim redaksi. Banyak coretan disana-sini dibubuhi tambahan tulisan revisi oleh redaksi dengan tulisan tangan. Kemudian naskah final tersebut dikirim ke bagian setter, untuk diketik ulang menggunakan mesin setter (mesin ketik elektrik) diatas kertas kalkir, dengan format kolom majalah.
Seorang petugas Korektor naskah akan memeriksa hasil ketikan juru ketik, dicocokkan dengan naskah final aslinya. Jika ada kesalahan kata (typo), maka petugas korektor akan menggantinya dengan kata yang benar. Yaitu dengan melubangi kata yang salah cetak tersebut dengan pisau cutter dan menggantinya dengan kata yang benar, dan direkatkan menggunakan selotipe. Walaupun sekilas kelihatan remeh, namun pekerjaan ini membutuhkan ketelitian dan pemahaman bahasa Jawa yang baik.
Kemudian lembaran-lembaran kertas kalkir yang sudah tercetak hasil ketikan format kolom majalah tersebut dikirim ke bagian lay out untuk ditata sesuai peruntukan halaman. Dengan peralatan gunting dan selotipe, petugas lay out akan menata satu persatu lembaran kertas kalkir tersebut. Sedangkan untuk foto-foto diproses terlebih dahulu menjadi film negatif, kemudian ditata sekalian oleh petugas lay-out sebagai ilustrasi tulisan. Setelah kuota naskah untuk satu edisi penerbitan terpenuhi, hasil lay-out itu dikirim ke ruang laboratorium foto untuk dicetak diatas plat aluminium seukuran satu halaman surat kabar. Dari plat aluminium itu kemudian dimasukkan ke mesin cetak offset, menghasilkan ribuan lembaran koran.
Sampul majalah dicetak tersendiri karena menggunakan bahan kertas yang berbeda, full colour dan kualitas yang lebih bagus. Untuk cetak foto sampul berwarna, menggunakan teknik separasi (teknik pemisahan warna). Karena belum mempunyai peralatan mesin separasi, maka khusus untuk separasi foto berwarna, biasanya dikerjakan oleh studio film di kawasan Blauran Surabaya.
Sebelum tahun 1995, majalah “Penyebar Semangat” belum menggunakan komputer. Seluruh staf Redaksi dan Tata Usaha menggunakan mesin ketik manual. Bahkan ada beberapa mesin ketik kuno buatan tahun 50-an yang masih digunakan, bahkan mungkin lebih lama. Ukuran mesin ketik itu sangat besar, kokoh dan berat. Saya mengatakan mesin ketik kuno ini anti maling, sebab sangat berat jika diangkat seorang diri. Jika digunakan, menimbulkan suara riuh. Jedag-jedog….seolah menggetarkan tembok. Walaupun demikian, teman redaksi yang menggunakannya tampak enjoy, menggunakan mesin ketik kuno itu selama bertahun-tahun.
Apakah dengan ketertinggalan teknologi tersebut majalah “Penyebar Semangat” kalah bersaing dengan media cetak lain yang sudah menggunakan komputer ? Sama sekali tidak. Bahkan di saat media cetak lain berguguran dan gulung tikar terkena imbas digitalisasi, majalah berbahasa Jawa itu tetap eksis sampai sekarang dan masih rutin mengunjungi pembacanya setiap minggu, tanpa sekalipun absen.
Periode Kedua : Kejayaan Media Elektronika
Periode kedua adalah masa kejayaan media elektronika. Justru baru saya alami pada tahun 1993, saat saya bergabung di media televisi swasta nasional, SCTV, yang waktu itu masih berkantor pusat di Surabaya. Cukup terengah menyesuaikan diri atau bertransformasi dengan peralatan serba elektronik.
Saat pertama kali masuk kerja sebagai karyawan SCTV dengan job Script Writer (penulis naskah), saya sangat tertegun sekaligus was was, karena mendapati kenyataan bahwa tidak satupun mesin ketik manual tersedia. Seluruh peralatan kantor menggunakan komputer. Padahal saya tidak pernah kursus komputer sebelumnya. Ada satu unit mesin ketik elektronik, tapi saya tidak bisa menggunakannya. Namun, sehubungan job kerja saya sebagai penulis naskah, mau tidak mau harus bisa menggunakan komputer, entah bagaimana caranya.
Untunglah, Tuhan Maha baik. Seorang teman satu departemen, walaupun beda job, dengan telaten dan ikhlas mengajari saya menggunakan komputer. Ia mengajari mulai tingkat dasar, bagaimana cara menyalakan dan mematikan komputer. Kemudian cara menggunakan program basic untuk pengetikan, yakni program WS-5, lalu meningkat WS-7 dan Excell. Bertahun kemudian secara otodidak saya sudah menguasai beberapa aplikasi program, mulai dari Microsoft sampai Canva.
Demikian juga dalam kekaryaan. Saya harus membiasakan diri dan melakukan transformasi total dari format penulisan untuk media cetak menjadi format televisi. Setiap narasi harus memperhitungkan aspek visual. Saya harus membiasakan diri menggunakan istilah yang lazim dipakai dalam program televisi, mulai dari gerak kamera (istilah close up, tilt up/down, panning, zoom, dan sebagainya) sampai pengadeganan. Misalnya, bagaimana menaikkan plot atau alur cerita pada saat menjelang break comersial/siaran iklan agar pemirsa tetap bertahan, tidak beralih ke channel televisi lain. Demikian juga keahlian membuat teaser atau adegan gebrakan di dua menit pertama di awal program agar pemirsa tertarik untuk menonton adegan berikutnya. Fungsi teaser ini mirip fungsi lead berita (kepala berita) dalam penulisan artikel berita untuk media cetak.
Dalam penggunaan bahasa, saya harus menyesuaikan diri dengan style bahasa jurnalistik televisi. Jika sebelumnya, saya cenderung menggunakan kalimat panjang dan agak “nyastra” dalam penulisan artikel di media cetak. Namun dalam bahasa televisi, gaya “nyastra” itu tidak berlaku. Skenario televisi/film bukan karya sastra. Namun petunjuk bagi sutradara, talent dan kru untuk memproduksi konten audio visual.
Faktor lainnya, bahasa televisi dibatasi oleh durasi, bisa dilihat dan didengar. Pemirsa tidak perlu berimajinasi untuk menerima pesan, seperti halnya teks narasi media cetak, yang hanya bisa dibaca. Imajinasi pemirsa sudah diwujudkan melalui visual gambar yang riil. Antara penyiar sebagai penyampai pesan dan pemirsa sebagai penerima pesan seolah seperti sedang berbicara melalui media televisi. Oleh karena itu bahasa yang digunakan adalah bahasa tutur, atau bahasa sehari-hari yang mudah dicerna pemirsa dan tidak menimbulkan penafsiran ganda. Serta menggunakan kalimat-kalimat pendek, tanpa banyak bunga kata.
Demikianlah, selama 24 tahun saya berkutat dalam industri media televisi (17 tahun di televisi nasional dan 7 tahun di televisi lokal). Saya mengalami jaman keemasan media elektronika. Ikut berpacu dalam kompetisi persaingan konten program sesama stasiun televisi. Ikut berdebar membaca hasil perolehan rating yang sangat berpengaruh dalam kinerja sebagai tim creatif dan penulis naskah televisi.
Periode Ketiga : Kejayaan Media Digital
Periode ketiga masa kejayaan media digital baru saya alami sekitar 4 tahunan ini, tahun 2020. Sejak pensiun dari dunia televisi kemudian bergabung di almamater saya, Stikosa-AWS, sebagai staf Tenaga Kependidikan. Dari kampus media inilah saya belajar ilmu baru tentang media digital. Dan saya kembali ke habitat saya semula, sebagai penulis. Baik menulis artikel berita maupun sastra.
Namun situasinya kini sudah berubah drastis. Jika mengirim artikel maupun karya cerita pendek ke berbagai media, saya tidak perlu repot print naskah, lalu mengirim ke alamat redaksi melalui kantor pos. Namun cukup dengan mengirim file naskah dikirim ke alamat email redaksi. Demikian juga saat membutuhkan data tambahan untuk menambah bobot tulisan. Dulu saya melakukannya dengan membaca buku di perpustakaan atau membalik-balik klipping yang rajin saya kumpulkan. Sekarang tinggal cari di google, sudah keluar ribuan data yang kita inginkan. Apalagi dengan teknologi AI (Artificial Inteligence), segalanya jadi makin mudah dan cepat. Tinggal mengetik perintah di ChatGPT, dalam hitungan detik sudah muncul artikel berita utuh siap tayang.
Dalam menulis artikel maupun berita untuk media online, ada perubahan teknik menulis yang cukup mendasar. Dengan jutaan artikel yang campur aduk di mesin pencarian google, seorang penulis/ wartawan dan media saling berlomba agar konten beritanya bisa muncul di halaman pertama mesin pencari dengan menggunakan teknik SEO (Search Engine Optimization). Hal ini membutuhkan keahlian tersendiri untuk membuat keyword (kata kunci) sehingga memudahkan mesin pencari menemukan halaman dan menempatkannya di halaman pertama.
Namun dibalik semua kemudahan tersebut, ada banyak konsekwensi yang harus dihadapi. Masa era digital ini antara lain ditandai dengan banyaknya media cetak yang tumbang, alias berhenti beroperasi, karena tidak mampu lagi bersaing dengan media digital dengan berbagai platform-nya. Biaya operasional yang tinggi tidak sepadan dengan minat masyarakat yang makin menurun dan beralih ke media digital untuk mendapatkan informasi. Jalan terakhir terpaksa menutup usahanya, atau bertransformasi menjadi media online. Imbasnya, terpaksa melakukan PHK terhadap para karyawannya.
Demikian juga media elektronika. Hanya berselang waktu 40 tahunan, sejak siaran televisi pertama kali mengudara di Indonesia pada tahun 1962, televisi dan radio sudah menjadi media usang, bahkan disebut sebagai media konvensional. Walaupun Pemerintah kemudian membuka keran untuk memulai siaran TV Digital dua tahun lalu, namun belum mampu untuk mengangkat kembali pamor media televisi yang pernah berjaya. Bahkan kabar terakhir dari Washington Post menyebutkan tanda-tanda kematian beberapa TV Kabel yang dulu pernah berjaya mendunia, antara lain : ABC News, Fox News, CNN News, Discovery Channel, Cartoon Network, HBO, ESPN dan sebagainya. Kematian itu tentu akan menjalar ke Indonesia. Hanya tinggal masalah waktu saja saluran TV Kabel yang saat ini masih beroperasi di Indonesia akan menutup usahanya. Pahit memang. Tapi itulah realita yang harus dihadapi sebagai imbas dari makin moncernya media digital.
Di Indonesia, menurut hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2023, jumlah pengguna internet mencapai 215,63 juta dari 270 juta penduduk Indonesia. Pengguna platform Tik Tok mencapai 106,5 juta, urutan kedua setelah Amerika Serikat. Pengguna Youtube 139 juta, urutan keempat setelah India, USA dan Brasil. Sedangkan pengguna Instagram 104,8 juta, urutan keempat setelah India, USA dan Brasil. Sementara jumlah penonton televisi Indonesia makin menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan sebesar 3,25% selama periode tiga tahun. Dari 93,21 % penduduk Indonesia pada tahun 2018 menjadi sekitar 89,96% pada tahun 2021.
Ini memang masa sulit bagi industri media massa. Di era digital, media akan menjadi individual media platform, dimana setiap orang bisa menjadi pemilik media. Cukup dengan membuat akun di platform Youtube, Tik Tok maupun Instagram, seseorang bisa memproduksi beragam konten sesuai seleranya, bahkan bisa memproduksi berita. Jika ingin punya siaran radio sendiri, cukup dengan melakukan siaran live yang memang disediakan di Tik Tok. Fenomena live Tik Tok saat ini memang sedang ngetrend. Setiap hari, selama 24 jam, kita bisa menyaksikan siaran live dari para pengguna Tik Tok dengan berbagai konten, mulai dari karaoke sampai omon-omon biasa. Peralatan audio mixer untuk kebutuhan live laku keras di pasaran.
Dengan fenomena baru ini, mau tidak mau setiap pekerja media harus merubah mindset dan melakukan transformasi digital agar tetap bertahan. Tak terkecuali saya yang harus belajar lebih dalam lagi untuk mengenal seluk belum media digital. Walaupun tidak terlalu ahli, namun saya merasa beruntung masih terlibat aktif di periode era digital ini.
Lalu bagaimana dengan transformasi digital yang dlakukan oleh perusahaan media ? Akan saya ceritakan di tulisan selanjutnya. Tunggu ya…. (Sas)