Dari 949 taman yang tersebar di berbagai penjuru kota Surabaya (data Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya tahun 2023), Taman Prestasi yang berada di bantaran sungai Kali Mas di Jl. Ketabangkali ini sangat menarik. Bukan saja sudah dilengkapi wifi, pusat kuliner dan fasilitas bermain anak-anak, namun terlebih lagi, memasuki kawasan taman ini seperti memasuki lorong waktu masa kecil yang seru.
Jika malam hari suasana taman ini cukup romantis, dengan kilatan cahaya warna warni dari sisi belakang Gedung Negara Grahadi yang terletak di seberang sungai. Kita bisa duduk-duduk ngopi dan menyantap beragam makanan minuman di pusat kuliner yang terletak persis di pinggir sungai. Salah satu grup musik jazz Surabaya pernah bikin event menggelar pentas musik di atas perahu, di tengah sungai Kalimas tersebut. Bahkan setahun lalu pernah disediakan perahu wisata yang menempuh rute dari dermaga Taman Prestasi sampai depan Siola, Jl. Genteng Kali. Sepanjang bantaran sungai dihias dengan lampion warna-warni menimbulkan keindahan tersendiri di malam hari.
Taman seluas 6 Ha ini dulunya adalah komplek Taman Olahraga Polisi (TOP) yang cukup lengkap fasilitasnya. Ada tiga lapangan tennis, lapangan basket, lapangan bulu tangkis, gedung bilyard dan gedung serbaguna berkapasitas 800 kursi, lengkap dengan panggung dan seperangkat gamelan.
Di belakang komplek ada jalan kecil tak beraspal. Di ujung jalan kecil itu terletak asrama mahasiswa ITS yang persis menghadap sungai. Ada jembatan kayu yang menghubungkan dengan gedung belakang kampus Fakultas Teknik Kelautan ITS di Jl. Simpang Dukuh. Jika malam hari, dibutuhkan nyali yang besar untuk melewati jembatan kayu tersebut karena situasinya gelap gulita, sekelilingnya semak dan dinding tembok bangunan tanpa lampu penerangan.
Di dalam komplek Taman Olahraga Polisi itulah saya menghabiskan masa kecil sampai menginjak remaja. Kakek saya seorang polisi berpangkat bintara. Menjelang pensiun, kakek mendapat tugas baru sebagai penanggung jawab kebersihan dan keamanan di TOP tersebut. Sebelumnya kakek sekeluarga tinggal di asrama polisi Kepanjen. Dengan tugas baru sebagai penanggung jawab kebersihan dan keamanan, kakek mendapat rumah dinas, yang letaknya persis di belakang gedung serba guna.
Kepindahan ke Jl. Ketabangkali ini membawa berkah tersendiri bagi kakek. Sebab beliau mendapat hasil tambahan. Yaitu mengelola kantin yang terletak di ruang istirahat lapangan tennis. Setiap hari, nenek menyediakan tape goreng, pisang goreng dan tahu petis, serta beragam minuman, mulai dari kopi, teh, wedang jeruk dan beberapa minuman kemasan botol, namanya limun. Dulu, sudah ada soft drink merk Fanta dan Coca Cola namun termasuk minuman mewah. Walaupun saya tiap saat berada di kantin, dan sangat ingin mencicipi minuman “luar negeri” tersebut, tapi saya tidak berani mengambil minuman botol mewah itu tanpa seijin nenek.
Rumah itu adalah satu-satunya rumah dinas. Ukurannya kecil, seukuran rumah type 27. Hanya terdiri dua kamar dan satu dapur. Sebenarnya masih ada satu polisi lagi, selain kakek saya. Namanya Pakde Kadar. Dia sehari-hari berada di Taman Olahraga itu sebagai pelatih Tennis para bapak perwira Polisi. Tapi Pakde Kadar tidak mendapat bagian rumah dinas. Mungkin karena pangkatnya lebih rendah atau tubuhnya lebih kerempeng dari kakek, sehingga dia tidak mendapat rumah dinas. Namun walaupun bertubuh kecil dan kerempeng, kekuatan Pakde Kadar ini luar biasa. Ia kuat melatih tennis berjam-jam. Makanya kulitnya gosong hitam sempurna, karena terlalu sering berada di lapangan.
Sulit membayangkan, bagaimana nenek membagi kamar untuk tidur 7 orang anaknya. Menurut cerita ibu, saat saya masih bayi dan ayah belum mempunyai rumah sendiri, ibu menempati ruang di bawah gedung serbaguna itu yang berfungsi sebagai gudang. Ada undak-undakan tangga turun menuju ruang gudang itu. Karena letaknya di bawah tanah, maka udaranya cukup pengap. Untunglah saat saya jelang masuk Sekolah Dasar, ayah bisa membeli rumah sendiri di daerah Jagir. Walaupun demikian saya banyak menghabiskan masa kecil di TOP ini daripada di Jagir.
Oleh karena itu saya mengenal betul kawasan Jl. Ketabangkali ini, sebab tempat bermain saya memang di kawasan ini. Deretan rumah loji orang Tionghoa yang terletak persis di depan Taman Prestasi itu kondisinya juga masih sama, seperti dulu, lima puluh tahun yang lalu. Bangunan sekolah Tionghoa yang berada di ujung Jl. Ketabangkali juga masih berdiri. Tapi sudah kosong. Tidak lagi diperuntukkan untuk sekolah.
Setiap pagi saya mengantar nenek belanja ke pasar Genteng. Berangkat dengan berjalan kaki dan pulangnya naik becak karena membawa belanjaan yang banyak. Kami menyusuri Jalan Ketabangkali dan melewati jembatan Kali Mas. Dulu, suasana sekitar jembatan Kali Mas itu sangat kumuh. Gubuk-gubuk liar berderet sepanjang bantaran dan di bawah jembatan. Air kali berwarna hitam dan keruh. Orang-orang tunawisma yang bergerombol dengan telanjang dada dan kelihatan jarang mandi di sepanjang bantaran sungai menjadi pemandangan yang biasa.
Namun sejak program normalisasi sungai yang dicanangkan Walikota H.Purnomo Kasidi, kemudian dituntaskan oleh Walikota Tri Rismaharini (sekarang Menteri Sosial RI), kawasan sepanjang bantaran Sungai Kalimas di Jl. Ketabangkali itu disulap menjadi taman dan tempat rekreasi sungai yang bersih dan indah.
Hal yang membuat saya kerasan di TOP adalah suasana malam hari yang ramai. Walaupun Taman Olahraga ini merupakan fasilitas untuk anggota Polri, namun juga disewakan untuk umum. Lapangan tennis yang luas itu jika malam hari digunakan untuk tempat berlatih sanggar tari Candra Wilwatikta, yang biasa menggelar pentas sendratari di Taman Candra Wilwatikta Pandaan. Jika saat latihan, jumlah anggotanya ratusan orang.
Di gedung serbaguna, biasa digunakan latihan karate, pencak silat dan judo. Dan jika hari Minggu siang digunakan untuk latihan Orkes Simphony, yang sering tampil di layar TVRI. Orkes ini pimpinan pak Hoegeng (Kapolri saat itu). Dan sesekali ada pentas wayang orang dan hajatan pesta pengantin.
Di luar gedung, yakni di lapangan bola basket, sering digunakan tempat ploncoan mahasiswa baru dari beberapa perguruan tinggi di Surabaya. Bertolak belakang dengan kehidupan kampus jaman sekarang, dulu para mahasiswa baru harus menjalani masa ploncoan oleh kakak seniornya. Mereka di “bully” oleh para seniornya itu dengan berbagai cara, mulai dari bentakan sampai hukuman fisik. Sering saya tidak tega melihatnya.
Misal, mereka harus jalan dengan berjongkok untuk menemui salah satu senior panitia, atau bergulung-gulung di tanah becek padahal memakai baju seragam putih-putih. Kadang rambut mereka dilempar dengan telur busuk, atau mata ditutup dan satu persatu disuruh menelan mie yang sudah dicampur dengan brotowali dan adonan telur, sehingga baunya sangat menyengat. Lalu kakak senior mengatakan bahwa yang mereka telan itu adalah cacing. Beberapa mahasiswa baru menangis dengan “siksaan’ ini. Tapi jika menangis, hukumannya malah diperberat.
Dan saat yang mengharukan adalah malam penutupannya. Mereka membuat api unggun dan membentuk lingkaran. Mereka saling berpelukan dan minta maaf. Sebagian besar menangis karena haru. Saya sangat suka menonton ploncoan mahasiswa baru ini dan selalu menonton sampai akhir. Beberapa tahun kemudian saya mengalami ploncoan itu saat menjadi mahasiswa baru di tahun 1982. Tapi rasanya, tidak seberat yang pernah saya saksikan waktu masa kecil itu.
Sebenarnya, ploncoan semacam itu bisa mendidik mental mahasiswa baru untuk menjadi manusia yang tangguh, tidak cengeng dan tahan terhadap kritik dan bully-an. Namun kemudian sejak 1982, Menteri Pendidikan & Kebudayaan RI waktu itu, melarangnya. Apalagi pernah ada kasus mahasiswa baru yang meninggal dunia saat mengikuti masa ploncoan atau masa orientasi mahasiswa tersebut. Praktis sejak itu tidak ada lagi suara-suara bentakan dari panitia/ kakak senior di saat Ospek (Orientasi Studi & Pengenalan Kampus). Kegiatan Ospek juga diperpendek jadi 2-3 hari, bersifat pengenalan kampus dan kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) serta Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa Tingkat Dasar (LKMM-TD).
Saya menonton semua kegiatan itu dengan penuh minat. Duduk di pojok, atau di tempat tersembunyi. Mungkin diantara mereka melihat saya. Tapi mereka acuh, toh yang memperhatikan adalah seorang anak kecil biasa.
Begitulah, setiap lewat Taman Prestasi ini, ingatan kejadian puluhan tahun lampau seakan tergambar kembali.