Surabaya (prapanca.id) – Dalam kasus pengaduan Menteri BKPM Bahlil Lahadalia terhadap Majalah Tempo Grup, terkait laporan utama di Majalah Tempo berjudul “Main Upeti Izin Tambang” edisi 4-10 Maret 2024 serta ulasan soal dugaan mafia tambang dalam podcast Bocor Alus Politik yang ditayangkan di YouTube tempo.co., Dewan Pers merekomendasikan agar Tempo sebagai teradu harus melayani Hak Jawab disertai permintaan maaf kepada Menteri Bahlil Lahadalia dan masyarakat pembaca.
Yang menarik, sebenarnya frasa permintaan maaf itu tidak bulat disetujui oleh semua anggota Dewan Pers, yang berjumlah sembilan orang. Dalam Sidang Pleno Dewan Pers dihadiri 7 orang, karena 2 orang tidak hadir di mana salah satunya abstain karena dari Tempo yakni Arif Zulkifli.
Nah, dari 7 orang tersebut, satu-satunya anggota yang menolak frasa minta maaf itu adalah A Sapto Anggoro, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Dewan Pers periode 2022 – 2025. Sapto dalam kasus tersebut dissenting opinion (memiliki pendapat berbeda) yang adalah norma normal dalam hukum.
“Isi liputan Tempo adalah kontrol sosial yang bagus. Jika ada ketidakakuratan kecil ya dikoreksi saja dalam Hak Jawab” tukas pendiri tirto.id tersebut. Meski kalah dalam voting, Sapto di beberapa kesempatan membela rekomendasi PPR (Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi) tersebut sebagai sikap lembaga.
Sikap dissenting Sapto itu menimbulkan simpati sebagian besar wartawan senior, yang menyayangkan rekomendasi Dewan Pers tersebut sebagai langkah mundur yang mengancam kemerdekaan pers. “Sapto dari dulu punya idealisme dan komitmen kuat” ujar Amran Lawowe, jurnalis senior di Surabaya.
Sikap Sapto itu juga menambah kebanggaan almamaternya, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS). Dan sepak terjangnya dalam merintis karir jurnalistik sampai menjadi anggota Dewan Pers (mewakili tokoh masyarakat) dan dijuluki legenda hidup dunia digital Indonesia ini patut disimak.
Bernama lengkap Atmaji Sapto Anggoro, ia lahir di Jombang, 4 Oktober 1966. Lulus dari SMAN 1 Jombang, meneruskan pendidikan di Stikosa-AWS pada tahun 1985, sampai memperoleh gelar Sarjana. Sambil kuliah, ia bekerja di studio foto bernama Dunia Foto Jl. Jagalan Surabaya, sebagai tukang cuci cetak foto BW (hitam putih). “Saya ingat nama alatnya enlarger atau vergroter dalam bahasa Belanda, dibaca verkrot” ujarnya mengenang.
Ia mengawali karir jurnalistiknya di Harian Sore “Surabaya Post” sebagai wartawan olahraga. Ketrampilan mencetak foto BW ini akhirnya banyak membantunya. “Saat di Jl Sikatan, saya sering masuk kamar gelap, nyuci cetak foto sendiri. Gratis. Jadi honornya full,” kenang Sapto.
Di era 80-an, setiap wartawan mengirimkan naskah berita ke redaktur surat kabar disertai 2-3 lembar foto hitam-putih yang dicetak di studio foto di luar kantor redaksi, dengan biaya sendiri. Setelah dimuat, pihak redaksi akan memberikan honor pemuatan untuk tulisan dan foto.
Masing-masing surat kabar sudah mempunyai standart honor. Waktu itu, sebagai surat kabar terbesar di Jawa Timur, standar honorarium koran sore tersebut termasuk cukup tinggi. Menurut Imung Mulyanto, sohibnya sesama wartawan Surabaya Post, tim wartawan olahraga Surabaya Post merupakan tim yang solid dan tangguh. Terdiri dari lima orang, yakni : Sapto Anggoro, Hadi Wirawan (alm.), Prima, Budi Hardono dan Gokam
Tangan Dingin Sapto
Namun Sapto ingin melangkah lebih jauh lagi. Setelah merasa karirnya mentok di Surabaya Post, ia hijrah ke Jakarta bergabung di Harian Berita Buana. Beberapa tahun kemudian hijrah ke Harian Republika. Di harian ini, karir Sapto cukup melesat.
Jabatan terakhirnya adalah Kordinator Liputan. Pada tahun 1998, sohibnya, Budiono Darsono, mengajaknya untuk bergabung dan membesarkan detik.com. Budiono adalah pendiri detik.com, yang didirikan pada tahun 1998. Sapto terakhir dipercaya sebagai Chief Operating Officer atau Direktur Operasional.
Di tangan dingin Sapto, tidak membutuhkan waktu lama, detik.com melesat sebagai pioner media online di Indonesia. Banyak media online yang meniru pola pemberitaan detik.com. Dan akuisisi detik.com oleh Chairul Tanjung, CEO Trans Corp, cukup ramai dalam pemberitaan media, karena nilai transaksinya yang spektakuler, mencapai 60 juta Dollar AS.
Dari hasil penjualan detik.com, Budiono Darsono yang juga mantan wartawan Surabaya Post itu mendirikan kumparan.com. Sedangkan Sapto Anggoro mendirikan Media Monitoring Binokular (binokular.net). Sapto juga memperdalam ilmu bisnisnya dan kuliah lagi di Prasetya Mulya Bisnis Manajemen pada tahun 2001.
Tahun 2011, bekerja sama dengan Kapan Lagi Network, ia mendirikan merdeka.com. Tidak sampai dua tahun, merdeka.com menembus tiga besar Alexa rangking untuk portal news dalam Bahasa Indonesia. Lagi-lagi portal berita bentukan Sapto ini dilirik investor.
Mediacorp sebuah grup media besar Singapore masuk dengan nilai transaksi yang tidak kalah besar dari detik.com sebelumnya. Sementara itu, bisnis klipping digital yang sudah ditekuninya sejak lama juga makin eksis. Klipping ini merupakan big data yang sangat lengkap. Pelanggannya tidak hanya dari Indonesia namun juga perusahaan berbagai negara yang ingin berinvestasi di Indonesia, sebagai bahan studi kelayakan.
Langkah Sapto makin kencang, melesat cepat bagai anak panah lepas dari busurnya. Tahun 2015 ia mendirikan Padepokan ASA di Wedomartani, Sleman, Yogyakarta.
Setahun kemudian ia mendirikan tirto.id yang fenomenal. Tahun 2020, ia mendirikan @NEST Technology, holding company yang bergerak di bidang Teknologi Informasi yang fokus pada pengolahan dan analisis big data. Bersama teman-temannya di bidang internet domain, Sapto juga mengembangkan layanan penyingkat link (URL shorterner) s.id yang makin diminati.
Kehadiran portal berita tirto.id cukup mengejutkan, karena menghadirkan konsep yang berbeda dari portal berita yang sudah ada sebelumnya. Konsep tirto.id menyajikan reportase mendalam (depth report) dengan riset kuat dan sangat pro digital dalam penyajian datanya. Dilengkapi infografis yang memudahkan pembaca dan video depth news. Maka dalam waktu singkat tirto.id menjadi portal berita paling terkemuka di Indonesia.
Di sisi lain, ia juga mengembangkan Padepokan ASA yang berdiri di atas lahan 1200 m2 di tengah area pesawahan, selalu ramai dikunjungi anak-anak muda untuk belajar, berdiskusi dan workshop.
Sebagai lembaga sosial, Padepokan ASA bergerak di bidang pendidikan, kebudayaan dan kewirausahaan. Beberapa tokoh yang pernah mengisi materi kelas antara lain William Tanuwidjaya (Tokopedia), Ahmad Zakki (Bukalapak), Najwa Shihab, Onno W.Purbo, Ismail Fahmi, dan Dandhy Laksono.
Berbeda dengan padepokan pada umumnya yang dipakai untuk wadah kegiatan seni, fokusnya justru dalam pelatihan jurnalistik, literasi, entrepreneurship, dan IT sebagai bidang yang digeluti Sapto. Sapto juga menyediakan taman bacaan berisi ribuan buku yang bisa dipinjam secara gratis oleh warga sekitar.
Dengan reputasinya tersebut, Sapto Anggoro juga terlibat dalam berbagai organisasi serta banyak diundang sebagai narasumber berbagai seminar, baik di dalam maupun di luar negeri. Tercatat, ia adalah satu pendiri PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia) dan Sekretaris Jendral APJII (Assosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) periode 2012-2015. Dan terakhir, terpilih sebagai anggota Dewan Pers periode 2022 – 2025.
Sedangkan dua karya bukunya juga cukup laris di pasaran, yakni Detik.com, Legenda Media Online (Penerbit MocoMedia, 2012) dan Mantra JUSTRU : Temukan ide inspiratif buat entrepeneur kreatif, dengan kata pengantar Wakil Presiden HM Jusuf Kalla.
Dalam buku ini, ia juga menulis filosofi hidupnya. Kalimatnya begini, “Kriteria orang sukses itu bagi saya tidak terlalu rumit. Bila semakin banyak orang yang merasakan manfaat atas keberadaan kita, itu artinya semakin sukses. Jadi, indikator utamanya adalah azas manfaat, bukan dari banyaknya tangible asset”.
Demikian Sapto Anggoro, alumni Stikosa-AWS. Ibaratnya ia telah sukses menggenggam dunia. Tapi penampilannya tetap low profile dan sangat bersahaja. Tak beda jauh saat masih sebagai wartawan dulu.
Merasa merangkak dari bawah, ia tak pernah menolak berbagi wawasan dan pengalaman. Di depan sejumlah juniornya, ia kerap berkisah tentang tips, trend, bahkan masa depan media digital tanpa ragu bakal kehilangan sesuatu.
Bersama istrinya, Chandrasary, yang kelahiran Surakarta, selalu tampak runtang-runtung dalam berbagai acara, baik di Indonesia maupun luar negeri. Dari dua anaknya, Noval Dias dan Bunga Refah, agaknya belum ada yang berminat mengikuti jejaknya sebagai wartawan.
Si sulung lebih memilih bekerja di dunia otomotif dan mengemban karir sebagai R&D di BMW Munchen, Jerman, sedang adiknya setelah selesai dari Universitas Brawijaya Malang, sambil bekerja melanjutkan master bisnis di Melbourne, Australia. (sas)