Jakarta (prapanca.id) – Perang Israel dan Palestina terus berlangsung, dan korban pun berjatuhan. Termasuk para jurnalis yang melakukan liputan di lokasi konflik.
Menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), kondisi yang ada sekarang ini merupakan bulan paling buruk sejak tahun 1992, ketika CPJ mulai mengumpulkan data.
Pada tanggal 8 November, penyelidikan awal CPJ menunjukkan bahwa setidaknya 39 jurnalis dan pekerja media termasuk di antara lebih dari 11.000 orang yang tewas sejak perang dimulai pada tanggal 7 Oktober. Lebih dari 10.000 warga Palestina tewas di Gaza dan Tepi Barat, sementara 1.400 warga Israel juga tewas.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah menyatakan bahwa mereka tidak dapat menjamin keselamatan jurnalis mereka yang beroperasi di Jalur Gaza, meskipun mereka mencari jaminan bahwa jurnalis mereka tidak akan menjadi sasaran serangan Israel.
Jurnalis di Gaza berhadapan dengan risiko yang sangat tinggi saat mencoba meliput konflik ini. Mereka menghadapi serangan darat Israel, serangan udara yang merusak, gangguan komunikasi, dan pemadaman listrik yang meluas.
Perkembangan terbaru, 39 jurnalis dan pekerja media yang tewas. 34 di antaranya adalah warga Palestina, 4 warga Israel, dan 1 warga Lebanon.
Data tambahan, 8 jurnalis terluka, 3 jurnalis dilaporkan hilang, 13 jurnalis dilaporkan ditangkap. Berbagai penyerangan, ancaman, serangan siber, sensor, dan bahkan pembunuhan anggota keluarga jurnalis.
CPJ saat ini terus melakukan investigasi untuk memperoleh data dan laporan yang belum dapat dikonfirmasi mengenai jurnalis lain yang terbunuh, hilang, ditahan, disakiti, atau diancam, serta kerusakan pada kantor media dan rumah jurnalis.
Sherif Mansour, koordinator program CPJ di Timur Tengah dan Afrika Utara, menekankan bahwa jurnalis adalah warga sipil yang melakukan pekerjaan penting selama masa krisis dan tidak boleh menjadi sasaran dalam konflik.
Sementara masyarakat di Gaza terus menghadapi kerugian yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menghadapi ancaman yang sangat besar. (muk)