Jakarta (prapanca.id) – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan menyelenggarakan Susur Kultur dengan tema “Kembara Rempah Nusantara” di Makara Art Center Universitas Indonesia, Kamis (21/12).
Susur Kultur adalah ruang publikasi hasil kegiatan residensi Apresiasi Pelaku Budaya di Jalur Rempah yang telah dilaksanakan di Qatar dan India, menghadirkan pesan dari perjalanan rempah Nusantara di luas bentang dunia. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi pemantik bagi masyarakat untuk menyusuri jejak sejarah rempah nusantara baik di dalam maupun luar wilayah Indonesia. Terlebih lagi, kegiatan ini adalah upaya Kemendikbudristek mendorong Jalur Rempah Nusantara menjadi Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Restu Gunawan, mengungkapkan bahwa Susur Kultur menjadi forum untuk memaparkan hasil penelitian ke publik serta ruang berdiskusi dan bertukar pandangan untuk memperkaya hasil temuan di lapangan. Melalui kegiatan ini publik lebih sadar terhadap potensi Jalur Rempah sebagai Warisan Budaya Dunia serta minat masyarakat untuk melakukan penelitian terkait Jalur Rempah semakin meningkat.
Penelusuran jejak Jalur Rempah berupa Cagar Budaya sudah dilakukan sejak tahun 2020 hingga 2023 di 67 kabupaten/kota pada 32 provinsi di Indonesia lewat program Muhibah Budaya Jalur Rempah yang melibatkan 149 pemuda-pemudi terpilih dari 34 provinsi di Indonesia yang disebut Laskar Rempah.
Bekerja sama dengan TNI AL, Muhibah Budaya Jalur Rempah dimulai dari 1 Juni 2022 dan berakhir pada 2 Juli 2022 dengan mengarungi lintas samudra menggunakan kapal KRI Dewaruci menyusuri enam titik Jalur Rempah: Surabaya, Makassar, Baubau-Buton, Ternate-Tidore, Banda, dan Kupang.
Mereka menjelajahi kearifan lokal di setiap titik singgah, dari seni, kuliner, ramuan, kriya, fesyen, sampai sejarah. Hasilnya, sebanyak 150 Cagar Budaya yang diduga berkaitan dengan Jalur Rempah berhasil diidentifikasi. Keenam kota ini dipilih sebagai representasi kota endemik rempah, seperti cengkeh, pala, dan cendana. Selain itu, titik Surabaya dan Makassar meski bukan merupakan kota penghasil rempah, merupakan pusat perdagangan maritim dan menjadi penghubung antar pelabuhan.
Jalur Rempah
Ribuan tahun silam, rempah Nusantara menjadi pintu gerbang yang membawa kesenian, keyakinan, bahasa, tradisi, dan melahirkan begitu banyak akulturasi budaya yang terjadi hari ini. Aroma rempah mendasari para penjelajah dari penjuru dunia melakukan jelajah bahari untuk menemukan pulau rempah di Nusantara, yang kemudian membentuk Jalur Rempah.
Rempah pada awalnya diperdagangkan melalui jalur laut yang telah terjalin sejak ribuan tahun (milenium) dan berjaya jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Para pedagang dan pelaut di masa itu bergantung pada musim untuk menentukan arah angin. Mereka harus menunggu berbulan-bulan dan tidak sedikit dari mereka perlu mencari atau membangun tempat tinggal, termasuk pertemuan budaya melalui perkawinan.
Pertemuan budaya ini menjadi semakin intens dan berulang, kemudian pertemuan terjadi antara individu-ke-individu (people-to-people). Pola tingkah laku, adat kebiasaan, bahasa, kepercayaan, mulai saling mengenal satu dengan yang lainnya yang terjadi selama puluhan hingga ratusan tahun. Pola interaksi ini kemudian membentuk hubungan antarkebudayaan. Jalur niaga ini kemudian berkembang dan berubah menjadi jalur budaya.
Pada masa abad ke-8, penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Sebab, hampir semua komoditas rempah-rempah dari Asia ditemukan di Jawa. Selain itu, Junus Satrio Atmojo dalam webinar bertajuk “Teknologi dan Transportasi Jalur Rempah” (2021) menekankan bahwa kemampuan orang Portugis dalam membuat peta tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pelaut Nusantara, khususnya orang Melayu dan Jawa.
“Pada abad ke-16, peta sudah dibuat, dan yang membuat pertama kali adalah orang Portugis. Pertanyaannya, dari mana mereka bisa membuat peta Jawa, Sumatra, Kalimantan. Ternyata dari orang-orang Melayu dan dari orang-orang Jawa. Orang-orang Jawa itu sudah sangat pandai membuat peta, dari situlah mereka belajar,“ ujar Junus.
Kejayaan peradaban maritim Nusantara juga tercermin dari Makassar yang membentuk syahbandar sebagai pusat perdagangan rempah dan berfokus pada maritim di era Raja Gowa pada abad ke-9. Hal inilah yang menjadi titik pijak kebangkitan orang-orang Makassar dalam percaturan jalur perdagangan. Pada masa itu, karena diperlukan sistem pencatatan, diciptakan Aksara Lontara untuk kebutuhan mencatat aktivitas lalu lalang kapal dan perdagangan di bandar-bandar Makassar, serta dibentuknya suatu hukum laut dan undang-undang laut yang disebut Amanna Gappa.
Demikian juga masyarakat Buton memiliki tradisi maritim dan migrasi yang hingga kini menjadi kekuatan budaya. Menurut Tasrifin Tahara dalam Jurnal Nusantara Vol. 04 November 2016, terdapat tradisi penting migrasi orang-orang Buton ke Maluku dan dinilai menjadi kekuatan jiwa orang Buton sebagai pengarung samudra. Tradisi ini mengukuhkan bahwa orang Buton, seperti halnya orang Bajo, Bugis, Mandar, dan Madura, yang juga merupakan suku bangsa bahari Indonesia (Horridge, 1986).
Mereka melakukan pelayaran dari satu pulau ke pulau lainnya dengan melintasi samudra dan mengenal lebih dekat dengan komunitas dan terjadinya interaksi budaya sekaligus ruang mencari nafkah hingga menetap. Maluku menjadi salah satu tujuan pelayaran orang Buton untuk membeli kopra, cengkeh, jambu mete, yang kemudian diangkut dan dijual di Jawa dan Singapura.
Pesona Kejayaan Jalur Rempah di Surabaya
Sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Majapahit, wilayah Surabaya dahulu menjadi pelabuhan pendamping dan pendukung kegiatan ekonomi pelabuhan era klasik, yakni Tuban dan Gresik. Komoditas rempah yang berasal dari Maluku dan Banda diangkut dengan perahu kecil menuju Bubat melalui aliran Sungai Bengawan Solo dan Brantas. Pasar Bubat yang letaknya tidak jauh dari pusat kekuasaan Trowulan, Mojokerto, merupakan wilayah perniagaan utama Kerajaan Majapahit, salah satu kerajaan maritim terbesar di Nusantara, di mana rempah menjadi salah satu primadona yang diperdagangkan.
Meskipun saat ini sudah tidak menjadi pelabuhan utama, Pelabuhan Rakyat Kalimas yang dibangun pada abad ke-14 masih dinilai penting sebagai pelabuhan tradisional yang menampung perahu pengangkut dari dan menuju Jawa. Berdampingan dengan Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Rakyat Kalimas hari ini masih digunakan para pelayar kecil dan menjadi pelabuhan alternatif bagi nelayan kapal kecil.
Pasar Pabean yang berlokasi dekat Pelabuhan Kalimas menjadi pusat perkulakan rempah-rempah dan bumbu dapur. Dari Pasar Pabean, rempah masuk ke pedalaman Jawa bagian timur dan menyebrang ke Madura serta ikut mewarnai karakter kebudayaan Jawa Timur yang sangat beragam. Sejak dibangun pada tahun 1849, hingga hari ini Pasar Pabean masih eksis menjalankan perannya sebagai pasar rempah-rempah.
Jejak Jalur Rempah lainnya di Surabaya masih terlihat jelas di area Jalan Panggung, Kapasan, dan Kembang Jepun yang di masa lampau merupakan sentra dagang bongkar muat dan wilayah peradaban pertemuan berbagai bangsa, seperti Arab, India, dan Tiongkok.
Demikianlah, keberagaman budaya yang ada di penjuru Nusantara merupakan hasil interaksi budaya yang terjadi akibat adanya perdagangan rempah. Kebudayaan masyarakat asli dengan pendatang berakulturasi dan berasimilasi satu sama lain hingga menghasilkan tradisi-tradisi baru, yang hingga kini kita kenal sebagai kebudayaan Indonesia.(sas/berbagai sumber).